Maag kronis, atau secara medis dikenal sebagai Gastritis Kronis, adalah kondisi peradangan atau iritasi jangka panjang pada lapisan mukosa lambung. Berbeda dengan maag akut yang kemunculannya mendadak dan singkat, maag kronis berkembang perlahan, seringkali tanpa gejala mencolok pada tahap awal, namun memerlukan strategi pengobatan yang jauh lebih terstruktur dan berkesinambungan. Penanganan maag kronis tidak hanya berfokus pada peredaan gejala, tetapi yang paling utama adalah mengatasi akar penyebabnya, yang dalam banyak kasus disebabkan oleh infeksi bakteri Helicobacter pylori atau penggunaan obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) jangka panjang.
*Gambaran dasar iritasi pada dinding lambung.
Artikel ini akan mengupas secara rinci berbagai pilar pengobatan, mulai dari terapi farmakologis garis depan, strategi penyesuaian dosis, hingga pentingnya modifikasi gaya hidup untuk mencapai remisi dan mencegah komplikasi serius seperti ulkus peptikum, perdarahan saluran cerna, hingga potensi karsinogenesis lambung.
Sebelum membahas obat, sangat krusial untuk mengidentifikasi jenis gastritis kronis yang diderita pasien, karena pendekatan terapinya berbeda.
Mayoritas strategi pengobatan farmakologis yang akan dibahas di bawah ini terutama ditujukan untuk Tipe B dan Tipe C, yang melibatkan kontrol agresif terhadap produksi asam dan eradikasi bakteri.
Tujuan utama pengobatan farmakologis adalah mengurangi keasaman lingkungan lambung, memungkinkan mukosa yang meradang untuk sembuh. Ada dua kelas utama obat yang digunakan:
PPI adalah obat lini pertama dan paling efektif dalam pengobatan maag kronis dan kondisi terkait asam. PPI bekerja dengan cara mengikat dan menonaktifkan secara ireversibel enzim H+/K+-ATPase (pompa proton) pada sel parietal lambung, yang merupakan langkah akhir dalam sekresi asam klorida (HCl). Efek ini menghasilkan penghambatan sekresi asam hingga 90–95%, jauh lebih kuat dan tahan lama daripada jenis obat lain.
Meskipun semua PPI memiliki mekanisme kerja yang sama, terdapat perbedaan signifikan dalam farmakokinetik, termasuk bioavailabilitas, metabolisme (terkait CYP450), dan potensi interaksi obat.
Dosis Umum: PPI biasanya diberikan sekali sehari (OD) 30–60 menit sebelum makan, karena pompa proton paling aktif setelah stimulasi makan. Untuk kasus yang parah atau terapi eradikasi *H. pylori*, dosis ganda (dua kali sehari/BID) mungkin diperlukan.
Karena maag kronis membutuhkan terapi yang lama, evaluasi risiko jangka panjang PPI sangat penting. Penggunaan PPI lebih dari setahun telah dikaitkan dengan beberapa potensi risiko, yang harus dipertimbangkan dalam konteks manfaat klinis:
Obat ini bekerja dengan memblokir reseptor histamin-2 (H2) pada sel parietal, sehingga mengurangi sekresi asam yang distimulasi oleh histamin. Meskipun PPI lebih efektif, H2RAs (seperti Ranitidine—meskipun banyak ditarik karena isu N-Nitrosodimethylamine—Famotidine, dan Cimetidine) masih memiliki peran penting:
Infeksi H. pylori adalah penyebab utama gastritis kronis Tipe B dan merupakan faktor risiko kuat untuk Ulkus Peptikum dan Kanker Lambung. Oleh karena itu, jika tes positif, eradikasi total bakteri adalah prioritas utama pengobatan.
Eradikasi H. pylori selalu membutuhkan kombinasi obat karena resistensi antibiotik yang tinggi. Regimen standar berlangsung antara 10 hingga 14 hari.
Regimen ini dulu menjadi standar emas, namun kini efektivitasnya menurun di banyak wilayah karena resistensi Klaritromisin yang meningkat. Regimen ini meliputi:
Regimen ini kini sering digunakan sebagai terapi lini pertama empiris, terutama di wilayah dengan tingkat resistensi Klaritromisin yang tinggi. Regimen ini adalah yang paling efektif untuk mengatasi infeksi yang resisten:
*Tujuan utama: Menghilangkan bakteri penyebab peradangan.
Kegagalan sering terjadi karena ketidakpatuhan pasien atau resistensi. Jika tes konfirmasi (Urea Breath Test atau Stool Antigen Test) setelah 4–6 minggu pengobatan menunjukkan hasil positif, pasien harus beralih ke regimen lini kedua atau ketiga, seringkali berdasarkan hasil tes sensitivitas antibiotik yang lebih spesifik.
Pada banyak kasus maag kronis, terutama yang disertai dispepsia fungsional atau Gastroparesis (gangguan pengosongan lambung), gejala seperti kembung, mual, dan cepat kenyang (early satiety) mungkin dominan. Obat-obatan berikut membantu mengatasi masalah motilitas dan melindungi lapisan lambung.
Obat ini meningkatkan pergerakan saluran pencernaan, membantu mengosongkan lambung lebih cepat dan mencegah refluks.
Sucralfate bukanlah penghambat asam, melainkan agen sitoprotektif. Dalam lingkungan asam lambung, Sucralfate membentuk gel kental yang menutupi dan melindungi area ulserasi atau peradangan, menciptakan penghalang fisik terhadap asam, pepsin, dan empedu. Ini sangat berguna dalam gastritis Tipe C (kimiawi) atau pada pasien dengan ulkus yang sudah terbentuk. Kekurangan utamanya adalah perlu diminum beberapa kali sehari dan dapat mengganggu penyerapan obat lain.
Digunakan baik sebagai bagian dari terapi eradikasi H. pylori (membentuk lapisan protektif dan memiliki aktivitas antibakteri langsung) maupun sebagai pengobatan simtomatik untuk dispepsia. Bismuth bekerja dengan merangsang sekresi bikarbonat dan prostaglandin mukosa, yang meningkatkan pertahanan lambung alami.
Antasida (kombinasi magnesium dan aluminium hidroksida) memberikan bantuan cepat dan sesaat dengan menetralkan asam lambung yang sudah ada. Meskipun tidak efektif sebagai terapi tunggal untuk maag kronis, antasida berguna sebagai terapi penyelamat (rescue medication) saat gejala nyeri (heartburn) mendadak muncul. Alginat (misalnya Gaviscon) bekerja dengan membentuk lapisan busa di atas isi lambung, sangat membantu meredakan gejala refluks (GERD) yang sering menyertai maag kronis.
Pengobatan perlu disesuaikan jika maag kronis diperumit oleh kondisi lain atau memiliki etiologi non-H. pylori.
Pada gastritis otoimun, masalah utamanya adalah hilangnya sel parietal, yang menyebabkan atrofi dan kegagalan memproduksi faktor intrinsik. Penanganannya berbeda total dari Tipe B:
Jika penyebabnya adalah OAINS (aspirin atau ibuprofen dosis tinggi), strateginya adalah:
Pengobatan maag kronis tidak akan berhasil tanpa intervensi non-farmakologis. Ini adalah fondasi yang mendukung keberhasilan obat-obatan.
Diet bertujuan mengurangi stimulasi asam lambung dan mencegah iritasi mekanis atau kimiawi pada mukosa yang rentan.
Kondisi stres emosional dan kecemasan telah terbukti meningkatkan sekresi asam lambung dan memicu gejala dispepsia. Pengelolaan stres adalah komponen wajib untuk maag kronis:
Merokok terbukti merusak mukosa lambung, mengurangi aliran darah, dan melemahkan LES, secara signifikan menghambat penyembuhan ulkus dan meningkatkan risiko kekambuhan gastritis. Penghentian total rokok adalah keharusan mutlak dalam penanganan maag kronis.
Maag kronis adalah kondisi yang memerlukan pemantauan berkelanjutan. Setelah fase akut pengobatan (terutama setelah eradikasi H. pylori), strategi harus bergeser ke pemeliharaan.
Penting untuk mengkonfirmasi keberhasilan eradikasi H. pylori 4–6 minggu setelah antibiotik dihentikan. Tes non-invasif seperti Urea Breath Test (UBT) atau Fecal Antigen Test adalah metode pilihan. Jika eradikasi gagal, terapi lini kedua harus segera dimulai.
PPI sering diresepkan pada dosis tinggi untuk periode 4–8 minggu untuk penyembuhan awal. Setelah gejala mereda, dokter akan mencoba menurunkan dosis atau menghentikan obat sama sekali (sesuai kebutuhan pasien) karena kekhawatiran risiko jangka panjang.
Perhatian: Penghentian mendadak PPI setelah penggunaan kronis (minimal 6 bulan) dapat menyebabkan 'rebound acid hypersecretion' (peningkatan asam lambung yang drastis), memperburuk gejala. Penurunan dosis harus dilakukan secara bertahap dan di bawah pengawasan medis.
Untuk memahami sepenuhnya peran obat dalam penanganan maag kronis, diperlukan tinjauan mendalam terhadap cara kerja masing-masing obat di tingkat seluler, yang menjelaskan mengapa kombinasi tertentu menjadi sangat penting.
PPI adalah prodrugs yang memerlukan lingkungan asam untuk diubah menjadi bentuk aktifnya, sulfonamida, yang kemudian berikatan dengan pompa proton. Karena metabolisme mereka sangat bergantung pada sistem enzim sitokrom P450 (terutama CYP2C19 dan CYP3A4), variasi genetik pada CYP2C19 (seperti pada populasi Asia) dapat mempengaruhi efektivitas dan durasi kerja obat. Pasien yang merupakan metabolizer lambat (poor metabolizer) dapat mengalami efek samping atau penumpukan obat, sementara metabolizer ultra-cepat mungkin tidak mendapatkan penghambatan asam yang memadai.
Interaksi paling terkenal melibatkan PPI dan Clopidogrel (obat antiplatelet). Omeprazole dan Esomeprazole menghambat CYP2C19, yang juga diperlukan untuk mengaktifkan Clopidogrel. Penghambatan ini dapat mengurangi efektivitas Clopidogrel, meningkatkan risiko kejadian kardiovaskular. Dokter sering merekomendasikan Pantoprazole atau Rabeprazole pada pasien yang membutuhkan terapi ganda PPI dan Clopidogrel.
Mukosa lambung memiliki mekanisme pertahanan alami, yaitu produksi lendir dan bikarbonat, yang sebagian besar dimediasi oleh prostaglandin. Penggunaan OAINS menghambat produksi prostaglandin, mengurangi pertahanan mukosa dan menyebabkan ulserasi. Misoprostol (analog prostaglandin) dapat digunakan untuk melindungi mukosa lambung, terutama pada pasien yang harus terus mengonsumsi OAINS dosis tinggi. Namun, penggunaannya terbatas karena efek samping gastrointestinal (diare) dan kontraindikasi mutlak pada kehamilan.
Di bawah lapisan lendir (mukus) lambung, terdapat lapisan bikarbonat yang berfungsi sebagai zona penyangga (buffer zone) untuk menetralkan sedikit asam yang berdifusi kembali ke mukosa. Obat-obatan sitoprotektif (seperti Sucralfate dan Bismuth) membantu memperkuat lapisan pertahanan ini, yang sangat penting saat PPI dan H2RA belum sepenuhnya menyembuhkan peradangan yang sudah ada.
Jika maag kronis dibiarkan tanpa penanganan yang memadai, dapat terjadi progresivitas patologis yang mengarah pada komplikasi serius.
Peradangan yang berlanjut dapat mengikis lebih dalam dari mukosa hingga mencapai submukosa, membentuk ulkus peptikum. Komplikasi paling serius dari ulkus adalah perdarahan (hematemesis atau melena) atau perforasi (lubang pada dinding lambung), yang merupakan keadaan darurat medis.
Pencegahan: Terapi PPI dosis tinggi dan eradikasi H. pylori wajib untuk pasien dengan riwayat ulkus peptikum atau perdarahan saluran cerna.
Gastritis kronis jangka panjang, terutama Tipe B (H. pylori) dan Tipe A (otoimun), dapat menyebabkan perubahan progresif pada sel-sel lambung melalui urutan Correa:
Eradikasi H. pylori pada tahap awal dapat menghentikan atau bahkan membalikkan atrofi dan metaplasia. Jika metaplasia sudah luas, pemantauan endoskopi berkala menjadi alat pencegahan utama untuk mendeteksi displasia dini.
Meskipun sering terkait dengan diabetes, dispepsia fungsional yang kronis dapat menunjukkan gejala mirip gastroparesis. Pada kasus ini, penanganan fokus pada obat prokinetik (Itopride atau Domperidone) dan modifikasi diet yang ekstrem, menekankan makanan rendah serat dan rendah lemak agar lebih mudah dicerna.
Penanganan maag kronis adalah maraton, bukan sprint. Tujuannya adalah mencapai kualitas hidup yang optimal, bukan hanya menghilangkan gejala secara temporer. Pendekatan harus terintegrasi, melibatkan ahli gizi, gastroenterolog, dan dalam beberapa kasus, ahli kesehatan mental.
Dokter keluarga memegang peran penting dalam mengawasi terapi jangka panjang dan mengidentifikasi kapan pasien memerlukan rujukan. Rujukan ke gastroenterolog diwajibkan jika:
Meskipun serat penting, pada beberapa pasien dengan maag kronis dan dispepsia fungsional, asupan serat yang berlebihan (terutama serat tidak larut) dapat memperburuk kembung dan nyeri. Pasien perlu menemukan keseimbangan yang tepat. Selain itu, penggunaan probiotik yang ditargetkan dapat membantu menyeimbangkan mikrobioma usus yang mungkin terganggu akibat penggunaan PPI dan antibiotik jangka panjang (khususnya setelah terapi eradikasi).
***
Kesimpulannya, penanganan maag kronis memerlukan diagnosis yang tepat untuk mengidentifikasi penyebab (H. pylori, OAINS, atau autoimun). Terapi farmakologis berpusat pada penggunaan PPI dosis tinggi (seringkali dikombinasikan dengan antibiotik) untuk mencapai penyembuhan mukosa. Namun, keberhasilan jangka panjang sangat bergantung pada kepatuhan pasien terhadap regimen diet, manajemen stres, dan pemantauan klinis yang ketat untuk mencegah kekambuhan dan progresivitas penyakit menjadi komplikasi yang lebih serius.