Antibiotik adalah salah satu penemuan terbesar dalam sejarah kedokteran modern. Sejak diperkenalkan secara massal, obat-obatan ini telah mengubah lanskap kesehatan global, memungkinkan penanganan infeksi bakteri yang sebelumnya mematikan menjadi kondisi yang dapat disembuhkan. Namun, keberhasilan luar biasa ini membawa tantangan yang sama besarnya: munculnya dan penyebaran resistensi antimikroba (AMR). Memahami secara mendalam bagaimana, kapan, dan mengapa kita menggunakan antibiotik adalah langkah krusial untuk melestarikan efektivitas obat penyelamat nyawa ini bagi generasi mendatang. Artikel ini mengupas tuntas seluk-beluk penggunaan antibiotik, dari sejarah hingga ancaman terbesarnya.
Secara etimologi, antibiotik berarti 'melawan kehidupan' (anti = melawan, bios = hidup). Dalam konteks medis, antibiotik adalah kelompok obat yang dirancang khusus untuk menghambat pertumbuhan atau membunuh bakteri. Penting untuk ditekankan bahwa antibiotik hanya efektif melawan infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Mereka sama sekali tidak memiliki efek terhadap virus (penyebab flu, pilek biasa, atau Covid-19), jamur, maupun parasit.
Definisi formalnya melibatkan senyawa kimia yang dihasilkan oleh mikroorganisme (misalnya jamur atau bakteri lain) atau dibuat secara sintetik/semisintetik, yang dalam dosis rendah mampu menekan pertumbuhan atau menghancurkan mikroorganisme patogen tanpa merusak inang (manusia atau hewan) secara signifikan. Garis pemisah antara bakteri patogen (penyebab penyakit) dan bakteri komensal (flora normal yang bermanfaat) adalah hal yang menentukan target aksi antibiotik.
Sebelum abad ke-20, infeksi bakteri sederhana seperti pneumonia atau luka terinfeksi sering kali berujung pada kematian. Ilmuwan telah lama mencari ‘peluru ajaib’ yang dapat membunuh mikroba tanpa membahayakan pasien.
Titik balik datang pada tahun 1928, ketika Alexander Fleming, seorang ahli bakteriologi Skotlandia, secara tidak sengaja menemukan bahwa jamur Penicillium notatum yang mengkontaminasi cawan petrinya memiliki kemampuan untuk menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus. Ia menamai zat aktif tersebut Penisilin. Fleming menyadari potensi penemuannya, namun pada awalnya, ia kesulitan memurnikan dan menstabilkan Penisilin dalam jumlah yang cukup untuk digunakan sebagai obat.
Dua belas tahun kemudian, pada awal Perang Dunia II, Howard Florey, Ernst Chain, dan Norman Heatley di Universitas Oxford mengambil alih penelitian Fleming. Mereka berhasil mengembangkan metode untuk memurnikan dan memproduksi Penisilin dalam skala besar. Penggunaan Penisilin untuk merawat tentara yang terluka menunjukkan hasil spektakuler, secara dramatis menurunkan angka kematian akibat infeksi. Periode setelah keberhasilan Penisilin hingga tahun 1960-an dikenal sebagai 'Zaman Keemasan' antibiotik, di mana banyak kelas obat baru (seperti Streptomycin, Tetracycline, dan Chloramphenicol) ditemukan.
Keberhasilan Penisilin bukan hanya menyelamatkan jutaan nyawa, tetapi juga menjadi fondasi bagi kemajuan medis lainnya, termasuk bedah transplantasi, kemoterapi kanker, dan perawatan intensif, yang semuanya membutuhkan perlindungan kuat terhadap infeksi bakteri.
Untuk memahami mengapa resistensi terjadi, kita harus terlebih dahulu memahami bagaimana antibiotik berinteraksi dengan sel bakteri. Antibiotik dirancang untuk menyerang titik-titik vital dalam biologi sel bakteri, yang seringkali berbeda dari sel manusia.
Secara umum, antibiotik dibagi berdasarkan bagaimana mereka menyerang bakteri. Mereka dikelompokkan menjadi dua kategori fungsional: bakterisida (membunuh bakteri secara langsung) dan bakteriostatik (menghambat pertumbuhan bakteri, memungkinkan sistem imun inang menyelesaikan pekerjaan).
Ini adalah target paling umum. Dinding sel bakteri (terutama Peptidoglikan pada bakteri Gram-positif) berfungsi melindungi bakteri dari tekanan osmotik. Sel manusia tidak memiliki dinding sel, sehingga antibiotik ini sangat selektif dan cenderung aman. Contoh: Penisilin, Sefalosporin, Karbapenem, Vankomisin.
Bakteri membutuhkan Ribosom untuk memproduksi protein vital. Ribosom bakteri (70S) berbeda dari Ribosom manusia (80S). Antibiotik ini mengganggu fungsi Ribosom 70S. Contoh: Makrolida (Azitromisin), Tetrasiklin, Aminoglikosida (Gentamisin), Linkosamida.
Antibiotik jenis ini mengganggu replikasi DNA atau transkripsi RNA bakteri, menghentikan kemampuan bakteri untuk berkembang biak atau berfungsi. Contoh: Kuinolon/Fluoroquinolon (Siprofloksasin) yang menargetkan DNA Gyrase, dan Rifampisin yang menargetkan RNA Polimerase.
Beberapa antibiotik bekerja dengan menghambat jalur enzimatik spesifik yang dibutuhkan bakteri untuk membuat metabolit esensial (seperti asam folat). Contoh: Sulfonamida dan Trimetoprim, yang sering digunakan kombinasi (Kotrimoksazol).
Klasifikasi ini membantu dokter memilih obat berdasarkan infeksi yang dicurigai dan riwayat alergi pasien. Detail kelas ini juga sangat penting dalam memahami resistensi silang.
Kelompok terbesar dan paling sering diresepkan. Mereka bekerja menghambat sintesis dinding sel melalui cincin beta-laktam. Kerentanan mereka terhadap enzim Beta-Laktamase yang dihasilkan bakteri adalah penyebab resistensi yang paling umum.
Bakteriostatik yang menghambat sintesis protein. Efektif untuk infeksi saluran pernapasan dan pasien alergi Penisilin. Contoh: Eritromisin, Azitromisin, Klaritromisin.
Bakterisida yang mengubah fungsi Ribosom. Efektif melawan bakteri Gram-negatif aerobik, namun memiliki potensi toksisitas (ototoksisitas dan nefrotoksisitas). Contoh: Gentamisin, Amikasin.
Bakteriostatik spektrum luas. Digunakan untuk infeksi atipikal (misalnya klamidia, rikettsia, atau jerawat parah). Contoh: Doksisiklin, Minosiklin.
Menargetkan DNA Gyrase. Spektrum luas, efektif untuk infeksi saluran kemih, pernapasan, dan saluran cerna. Penggunaannya kini lebih dibatasi karena risiko efek samping serius, termasuk tendonitis dan neuropati. Contoh: Siprofloksasin, Levofloksasin.
Terutama digunakan untuk infeksi Gram-positif yang resisten. Contoh yang paling terkenal adalah Vankomisin, obat pilihan untuk Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA).
Penggunaan antibiotik yang tepat adalah inti dari Antimicrobial Stewardship (pengendalian penggunaan antimikroba). Penggunaan yang tidak tepat, baik dosisnya, durasinya, maupun indikasinya, adalah pemicu utama resistensi.
Antibiotik hanya diindikasikan bila diagnosis mengarah kuat pada infeksi bakteri. Ini membutuhkan penilaian klinis yang cermat. Beberapa situasi yang sering menyebabkan kesalahan penggunaan:
Pemilihan antibiotik bergantung pada dua faktor utama: jenis bakteri yang dicurigai (spektrum) dan lokasi infeksi (farmakokinetik).
Terapi Empiris: Dimulai segera setelah diagnosis infeksi bakteri yang dicurigai, sebelum hasil kultur laboratorium tersedia. Dokter memilih antibiotik berdasarkan kemungkinan patogen di lokasi infeksi tersebut (misalnya, menggunakan Amoksisilin untuk dugaan infeksi saluran pernapasan). Dalam terapi empiris, idealnya digunakan antibiotik dengan spektrum sesempit mungkin (Narrow Spectrum) yang masih efektif, guna mengurangi kerusakan flora normal.
Terapi Definitif: Dilakukan setelah hasil kultur dan uji sensitivitas (uji kepekaan) bakteri keluar. Jika tes menunjukkan bakteri rentan (sensitif) terhadap antibiotik tertentu, dokter dapat mengganti terapi empiris ke antibiotik definitif yang lebih spesifik dan tepat dosisnya.
Dokter harus mempertimbangkan bagaimana obat didistribusikan dalam tubuh (PK) dan bagaimana obat mencapai konsentrasi efektif di lokasi infeksi (PD). Misalnya, beberapa obat memiliki penetrasi buruk ke jaringan tulang (osteomielitis) atau cairan serebrospinal (meningitis), sehingga memerlukan dosis atau kelas obat yang berbeda.
Kunci penggunaan antibiotik adalah menjaga konsentrasi obat dalam tubuh tetap di atas Minimum Inhibitory Concentration (MIC) – konsentrasi terendah yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri target.
Jika pasien menghentikan pengobatan terlalu cepat, atau melewatkan dosis, konsentrasi obat akan turun di bawah MIC. Bakteri yang paling lemah mungkin sudah mati, tetapi bakteri yang paling tangguh (dan mungkin telah mengalami mutasi) akan bertahan hidup, berkembang biak, dan mewariskan sifat resistennya. Ini adalah mekanisme evolusioner yang memicu resistensi.
Oleh karena itu, pasien selalu diinstruksikan untuk menghabiskan seluruh dosis yang diresepkan, meskipun gejala sudah hilang.
Resistensi antibiotik adalah kemampuan bakteri untuk bertahan hidup atau berkembang biak meskipun telah terpapar antibiotik. Ini bukan tubuh manusia yang kebal terhadap obat, tetapi bakteri itu sendiri yang telah beradaptasi. Krisis AMR kini dianggap sebagai salah satu ancaman kesehatan publik paling mendesak di abad ini, berpotensi mengakhiri era kedokteran modern.
Resistensi adalah proses evolusi yang dipercepat oleh tekanan seleksi. Ketika antibiotik digunakan, obat tersebut membunuh bakteri yang sensitif, meninggalkan ruang bagi bakteri yang secara genetik sedikit lebih kebal untuk tumbuh tanpa persaingan. Ada empat mekanisme utama yang digunakan bakteri untuk menghindari efek obat:
Mekanisme yang paling umum. Bakteri menghasilkan enzim yang secara kimiawi menghancurkan atau memodifikasi struktur antibiotik sebelum obat dapat mencapai targetnya. Contoh klasik adalah enzim Beta-Laktamase yang memecah cincin beta-laktam pada Penisilin dan Sefalosporin.
Bakteri mengubah struktur target di dalam selnya (misalnya, mengubah situs ikatan pada Ribosom atau mengubah dinding selnya) sehingga antibiotik tidak dapat mengikat atau menjadi kurang efektif. Contoh paling terkenal adalah perubahan pada Protein Pengikat Penisilin (PBP) yang menyebabkan MRSA (Methicillin-resistant Staphylococcus aureus).
Bakteri mengembangkan protein transmembran yang bertindak sebagai "pompa". Begitu antibiotik masuk ke dalam sel bakteri, pompa ini secara aktif memompa obat keluar, menjaga konsentrasi antibiotik di bawah tingkat yang mematikan.
Bakteri mengubah struktur porin (saluran di membran luarnya) untuk membatasi atau menghalangi masuknya molekul antibiotik ke dalam sel.
Yang membuat AMR begitu berbahaya adalah kemampuannya menyebar dengan cepat, tidak hanya dari induk ke anak (vertikal), tetapi juga dari satu bakteri ke bakteri lainnya, bahkan antarspesies yang berbeda (horizontal). Ini terjadi melalui tiga cara utama:
Resistensi bukanlah masalah yang hanya terjadi di rumah sakit; ini adalah masalah ekologi yang didorong oleh praktik di berbagai sektor.
Ini mencakup: penggunaan untuk infeksi virus; penggunaan dosis atau durasi yang salah; permintaan pasien yang berlebihan; dan resep tanpa diagnosis yang memadai.
Di banyak negara, antibiotik digunakan secara rutin pada hewan ternak (seperti unggas dan babi) untuk mendorong pertumbuhan (promoter pertumbuhan) atau untuk pencegahan massal, bukan untuk pengobatan penyakit. Penggunaan ini menciptakan reservoir besar bakteri resisten yang dapat berpindah ke manusia melalui rantai makanan atau kontak lingkungan.
Kurangnya sanitasi yang baik di rumah sakit dan komunitas mempercepat penyebaran bakteri resisten. Bakteri superbug dapat bertahan hidup di permukaan dan menyebar dari satu pasien ke pasien lain melalui tangan petugas kesehatan yang tidak dicuci dengan benar.
Antibiotik yang tidak terpakai atau metabolitnya dibuang ke saluran air. Kehadiran konsentrasi antibiotik sub-letal di lingkungan air dan tanah memberikan tekanan seleksi pada mikroorganisme lingkungan, mendorong evolusi gen resistensi.
Jika antibiotik kehilangan efektivitasnya, konsekuensinya jauh melampaui kesulitan mengobati infeksi biasa. Seluruh sistem kesehatan akan terancam runtuh.
Ketika obat lini pertama gagal, dokter terpaksa beralih ke obat lini kedua atau ketiga, yang umumnya lebih mahal, memiliki spektrum efek samping yang lebih luas (misalnya, nefrotoksisitas), dan seringkali harus diberikan melalui suntikan intravena (IV), yang berarti pasien memerlukan rawat inap yang lebih lama.
Infeksi yang sebelumnya mudah diobati, seperti infeksi saluran kemih (ISK) atau pneumonia, menjadi sangat sulit ditangani. Dalam kasus terburuk, pasien dapat terinfeksi Superbug, bakteri yang kebal terhadap hampir semua antibiotik yang tersedia (misalnya, CRE - Carbapenem-resistant Enterobacteriaceae). Infeksi Superbug seringkali tidak dapat diobati, yang secara langsung meningkatkan angka kematian.
Banyak prosedur medis penyelamat nyawa sangat bergantung pada antibiotik profilaksis yang efektif. Tanpa antibiotik yang berfungsi:
Krisis AMR membebani ekonomi global secara signifikan melalui beberapa cara:
Bank Dunia memperkirakan bahwa jika AMR tidak dikendalikan, kerusakan ekonomi global dapat sebanding dengan krisis finansial tahun 2008, dengan potensi kerugian PDB global sebesar triliunan dolar setiap tahunnya.
Antimicrobial Stewardship (AMS) adalah serangkaian upaya sistematis untuk mempromosikan penggunaan antimikroba yang tepat, termasuk pemilihan obat, dosis, rute, dan durasi pengobatan yang optimal. AMS adalah strategi pertahanan terbaik melawan AMR.
Tenaga kesehatan berada di garis depan dalam memerangi AMR. Tanggung jawab mereka meliputi:
Menggunakan alat diagnostik yang cepat (seperti Point-of-Care Testing) untuk menentukan apakah infeksi disebabkan oleh bakteri atau virus, dan mengidentifikasi patogen spesifik. Tidak ada resep antibiotik tanpa indikasi yang jelas.
Setelah hasil kultur dan sensitivitas tersedia (Terapi Definitif), segera mengubah antibiotik spektrum luas yang awalnya digunakan (empiris) menjadi antibiotik spektrum sempit. Ini meminimalkan tekanan seleksi terhadap bakteri flora normal.
Menjelaskan kepada pasien mengapa mereka tidak membutuhkan antibiotik untuk infeksi virus, dan menekankan pentingnya menghabiskan seluruh dosis yang diresepkan jika memang diperlukan.
Menerapkan pedoman pengobatan berbasis bukti yang disesuaikan dengan pola resistensi lokal (antibiotik yang bekerja di satu wilayah mungkin tidak efektif di wilayah lain karena perbedaan patogen resisten). Dokter harus memeriksa Antibiogram lokal secara berkala.
Masyarakat memiliki peran krusial dalam mengendalikan permintaan dan penggunaan antibiotik yang tidak tepat.
Karena resistensi menyebar melalui manusia, hewan, dan lingkungan, solusi harus melibatkan pendekatan One Health. Ini berarti koordinasi antara sektor kesehatan manusia, kesehatan hewan, dan lingkungan.
Pengembangan antibiotik baru telah melambat secara drastis sejak Zaman Keemasan. Menemukan obat baru sulit, mahal, dan tidak menguntungkan secara finansial karena antibiotik idealnya digunakan dalam waktu singkat. Dunia membutuhkan pendekatan baru.
Saat ini, sangat sedikit kelas antibiotik baru yang sedang dikembangkan. Bakteri telah berevolusi lebih cepat daripada upaya ilmiah kita. Industri farmasi cenderung berinvestasi pada obat untuk penyakit kronis (diabetes, jantung) yang menjamin penggunaan jangka panjang dan keuntungan besar, daripada antibiotik yang harus digunakan secara hemat.
Tantangan saintifiknya juga besar. Antibiotik baru tidak hanya harus kuat, tetapi juga harus mampu melewati tiga lapisan pertahanan bakteri Gram-negatif yang sulit ditembus, yang dikenal sebagai patogen 'ESKAPE' (Enterococcus faecium, Staphylococcus aureus, Klebsiella pneumoniae, Acinetobacter baumannii, Pseudomonas aeruginosa, Enterobacter species) – penyebab utama infeksi yang sangat resisten di rumah sakit.
Karena resistensi terus meningkat, penelitian beralih ke metode pengobatan infeksi yang tidak konvensional:
Bakteriofag, atau Fag, adalah virus yang secara alami menginfeksi dan membunuh bakteri. Fag sangat spesifik (mereka hanya menyerang jenis bakteri tertentu), sehingga mereka tidak merusak flora normal usus. Terapi fag telah digunakan selama beberapa dekade di Eropa Timur dan kini mendapatkan kembali minat di Barat sebagai senjata potensial melawan Superbug yang resisten terhadap banyak obat.
Daripada menemukan obat baru yang membunuh bakteri, ilmuwan fokus pada pengembangan senyawa yang dapat mengembalikan kerentanan bakteri terhadap antibiotik lama. Contohnya adalah penghambat Beta-Laktamase yang dikombinasikan dengan Penisilin (seperti Klavulanat). Inovasi saat ini mencakup penemuan senyawa yang menghambat pompa efluks bakteri.
Pendekatan ini tidak menargetkan bakteri itu sendiri, tetapi memperkuat respons kekebalan pasien untuk melawan infeksi. Ini termasuk pengembangan vaksin baru terhadap patogen resisten yang paling berbahaya (seperti MRSA) atau penggunaan antibodi monoklonal untuk menetralkan racun bakteri.
Beberapa penelitian berfokus pada obat yang tidak membunuh bakteri tetapi hanya melucuti senjatanya, misalnya dengan menghambat kemampuan bakteri untuk berkomunikasi satu sama lain (Quorum Sensing) atau memproduksi faktor virulensi yang menyebabkan penyakit. Karena obat ini tidak membunuh, tekanan seleksi untuk resistensi mungkin berkurang.
Perjuangan melawan AMR bersifat jangka panjang dan memerlukan dukungan politik serta perubahan perilaku mendasar di semua lapisan masyarakat. Pendidikan adalah alat yang paling ampuh.
Surveilans yang efektif sangat penting. Kita tidak dapat melawan musuh yang tidak kita ketahui. Surveilans melibatkan pengumpulan, analisis, dan penyebaran data tentang pola penggunaan antibiotik dan pola resistensi bakteri. Data ini membantu dalam:
Pemerintah harus mengambil langkah tegas dalam regulasi:
Kampanye kesehatan publik harus dilakukan secara terus-menerus. Masyarakat harus mengerti perbedaan mendasar antara infeksi virus dan bakteri. Literasi kesehatan yang baik memberdayakan individu untuk menolak antibiotik yang tidak perlu dan mematuhi rejimen pengobatan yang benar ketika diresepkan.
Penggunaan media sosial dan platform digital dapat dimanfaatkan untuk menyebarkan pesan-pesan kunci, seperti: 'Antibiotik Bukan Obat untuk Semua Penyakit' dan 'Selalu Selesaikan Dosis Anda'.
Meskipun penekanan utama adalah pada pengurangan penggunaan, ada situasi di mana antibiotik harus digunakan, dan pengelolaannya memerlukan keahlian khusus.
Anak-anak sangat sering menerima antibiotik, terutama untuk infeksi telinga (otitis media) atau infeksi saluran pernapasan. Banyak infeksi ini bersifat virus. Over-prescribing pada anak berkontribusi signifikan terhadap munculnya strain resisten di komunitas. Namun, ketika dibutuhkan, pemilihan dosis dan jenis antibiotik harus sangat hati-hati, menghindari obat yang dapat menyebabkan kerusakan permanen (misalnya Tetrasiklin yang mengganggu perkembangan gigi).
Lansia seringkali memiliki penyakit penyerta dan sistem kekebalan tubuh yang lemah, membuat mereka rentan terhadap infeksi nosokomial (didapat di rumah sakit). Selain itu, fungsi ginjal dan hati mereka sering menurun, yang memengaruhi cara tubuh memetabolisme antibiotik. Penyesuaian dosis yang tepat sangat penting untuk mencegah toksisitas sambil memastikan efektivitas.
Banyak antibiotik yang berpotensi teratogenik (menyebabkan cacat lahir) atau memiliki efek buruk pada janin. Obat seperti Tetrasiklin dan Kuinolon umumnya dihindari. Dokter harus memilih obat yang terbukti aman, seperti Penisilin dan beberapa Sefalosporin, bahkan untuk infeksi sederhana.
Setiap kali antibiotik digunakan, mereka tidak hanya membunuh bakteri patogen, tetapi juga membunuh bakteri baik (flora normal) di usus, kulit, dan saluran lainnya. Keseimbangan mikrobiota usus sangat penting untuk kesehatan, membantu pencernaan, menghasilkan vitamin, dan melindungi dari patogen. Gangguan ini (dikenal sebagai disbios) dapat menyebabkan beberapa masalah:
Penggunaan probiotik bersamaan dengan antibiotik terkadang direkomendasikan untuk membantu menjaga keseimbangan usus, namun efektivitasnya bervariasi tergantung strain probiotik dan jenis antibiotik yang digunakan.
Memahami ancaman AMR juga berarti mengenal para pemain utamanya di dunia klinis. Beberapa bakteri resisten telah menjadi endemik di seluruh dunia, menuntut perhatian dan investasi yang lebih besar dalam pengendalian infeksi.
MRSA adalah mungkin Superbug yang paling terkenal. Ini adalah Staphylococcus aureus yang telah mengembangkan resistensi terhadap Methicillin (dan hampir semua Beta-Laktam lainnya). MRSA dapat menyebabkan infeksi kulit, pneumonia, dan infeksi aliran darah yang fatal. Pengobatannya mengandalkan obat 'terakhir' seperti Vankomisin atau Daptomisin.
Enterococcus adalah bakteri yang biasa ditemukan di saluran pencernaan. VRE adalah strain yang kebal terhadap Vankomisin, antibiotik lini terakhir untuk banyak infeksi Gram-positif. Kehadiran VRE di rumah sakit menimbulkan risiko besar, terutama bagi pasien imunokompromis.
Ini adalah ancaman yang paling menakutkan karena Karbapenem adalah antibiotik ‘kuda perang’ untuk infeksi Gram-negatif yang parah. Bakteri seperti Klebsiella pneumoniae (CRE) dan Acinetobacter baumannii (CRAB) yang resisten terhadap Karbapenem telah dijuluki sebagai 'Nightmare Bacteria' karena mereka hampir tidak memiliki pilihan pengobatan yang efektif, seringkali hanya menyisakan obat-obatan yang sangat toksik dan sangat tua (seperti Kolistin).
Tuberkulosis yang kebal terhadap dua obat antituberkulosis lini pertama yang paling efektif (Isoniazid dan Rifampisin) membutuhkan pengobatan yang jauh lebih lama (hingga dua tahun), lebih mahal, dan dengan tingkat keberhasilan yang lebih rendah serta efek samping yang lebih berat. Bentuk yang lebih parah, XDR-TB (Extensively Drug Resistant TB), hampir mustahil diobati.
Penggunaan antibiotik merupakan pedang bermata dua. Di satu sisi, mereka adalah penyelamat nyawa tak ternilai; di sisi lain, penggunaan yang ceroboh dan berlebihan telah membawa kita ke ambang krisis kesehatan global. Krisis resistensi antimikroba bukanlah masalah fiksi ilmiah masa depan; ini adalah realitas klinis saat ini yang mengakibatkan ribuan kematian setiap tahun.
Untuk melestarikan efektivitas obat-obatan ini, diperlukan upaya kolektif dan sinergis yang mencakup pengawasan ketat oleh profesional kesehatan (Stewardship), investasi dalam penelitian dan pengembangan, serta perubahan perilaku mendasar oleh masyarakat (kepatuhan dan pencegahan infeksi).
Setiap orang memiliki tanggung jawab dalam menjaga keajaiban medis antibiotik. Dengan menggunakan obat-obatan ini secara bijak, sesuai indikasi, dan dengan penuh kepatuhan, kita dapat memastikan bahwa antibiotik tetap menjadi alat yang efektif melawan infeksi bakteri, dan bukan sekadar kenangan sejarah.
Kesehatan Global Adalah Tanggung Jawab Bersama.