Dalam hiruk pikuk kehidupan modern, seringkali kita merasa terbebani oleh ketidakpastian masa depan. Kekhawatiran menumpuk, dan energi kita terkuras habis karena mencoba mengontrol setiap variabel. Di tengah tantangan tersebut, Al-Qur'an menawarkan solusi fundamental yang telah teruji oleh waktu: **tawakal** (berserah diri sepenuhnya kepada Allah setelah berusaha maksimal). Salah satu ayat kunci yang menggemakan prinsip ini adalah **QS An-Nahl ayat 98**.
Ayat ini merupakan penegasan yang kuat dari Allah SWT, yang disampaikan dalam konteks peringatan terhadap tipu daya syaitan. Ayat sebelumnya (An-Nahl: 97) menjanjikan kehidupan yang baik bagi siapa pun yang beramal saleh, baik laki-laki maupun perempuan, selama ia beriman. Ayat 98 kemudian memberikan 'benteng pertahanan' spiritual bagi orang-orang beriman tersebut.
Inti dari An-Nahl ayat 98 terletak pada dua pilar utama: **Iman (الَّذِينَ ءَامَنُوا۟)** dan **Tawakal (عَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ)**. Syaitan, sang penggoda, memiliki berbagai senjata untuk menjerumuskan manusia, seperti keraguan, keserakahan, dan ketakutan. Namun, ayat ini menegaskan bahwa senjata-senjata tersebut menjadi tumpul di hadapan dua perisai ini.
Pertama, keimanan yang kokoh. Ketika seseorang benar-benar yakin dengan keesaan Allah, janji-Nya, dan janji akan hari akhir, maka pengaruh bisikan negatif menjadi sangat berkurang. Iman membedakan mana yang hak dan mana yang batil. Kedua, tawakal. Tawakal bukan berarti pasrah tanpa usaha, melainkan sebuah proses aktif: mengerahkan seluruh kemampuan terbaik untuk meraih tujuan, kemudian melepaskan hasilnya sepenuhnya kepada kehendak Allah. Ayat ini secara eksplisit menyatakan bahwa syaitan tidak memiliki "otoritas" atau "kekuasaan (سُلْطَٰنٌ)" untuk memaksa orang beriman yang bersandar kepada Tuhan mereka.
Sering terjadi kesalahpahaman bahwa tawakal identik dengan kemalasan atau sikap fatalistik. Padahal, konsep tawakal dalam Islam sangat dinamis. Rasulullah SAW pernah bersabda, "Ikat untamu lalu bertawakallah." Ini menunjukkan bahwa ikhtiar adalah prasyarat mutlak. Setelah usaha maksimal dilakukan, barulah hati disandarkan sepenuhnya kepada Allah.
Ketika kita mengaplikasikan An-Nahl ayat 98 dalam kehidupan nyata, artinya kita berani mengambil risiko yang telah diperhitungkan, bekerja keras sesuai kemampuan, namun ketika hasil tidak sesuai harapan (misalnya, usaha bisnis gagal, atau penyakit tak kunjung sembuh), hati kita tidak hancur lebur. Mengapa? Karena kita tahu bahwa ada kekuatan yang lebih besar yang mengatur skenario terbaik bagi kita. Ketidakberdayaan syaitan atas mereka yang bertawakal adalah jaminan ketenangan jiwa.
Secara psikologis, tawakal adalah mekanisme pengelola stres yang paling efektif. Beban pikiran tentang hasil serahkan kepada Sang Maha Pengatur. Hal ini membebaskan energi mental untuk fokus pada perbaikan diri dan ikhtiar berikutnya. Orang yang bertawakal cenderung lebih tabah dalam menghadapi musibah karena ia memandang musibah tersebut sebagai ujian yang harus dihadapi dengan sabar, bukan sebagai akhir dari segalanya.
Ayat ini juga memberikan motivasi bagi umat Islam untuk tidak takut menghadapi tantangan, baik tantangan eksternal (ancaman musuh) maupun internal (godaan hawa nafsu). Selama kita memegang teguh keimanan dan menjadikannya sebagai landasan tumpuan hati kita, kekuatan gaib yang menyesatkan tidak akan mampu menembus benteng ketenangan batin kita. QS An-Nahl 98 adalah janji ilahi yang memastikan bahwa keyakinan sejati akan selalu dilindungi.
Merenungkan QS An-Nahl ayat 98 mengajak kita untuk terus menerus mengevaluasi kualitas iman dan cara kita bertawakal. Apakah kita sudah berusaha sekuat tenaga? Dan setelah berusaha, apakah kita benar-benar melepaskan hasilnya dengan hati yang lapang kepada Allah SWT? Dalam kesadaran bahwa kekuatan terbesar syaitan terbatasi oleh iman dan tawakal kita, kita dapat menjalani hidup dengan keberanian, ketenangan, dan kepastian bahwa kita berada di bawah naungan perlindungan-Nya.