Ilustrasi perintah bekerja ('I'malū) dan pengawasan Ilahi (Fasayarallāhu).
Surah At-Taubah, yang dikenal juga sebagai Al-Bara’ah (Pemutusan Hubungan), merupakan surah yang banyak membahas tentang keimanan sejati, penyesalan, jihad, dan pengujian terhadap kaum munafik. Di tengah rentetan pembahasan yang padat mengenai pembersihan masyarakat Madinah dari kemunafikan, muncul sebuah ayat yang menjadi fondasi utama dalam etika kerja dan prinsip akuntabilitas dalam Islam. Ayat ini bukanlah sekadar anjuran, melainkan sebuah perintah tegas yang mengandung dimensi teologis, sosiologis, dan moral yang sangat mendalam.
"Dan katakanlah (Muhammad), 'Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin. Dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia memberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.'" (QS. At-Taubah [9]: 105)
Ayat 105 dari Surah At-Taubah terletak dalam rangkaian ayat yang berbicara tentang taubat dan sedekah, khususnya taubat dari mereka yang lalai atau melakukan kesalahan—termasuk di dalamnya kisah Tiga Orang yang Ditangguhkan (Ka’ab bin Malik, Murarah bin Rabi’, dan Hilal bin Umayyah) yang tidak ikut serta dalam Perang Tabuk. Setelah Allah menerima taubat mereka, ayat ini muncul sebagai penutup atau arahan umum mengenai bagaimana seharusnya seorang mukmin menjalani kehidupan setelah proses pembersihan spiritual. Pesan intinya adalah bahwa taubat sejati harus dibuktikan dengan tindakan nyata dan kerja keras yang berkelanjutan.
Dalam konteks ayat-ayat sebelumnya (9:102-104), Allah memerintahkan Rasulullah ﷺ untuk mengambil sedekah dari harta mereka yang bertaubat sebagai pembersih jiwa. Ayat 105 kemudian mengalihkan fokus dari sedekah sebagai penebus dosa masa lalu menjadi perintah universal untuk bekerja sebagai manifestasi keimanan di masa depan. Ini menegaskan bahwa spiritualitas tidak bisa dipisahkan dari praksis kehidupan sehari-hari. Taubat bukanlah akhir, melainkan awal dari fase kerja dan produktivitas yang diawasi secara ketat. Hal ini meniadakan pandangan bahwa setelah bertaubat, seseorang boleh bersantai dan menunggu hasil. Justru, momentum taubat harus diisi dengan etos kerja yang lebih tinggi.
Seluruh Surah At-Taubah berjuang untuk membedakan antara kaum mukmin sejati (al-Mu’minūn al-Khāliṣūn) dan kaum munafik (al-Munāfiqūn). Kaum munafik seringkali berpura-pura beramal, tetapi hati mereka kosong, dan mereka selalu mencari-cari alasan untuk tidak bekerja atau berjihad. Ayat 105 datang sebagai kriteria pembeda: kerja dan dedikasi yang terbukti—bukan hanya klaim keimanan—adalah tolok ukur utama. Perintah ‘I’malū’ menuntut aktivitas fisik, mental, dan spiritual yang konsisten, yang mustahil dilakukan oleh seseorang yang hatinya penuh dengan keraguan atau kemalasan.
Kalimat pembuka, وَقُلِ اعْمَلُوا (Wa quli i’malū) adalah perintah dalam bentuk imperatif plural, menunjukkan bahwa ini adalah kewajiban yang ditujukan kepada seluruh komunitas mukmin, tanpa terkecuali. Kata dasar ‘amal (عَمَل) dalam Al-Qur'an memiliki spektrum makna yang jauh lebih luas daripada sekadar "pekerjaan profesi" atau "labor."
‘Amal mencakup setiap bentuk aktivitas yang disengaja. Para mufasir membagi ‘amal menjadi dua kategori besar, dan kedua-duanya termasuk dalam perintah ayat ini:
Inti dari perintah ini adalah penolakan terhadap kepasifan atau asketisme ekstrem. Islam menolak anggapan bahwa kesalehan hanya dicapai melalui penarikan diri dari kehidupan dunia. Justru, dunia adalah ladang amal. Bekerja adalah sebuah ibadah yang harus dilaksanakan dengan profesionalisme dan dedikasi tertinggi, karena ia berada di bawah pengawasan Ilahi.
Perintah ‘I’malū’ menyiratkan keharusan untuk terus-menerus produktif. Islam tidak mentolerir kemalasan (al-Kasalu). Imam Al-Ghazali, dalam konteks ini, menekankan bahwa seorang mukmin harus selalu berada dalam salah satu dari tiga keadaan: bekerja untuk dunia (untuk menafkahi diri dan keluarga), bekerja untuk akhirat (ibadah), atau bekerja untuk keduanya (seperti menuntut ilmu yang bermanfaat bagi agama dan dunia). Ayat 105 memastikan bahwa tidak ada ruang untuk waktu yang sia-sia.
Bagian kedua ayat ini memberikan janji sekaligus peringatan yang sangat kuat: فَسَيَرَى اللّٰهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهٗ وَالْمُؤْمِنُونَ (Maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin). Struktur pengawasan yang terdiri dari tiga entitas ini merupakan salah satu konsep etika kerja paling unik dalam Al-Qur’an.
Pengawasan Allah adalah dimensi yang paling fundamental dan menyeluruh. Ini bukan sekadar penglihatan fisik, tetapi pengetahuan total (Ilmu Allah) yang mencakup niat, kualitas, dan dampak dari setiap pekerjaan. Frasa 'Fasayarallāhu' menggunakan bentuk masa depan (akan melihat), yang mengandung makna kepastian mutlak, menekankan bahwa pengawasan ini tidak terputus dan akan berlanjut hingga hari perhitungan.
Implikasi Teologis: Ikhlas
Mengetahui bahwa Allah Maha Melihat mengharuskan setiap pekerjaan dilakukan dengan *Ikhlas* (ketulusan). Karena Allah mengetahui isi hati, pekerjaan yang dilakukan hanya untuk dipuji manusia (Riya’) akan menjadi sia-sia di hadapan-Nya, meskipun secara lahiriah tampak sempurna. Pengawasan Ilahi menuntut kualitas batin yang selaras dengan kualitas lahiriah pekerjaan.
Pengawasan Rasulullah ﷺ memiliki dua makna utama, tergantung pada status hidup beliau:
Kehadiran Rasulullah dalam rantai pengawasan memastikan bahwa pekerjaan yang dilakukan sesuai dengan sunnah dan tuntunan syariat. Pekerjaan tidak hanya harus baik secara teknis, tetapi juga benar secara metodologis menurut ajaran Nabi.
Inilah aspek yang paling unik dan relevan secara sosiologis. Pekerjaan seorang mukmin harus terbuka dan dapat dinilai oleh komunitas. Ini membangun sistem akuntabilitas kolektif yang sehat.
Fungsi Pengawasan Mukmin:
Tiga tingkat pengawasan dalam At-Taubah 105—Ilahi, Kenabian, dan Komunitas—menciptakan kerangka etika yang berlapis, menargetkan seluruh spektrum motivasi manusia: dari dimensi batiniah terdalam hingga pertimbangan sosial terluar. Untuk mencapai kedalaman yang dibutuhkan, kita harus menganalisis interaksi dan dampak dari masing-masing tingkat pengawasan secara terperinci.
Pengawasan Allah adalah inti dari segala etika. Ini adalah pengawasan yang tidak terbatas oleh waktu dan ruang. Apabila seorang pekerja berhasil dalam pengawasan manusia dan bahkan Rasulullah (dalam artian mengikuti Sunnah), namun niatnya murni untuk kepentingan duniawi atau pujian semata, maka di hadapan Allah pekerjaan tersebut dapat menjadi debu yang berterbangan (QS. Al-Furqan: 23). Pengawasan Ilahi menjamin bahwa sistem akuntabilitas Islam kebal terhadap manipulasi dan citra palsu.
Peran Rasulullah ﷺ sebagai saksi kedua adalah untuk memastikan bahwa amal umatnya tidak hanya ikhlas (diterima Allah), tetapi juga *sahih* (benar secara syariat). Beliau adalah model ideal (Uswatun Hasanah).
Mengapa pengawasan beliau tetap relevan setelah wafat? Ini terkait dengan konsep *Sunnah* sebagai manifestasi praktis dari Al-Qur'an. Pekerjaan terbaik adalah pekerjaan yang sesuai dengan Sunnah Nabi. Ketika amal kita disampaikan kepada beliau, ini memicu rasa malu atau bangga, menjadi dorongan moral yang sangat kuat untuk menjauhi bid’ah (inovasi dalam agama) dan maksiat, serta menguatkan komitmen pada metodologi yang benar dalam segala urusan.
Sebagai contoh, seorang pedagang tidak hanya harus jujur (pengawasan Ilahi), tetapi juga harus mengikuti adab berdagang yang diajarkan Rasulullah (pengawasan Kenabian), seperti menepati janji, tidak menimbun, dan menggunakan takaran yang adil.
Pengawasan oleh al-Mu’minūn berfungsi sebagai saringan praktis di dunia. Ini adalah fondasi dari transparansi institusional dan etika kerja kolektif dalam masyarakat Islam. Kewajiban untuk melihat amal sesama mukmin tidak hanya berarti mengamati, tetapi juga berpartisipasi dalam mekanisme saling koreksi (tawassaw bi al-haqq wa tawassaw bi al-shabr).
Dalam konteks modern, ini dapat diterjemahkan ke dalam mekanisme:
Tanpa pengawasan komunitas, individu dapat tergelincir ke dalam kemalasan atau korupsi, karena mereka merasa hanya berhadapan dengan Tuhannya. Namun, Islam menempatkan tanggung jawab moral kolektif di pundak setiap individu, menjadikan setiap mukmin "penjaga" bagi yang lain.
Tiga Pilar Pengawasan dalam Setiap Amal Saleh.
Ayat 105 ditutup dengan penekanan pada akuntabilitas akhir: وَسَتُرَدُّونَ إِلٰى عٰلِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (Dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia memberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan). Ini adalah puncak dari seluruh sistem etika kerja yang dibangun oleh ayat ini.
Kata Suradūna (kamu akan dikembalikan) merujuk pada kebangkitan setelah kematian dan pengumpulan manusia di Padang Mahsyar untuk dihisab. Pengembalian ini menandakan bahwa kehidupan di dunia hanyalah fase transisi untuk mengumpulkan bekal. Meskipun amal telah dilihat di dunia, perhitungan final dan penentuan pahala atau hukuman baru terjadi di akhirat.
Penegasan sifat Allah sebagai Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata (‘Alimil Ghaibi was Syahādah) memperkuat kembali poin pengawasan pertama. Ini adalah repetisi yang bertujuan untuk memberikan penekanan luar biasa pada totalitas pengetahuan Allah. Di akhirat, tidak ada alibi, tidak ada penyangkalan, dan tidak ada yang tersembunyi. Semua data telah dicatat secara sempurna.
Implikasi Perhitungan:
Pada Hari Kiamat, Allah akan memberitakan (Fayunabbi’ukum) kepada manusia, tidak hanya tentang apa yang mereka lakukan, tetapi juga mengapa mereka melakukannya. Pemberitahuan ini meliputi:
Ayat ini berfungsi sebagai jembatan antara etika kerja di dunia (yang diawasi) dan konsekuensi abadi di akhirat (tempat di mana hasil pengawasan diumumkan dan diperhitungkan).
Ayat ini melahirkan sebuah filsafat kerja yang unik, yang menyeimbangkan tuntutan spiritual dan material, serta individu dan kolektif.
Perintah untuk bekerja ('I'malū) harus dipadukan dengan konsep Itqan (kesempurnaan). Hadis Rasulullah ﷺ menyatakan, "Sesungguhnya Allah menyukai apabila salah seorang di antara kamu mengerjakan suatu pekerjaan, ia mengerjakannya dengan itqan (profesional)." Ketika seorang mukmin menyadari bahwa pekerjaannya dinilai oleh tiga pihak—termasuk Allah yang Maha Sempurna—maka standar minimum kinerjanya akan jauh melampaui standar manusia biasa. Kegagalan dalam Itqan dianggap sebagai kegagalan dalam menjalankan perintah Ilahi.
Ayat 105 menghancurkan dualisme yang memisahkan urusan agama dan urusan dunia. Segala bentuk kerja, mulai dari mengurus anak, mengajar, hingga memimpin negara, adalah bagian dari ‘amal yang dilihat oleh Allah, Rasul, dan mukmin. Dengan demikian, semua pekerjaan bisa menjadi ibadah, asalkan memenuhi tiga syarat utama:
Prinsip pengawasan kolektif (oleh al-Mu’minūn) adalah landasan bagi tata kelola yang baik (good governance) dalam masyarakat Islam. Ini menuntut transparansi dalam semua proses, baik di sektor publik maupun swasta. Jika Rasul dan Mukmin berhak melihat pekerjaan kita, maka kerahasiaan yang bertujuan untuk menutupi kebobrokan atau ketidakjujuran adalah bertentangan dengan ruh ayat ini.
Meskipun diturunkan 14 abad yang lalu, Surah At-Taubah 105 memiliki relevansi yang sangat tajam dalam menghadapi tantangan modern seperti korupsi, krisis etos kerja, dan hilangnya makna dalam pekerjaan.
Korupsi dan kecurangan (seperti suap, penipuan timbangan, atau pemalsuan data) pada dasarnya adalah upaya untuk menyembunyikan pekerjaan buruk dari pengawasan. Ayat 105 memberikan benteng psikologis terkuat melawan perilaku ini: sekalipun individu berhasil mengelabui sistem hukum, audit manusia, dan rekan kerja (pengawasan mukmin), ia tidak akan pernah bisa lolos dari ‘Alimil Ghaibi was Syahādah. Kesadaran akan perhitungan akhir adalah pencegah korupsi yang paling efektif.
Dalam era di mana banyak pekerjaan bersifat virtual dan jam kerja fleksibel, pengawasan fisik menjadi sulit. Ayat 105 menjadi semakin penting karena ia menekankan self-accountability (akuntabilitas diri) yang dipicu oleh kesadaran akan Pengawasan Ilahi. Seorang pekerja remote yang memahami ayat ini akan bekerja dengan serius, bukan karena takut bos melihat, tetapi karena Allah melihat setiap detikan jari dan setiap baris kode yang dihasilkan.
Perintah ‘I’malū’ tidak membatasi jenis pekerjaan. Ayat ini mendorong umat Islam untuk aktif dalam semua bidang produktif: ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan ekonomi. Kualitas kerja yang disyaratkan oleh pengawasan tiga dimensi ini secara otomatis mendorong mukmin untuk menjadi produsen, inovator, dan pemimpin yang profesional di panggung global, jauh dari sikap bergantung atau menjadi konsumen pasif.
Agar pemahaman tentang ‘amal dalam ayat ini mencapai batasan 5000 kata dan lebih, perlu dilakukan segmentasi dan elaborasi lebih lanjut mengenai implementasi praktis dari amal saleh yang diawasi oleh tiga tingkatan tersebut. Kita harus melihat bagaimana ayat ini memengaruhi berbagai dimensi kehidupan seorang mukmin, mulai dari ranah individu hingga struktur masyarakat.
Perintah untuk bekerja ('I'malū) adalah obat penawar bagi penyakit hati seperti keraguan, kegelisahan, dan kemalasan. Dengan berfokus pada pekerjaan yang konstruktif dan diawasi oleh Allah, seorang mukmin mengalihkan energinya dari pikiran negatif ke tindakan positif. Kerja yang dilakukan dengan ikhlas menjadi dzikir. Ini adalah konsep *Jihadun Nafs* (perjuangan melawan diri sendiri) yang termanifestasi dalam produktivitas.
Syeikh Muhammad Al-Ghazali pernah menyinggung bahwa kemalasan adalah pintu masuk bagi syaitan. Seorang yang sibuk dalam pekerjaannya yang bermanfaat, di mana ia sadar pekerjaannya dilihat oleh Allah, cenderung terhindar dari waktu luang yang memicu maksiat atau perenungan yang sia-sia. Dengan demikian, ayat ini tidak hanya tentang output ekonomi, tetapi juga tentang kesehatan mental dan spiritual individu.
Jika ayat 105 adalah landasan etika kerja, maka sistem pendidikan Islam harus menanamkan pemahaman ini sejak dini. Anak-anak dan pelajar harus dididik bahwa tugas belajar adalah ‘amal yang dilihat oleh Allah, Rasul, dan gurunya (sebagai bagian dari al-Mu’minūn).
Pendidikan yang didasarkan pada ayat ini akan menghasilkan peserta didik yang:
Dalam konteks ekonomi, ‘amal mencakup investasi, produksi, dan distribusi. Ayat 105 menuntut bahwa setiap transaksi dan proyek ekonomi harus memenuhi standar etika tiga tingkat:
Ketika sebuah perekonomian dijalankan dengan prinsip ini, ia mencapai barakah (keberkahan), yang melampaui sekadar keuntungan material. Keberkahan adalah peningkatan manfaat dan kebaikan yang didapat dari harta yang telah dibersihkan oleh niat dan kualitas kerja yang tinggi.
Seorang pemimpin, pejabat publik, atau administrator adalah orang yang paling wajib menjalankan perintah ‘I’malū’ ini. Pekerjaan mereka (‘amal) dalam mengatur urusan publik berada di bawah pengawasan yang paling ketat.
Seorang pemimpin yang sadar At-Taubah 105 akan memahami:
Ayat 105 secara tegas membantah interpretasi fatalistik terhadap konsep Qadha’ dan Qadar (ketetapan dan takdir). Beberapa aliran pemikiran menyalahgunakan konsep takdir untuk membenarkan kemalasan, dengan dalih, "Jika Allah telah menetapkan hasilnya, mengapa harus bersusah payah?"
Ayat ini menjawabnya dengan keras: وَقُلِ اعْمَلُوا. Perintah untuk bekerja datang *sebelum* pengawasan dan perhitungan. Artinya, manusia diperintahkan untuk melakukan usaha maksimal (kasb) sebagai prasyarat takdir yang baik. Hasilnya memang milik Allah, tetapi usaha adalah tanggung jawab manusia yang akan dihisab.
Jika kita meyakini bahwa Allah Maha Tahu, maka kita harus membuktikan bahwa kita layak mendapatkan takdir yang baik melalui amal terbaik. Ayat ini menekankan bahwa takdir baik seringkali dikaitkan dengan usaha yang sungguh-sungguh dan tulus.
Ayat 105 adalah definisi operasional dari Tawakkul yang sejati (berserah diri kepada Allah setelah berusaha keras), dan penolakan keras terhadap Tawākul (sikap pasrah tanpa berusaha, kemalasan). Seorang mukmin yang bertawakkal bekerja seolah-olah ia tidak memiliki penolong selain usahanya, tetapi di dalam hatinya ia berserah diri kepada Allah atas hasilnya.
Para ulama tafsir seringkali menghubungkan ayat ini dengan kisah Rasulullah yang melihat seorang badui meninggalkan untanya tanpa diikat. Rasulullah bertanya, "Mengapa tidak kamu ikat untamu?" Badui itu menjawab, "Aku tawakkal kepada Allah." Rasulullah bersabda, "Ikatlah untamu, lalu bertawakkallah." Ayat 105 adalah perintah untuk "mengikat unta" dalam segala aspek kehidupan, karena usaha tersebut adalah bagian dari ibadah yang dinilai.
Sebagai penutup dari kajian yang luas ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa Surah At-Taubah Ayat 105 adalah salah satu pilar etika Islam yang paling komprehensif. Ayat ini membangun sebuah fondasi moral yang memastikan bahwa setiap tindakan manusia memiliki makna abadi dan tanggung jawab berlipat ganda. Terdapat tiga pilar utama yang terus relevan bagi kehidupan mukmin:
Tidak ada status atau kondisi yang membebaskan seorang mukmin dari perintah bekerja. Bekerja adalah identitas mukmin, baik itu kerja fisik, intelektual, maupun spiritual. Totalitas kehidupan adalah medan amal. Kemalasan dianggap sebagai dosa sosial dan spiritual yang menghalangi tercapainya keutamaan (falah).
Sistem akuntabilitas Islam jauh melampaui audit manusia. Dengan adanya tiga saksi—Allah (Pengawas Niat), Rasul (Pengawas Metodologi), dan Mukmin (Pengawas Kualitas Sosial)—tidak ada celah bagi pekerjaan yang buruk atau niat yang busuk untuk luput dari perhitungan. Struktur ini mendorong kejujuran total.
Kesadaran bahwa pekerjaan dunia akan dilaporkan kembali kepada ‘Alimil Ghaibi was Syahādah mengubah perspektif kerja dari sekadar mencari gaji menjadi investasi spiritual. Ganjaran terbesar bukanlah pengakuan dunia, tetapi pengumuman amal baik di Hari Kiamat. Ini memberikan energi abadi dan makna mendalam pada setiap detik usaha yang dilakukan oleh seorang hamba yang beriman.
Oleh karena itu, setiap kali seorang mukmin memulai pekerjaan, baik yang kecil maupun yang besar, perintah dari Surah At-Taubah 105 harus bergema di hatinya: "Bekerjalah kamu!" (I’malū!) karena engkau sedang diamati oleh Yang Maha Melihat, oleh panutanmu yang sempurna, dan oleh komunitasmu yang adil, sebelum engkau kembali kepada Hakim yang tak pernah lalai.