Surat An Nisa, yang berarti "Para Wanita", merupakan salah satu surat Madaniyah terpanjang dalam Al-Qur'an. Di dalamnya terkandung banyak petunjuk, hukum, dan nasihat yang relevan bagi kehidupan umat Muslim, baik secara individu maupun kolektif. Khususnya, ayat 85 hingga 90 memiliki makna mendalam terkait dengan sikap seorang Muslim terhadap kebaikan, perdamaian, dan tanggung jawab sosial. Memahami tafsir dari ayat-ayat ini sangat penting untuk membentuk karakter Muslim yang utuh dan berkontribusi positif bagi masyarakat.
"Barangsiapa memberikan pertolongan yang baik, maka ia akan mendapat bagian (pahala) dari padanya; dan barangsiapa memberi pertolongan yang buruk, maka ia akan menanggung (dosa) dari padanya. Dan Allah Maha Memelihara segala sesuatu."
Ayat ini menjadi landasan utama mengenai pentingnya setiap Muslim untuk proaktif dalam memberikan dukungan dan bantuan kepada sesama. Kata "pertolongan yang baik" mengacu pada segala bentuk kebaikan, baik itu materi, tenaga, ilmu, doa, maupun saran yang bermanfaat. Ajaran ini bersifat universal, mencakup hubungan baik antarindividu, keluarga, hingga masyarakat luas. Konsekuensinya pun jelas: kebaikan yang kita sebarkan akan kembali kepada kita dalam bentuk pahala dan keberkahan, sementara keburukan atau kejahatan yang kita lakukan akan berimplikasi negatif.
Dalam konteks sosial, ayat ini mengingatkan kita untuk tidak bersikap apatis terhadap penderitaan orang lain atau berdiam diri ketika melihat kemungkaran. Sebaliknya, kita didorong untuk menjadi agen perubahan yang membawa kebaikan. Kehidupan sosial akan harmonis jika setiap individu merasa bertanggung jawab untuk saling menolong dan berkontribusi positif.
"Dan apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (penghormatan itu) yang serupa. Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu."
Ayat 86 mempertegas prinsip interaksi sosial yang berlandaskan kebaikan dan keadilan. Ketika kita mendapatkan sapaan, ucapan selamat, atau perlakuan baik dari siapapun, hendaknya kita membalasnya dengan cara yang setara atau bahkan lebih baik. Ini adalah bentuk adab dan etika Islami yang bertujuan untuk memelihara hubungan baik dan mencegah perselisihan.
Lebih dari sekadar balasan, ayat ini juga mengandung pengingat bahwa Allah SWT adalah Maha Menghitung. Setiap amalan, sekecil apapun, akan diperhitungkan. Perintah untuk membalas penghormatan dengan lebih baik bukan hanya soal timbal balik semata, melainkan juga manifestasi dari akhlak mulia yang dicintai Allah. Dalam kehidupan sehari-hari, menerapkan prinsip ini dapat mengurangi potensi konflik dan mempererat tali silaturahmi.
"Allah, tidak ada Tuhan melainkan Dia. Sesungguhnya Dia akan mengumpulkan kamu pada Hari Kiamat yang tidak ada keraguan padanya. Dan siapakah yang lebih benar perkataannya daripada Allah?"
"Maka mengapa kamu (orang munafik) menjadi dua golongan dalam masalah orang munafik, padahal Allah telah memutar mereka kembali kepada (ajaran yang benar) disebabkan apa yang telah mereka kerjakan? Apakah kamu bermaksud memberi petunjuk kepada orang yang telah disesatkan Allah? Barangsiapa yang disesatkan Allah, niscaya kamu tidak akan mendapati jalan yang aman untuknya."
"Mereka (orang-orang munafik) suka supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). Maka janganlah kamu mengambil sekutu dari mereka, sampai mereka berhijrah pada jalan Allah. Jika mereka berpaling, maka bunuhlah mereka dan rampaslah harta mereka, kecuali orang-orang yang menyatu dengan suatu kaum yang antara kamu dan mereka ada perjanjian (damai), atau orang-orang yang datang kepadamu sedang hati mereka menahan diri (dari memerangi) mu dan dari memerangi kaumnya. Dan kalau Allah menghendaki, tentu Dia berkuasa atas mereka, lalu Dia menjadikan mereka dapat menguasai kamu. Maka jika mereka menyingkir daripadamu, tidak memerangimu dan menawarkan perdamaian kepadamu, maka Allah tidak memberi jalan kepadamu (untuk menawan) mereka."
Bagian ini menguraikan kondisi orang-orang munafik yang memiliki sifat bermuka dua, terkadang berada di pihak mukmin, terkadang di pihak musuh. Allah SWT menegaskan bahwa orang-orang munafik akan dikumpulkan pada Hari Kiamat dan akan diperhitungkan perbuatan mereka. Ayat ini juga memberikan panduan bagaimana bersikap terhadap mereka yang menunjukkan tanda-tanda kemunafikan atau permusuhan, terutama dalam konteks peperangan atau perjanjian.
Poin Penting:
"Kecuali orang-orang yang bermaksud (berhenti) kepada suatu kaum yang antara kamu dan kaum itu ada perjanjian (damai), atau orang-orang yang datang kepadamu sedang hati mereka (merasa) tidak memerangi kamu dan tidak (pula) memerangi kaumnya. Dan kalau Allah menghendaki, tentu Dia menjadikan mereka berkuasa terhadap kamu, lalu tentulah mereka memerangi kamu. Maka jika mereka menyingkir daripadamu, tidak memerangi kamu dan menawarkan perdamaian kepadamu, maka Allah sekali-kali tidak memberi jalan bagimu (untuk berbuat jahat) terhadap mereka."
Ayat terakhir ini memberikan pengecualian penting. Bagi orang-orang yang secara tulus mencari perdamaian, baik itu mereka yang bernaung di bawah perjanjian damai atau mereka yang memiliki niat baik untuk tidak terlibat dalam permusuhan, umat Islam tidak diperbolehkan untuk memerangi atau berbuat jahat kepada mereka. Ini menunjukkan bahwa Islam sangat menjunjung tinggi nilai perdamaian dan tidak mentolerir agresi terhadap pihak yang tidak bersalah atau yang ingin menghentikan konflik.
Sikap toleransi dan perdamaian ini menjadi cerminan dari ajaran Islam yang rahmatan lil 'alamin (membawa rahmat bagi seluruh alam). Dengan memahami dan mengamalkan ayat-ayat ini, diharapkan umat Muslim dapat senantiasa berupaya menciptakan kedamaian, menjaga ukhuwah Islamiyah, serta berkontribusi pada terciptanya masyarakat yang harmonis dan penuh berkah.