Panggilan Universal untuk Bekerja dan Pertanggungjawaban Abadi
Surat At-Taubah, surah kesembilan dalam Al-Qur'an, dikenal dengan ketegasannya dalam memisahkan antara kebenaran dan kemunafikan. Di tengah seruan untuk bertaubat, berjihad, dan membersihkan hati dari keraguan, muncul sebuah ayat yang menjadi pondasi utama etos kerja dalam Islam. Ayat ini bukan hanya perintah untuk bergerak, tetapi juga deklarasi abadi tentang sistem pengawasan dan pertanggungjawaban yang melibatkan Sang Pencipta, Rasul-Nya, dan seluruh umat beriman.
Ayat 105 dari Surat At-Taubah (9:105) adalah manifestasi sempurna dari keseimbangan antara usaha manusia (ikhtiar) dan pengawasan Ilahi (muraqabah). Ia menegaskan bahwa setiap gerak-gerik, setiap niat, dan setiap hasil kerja kita, sekecil apa pun, berada dalam cakupan penglihatan yang tak pernah terlewatkan.
Ayat 105 datang setelah serangkaian ayat yang membahas tentang orang-orang munafik yang tidak mau ikut berjihad dan berbagai alasan palsu yang mereka kemukakan (ayat 90-96). Ayat-ayat sebelumnya juga menyinggung orang-orang Badui yang mencampuradukkan amal baik dan buruk (ayat 102) serta pentingnya sedekah dan taubat yang tulus.
Dalam konteks ini, Ayat 105 berfungsi sebagai pembeda mutlak. Jika orang munafik berusaha menutupi perbuatan mereka dengan sumpah palsu, ayat ini menyatakan bahwa tidak ada yang dapat ditutup-tutupi dari pandangan Allah. Ini adalah perintah tegas bagi setiap Mukmin: jangan hanya berbicara atau bersumpah, tetapi tunjukkanlah melalui *amal* (kerja atau perbuatan). Tindakan nyata adalah bukti keimanan sejati, dan tindakan tersebut tidak akan pernah luput dari pengawasan.
Ayat 105 dapat dibagi menjadi tiga bagian utama, masing-masing membawa pesan teologis dan sosiologis yang sangat penting:
Frasa ini berarti, "Dan Katakanlah: Bekerjalah kamu." Ini adalah perintah dalam bentuk imperatif (amar), menunjukkan kewajiban dan urgensi. Islam bukanlah agama yang mengajarkan kepasifan atau fatalisme. Sebaliknya, ia mendorong aktivitas, produktivitas, dan partisipasi aktif dalam membangun kehidupan, baik duniawi maupun ukhrawi.
Ini adalah inti dari sistem akuntabilitas dalam Islam, menjamin bahwa setiap perbuatan dilihat dan dicatat, baik di alam gaib maupun alam nyata. Pengawasan ini terdiri dari tiga tingkatan:
Ini adalah tingkatan tertinggi dan abadi. Allah Maha Melihat (Al-Bashir) dan Maha Mengetahui (Al-Alim). Dalam konteks ini, 'melihat' tidak hanya berarti mengamati wujud fisik pekerjaan, tetapi juga menembus niat, proses, dan kualitas batin yang menyertai pekerjaan tersebut. Tidak ada yang luput dari pandangan-Nya, bahkan rahasia terdalam dalam hati manusia.
Para ulama tafsir berbeda pendapat mengenai bagaimana Rasulullah (setelah wafatnya) dapat menyaksikan amal umatnya. Pendapat yang dominan adalah bahwa amal umat akan dipersembahkan kepada beliau secara periodik. Persaksian Rasulullah berfungsi sebagai:
Ini adalah dimensi sosiologis dari ayat ini. Amal yang kita lakukan, terutama yang bersifat publik atau memengaruhi masyarakat, akan dinilai oleh komunitas beriman. Persaksian Mukmin memiliki beberapa fungsi penting:
Bagian ketiga ini adalah peringatan tentang Hari Kembali. Setelah melalui pengawasan di dunia, semua akan kembali kepada Allah, Yang Maha Mengetahui yang gaib (tidak terlihat) dan yang nyata (terlihat).
Ayat ini adalah fondasi bagi apa yang dikenal sebagai Etos Kerja Islami (Ethos of Islamic Work). Etos ini melampaui sekadar mencari nafkah; ia menempatkan pekerjaan sebagai sebuah misi spiritual dan sosial.
Karena Allah mengetahui yang gaib, termasuk niat, setiap pekerjaan harus dimulai dengan *ikhlas* (ketulusan). Bekerja bukan semata-mata untuk mendapatkan gaji, pujian manusia, atau status, tetapi sebagai bentuk ketaatan kepada Allah. Tanpa niat yang benar, kerja keras pun bisa sia-sia di hadapan-Nya, meskipun secara lahiriah terlihat mengagumkan.
Implikasi Ikhlas: Korupsi, kecurangan, dan ketidakjujuran dalam pekerjaan otomatis gugur dari kategori *amal* yang diterima Allah, karena niatnya telah dicemari oleh kepentingan pribadi yang haram.
Nabi Muhammad SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah suka apabila salah seorang dari kalian bekerja, ia melakukannya dengan *itqan* (sempurna/profesional)." Jika pekerjaan kita akan dilihat oleh Allah, Rasul, dan komunitas, maka standar kualitasnya haruslah yang tertinggi. Ayat 105 mendorong Muslim untuk menjadi yang terbaik dalam bidang mereka, baik sebagai dokter, insinyur, pedagang, atau petani.
Itqan menuntut:
Amal yang paling disukai Allah adalah amal yang dilakukan secara terus-menerus (istiqamah), meskipun sedikit. Karena pengawasan Allah adalah abadi dan berkelanjutan, kerja kita juga harus berkelanjutan. Ayat 105 tidak berbicara tentang satu pekerjaan besar, melainkan tentang pekerjaan yang dilakukan secara konsisten sepanjang hidup, yang akan dipertanggungjawabkan di akhirat.
Konsep *muraqabah* (merasa diawasi) adalah inti dari penghayatan Surat At-Taubah 105. Ayat ini mengintegrasikan pengawasan tersebut dalam tiga lapisan yang saling menguatkan, menciptakan jaring akuntabilitas yang kokoh.
Ini adalah pengawasan tertinggi. Kesadaran bahwa Allah melihat setiap detail menghilangkan godaan untuk berbuat curang saat tidak ada manusia lain yang melihat. Ini adalah benteng pertahanan paling kuat melawan kemunafikan (nifaq), yang menjadi tema sentral dalam Surah At-Taubah.
Jika seseorang meyakini bahwa 'setelah saya mati, semua ini akan diungkap oleh Yang Maha Tahu,' maka motivasi untuk berlaku jujur dalam setiap transaksi, pengajaran, atau pembangunan akan meningkat drastis.
Keyakinan bahwa Rasulullah SAW mengetahui amal kita berfungsi sebagai motivasi tambahan yang mulia. Muslim merasa termotivasi untuk melakukan amal yang dapat membuat Rasulullah bangga di Hari Kiamat. Ini mengikat umat dengan warisan kenabian dan menanamkan rasa hormat yang mendalam terhadap sunnah dan ajaran beliau dalam setiap aspek kehidupan.
Persaksian kaum Mukmin (masyarakat) memastikan bahwa institusi dan individu bekerja secara transparan. Dalam Islam, masyarakat beriman memiliki peran kolektif dalam menegakkan kebaikan dan mencegah kemungkaran (amar ma'ruf nahi munkar). Ketika masyarakat beriman menjadi saksi, ini mendorong mekanisme check and balance yang sehat. Jika seorang pemimpin atau pekerja publik bekerja buruk, masyarakat berhak (bahkan wajib) menjadi saksi yang adil.
Penyebutan Allah sebagai ‘ālimil-ghaibi was-shahādah (Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata) di akhir ayat adalah penutup yang sempurna, mengikat seluruh pesan kerja dan persaksian dengan otoritas Ilahi yang absolut.
Al-Ghaib mencakup segala sesuatu yang tersembunyi dari indra manusia: niat hati, pikiran yang belum diucapkan, masa depan yang belum terjadi, dan hakikat Hari Kiamat. Ketika Allah mengembalikan manusia kepada-Nya, yang dipertanyakan adalah ‘amal yang tersembunyi—sejauh mana pekerjaan itu tulus, meskipun tidak seorang pun di dunia ini mengetahuinya.
Ini memotivasi Muslim untuk memperbaiki *amal batin* (ibadah hati), karena hasil akhirnya tidak ditentukan oleh tepuk tangan publik, tetapi oleh catatan abadi di sisi Allah.
As-Shahadah adalah segala sesuatu yang terlihat, dapat diamati, dan menjadi objek persaksian di dunia. Dalam konteks Ayat 105, ini termasuk kualitas fisik pekerjaan, integritas dalam berinteraksi, dan dampak sosial yang dihasilkan dari usaha kita.
Perpaduan antara Gaib dan Nyata menunjukkan bahwa tidak ada celah bagi manusia untuk melarikan diri dari pertanggungjawaban. Jika niat baik, tetapi pekerjaan buruk, ada masalah dalam Itqan. Jika pekerjaan terlihat baik, tetapi niatnya buruk, ada masalah dalam Ikhlas. Keduanya akan diungkap di hadapan Yang Maha Tahu.
Ayat 105 memiliki relevansi universal, terutama dalam menghadapi tantangan etika dan moralitas di era modern, di mana sering kali yang dihargai adalah penampilan luar dan citra publik, bukan substansi atau ketulusan.
Bagi pekerja, ayat ini adalah pengingat untuk tidak mengambil keuntungan dari waktu kerja, tidak mencuri hak perusahaan atau klien, dan selalu memberikan nilai terbaik. Profesionalisme sejati dalam Islam adalah bagian dari ibadah, bukan sekadar kontrak ekonomi. Setiap detik yang dibayar harus dikerjakan dengan jujur, karena Allah, Rasul-Nya, dan Mukmin di sekitar (rekan kerja, klien) sedang menyaksikan.
Seorang pemimpin yang menghayati 9:105 akan sadar bahwa tindakannya, baik yang dipublikasikan maupun kebijakan di balik layar, akan dipertanggungjawabkan secara vertikal (kepada Allah) dan horizontal (kepada rakyat Mukmin). Ini menuntut transparansi, keadilan, dan penolakan terhadap korupsi. Kemunafikan seorang pemimpin tidak dapat disembunyikan; ia hanya ditunda pengungkapannya hingga Hari Pengembalian.
Bagi seorang pelajar atau ilmuwan, *amal* adalah menuntut ilmu dan mengamalkannya. Ayat 105 mengajarkan bahwa belajar harus didorong oleh niat tulus untuk memberi manfaat, bukan sekadar mengejar gelar atau pengakuan. Upaya yang dilakukan di perpustakaan atau laboratorium, jauh dari sorotan, tetap disaksikan Allah.
Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif, penting untuk meninjau bagaimana ulama besar sepanjang sejarah menafsirkan perintah dan peringatan dalam Ayat 105. Meskipun mereka sepakat pada intinya, penekanan mereka memberikan kekayaan perspektif.
Imam Ibn Katsir menafsirkan ayat ini dalam konteks setelah taubatnya orang-orang yang jujur dari kalangan sahabat yang sebelumnya lalai ikut serta dalam Perang Tabuk. Beliau menekankan bahwa Allah memerintahkan mereka untuk terus bekerja dan melakukan ketaatan, karena Allah pasti akan menerima dan membalasnya.
Ibn Katsir sangat menyoroti aspek 'amal' sebagai lawan dari kemunafikan. Jika munafik hanya mengandalkan sumpah palsu, Mukmin sejati membuktikan iman mereka melalui kerja yang terlihat dan bermanfaat.
Imam Al-Qurtubi, yang dikenal dengan penafsiran yang kuat pada aspek hukum (fiqh), melihat ayat ini sebagai dasar kewajiban bekerja untuk mencari rezeki (kasb). Beliau menekankan bahwa perintah bekerja ini universal dan mengharamkan sikap meminta-minta atau hidup sebagai beban masyarakat, selama seseorang masih mampu berusaha.
Beliau juga membahas secara rinci bagaimana amal dapat dipersembahkan kepada Rasulullah SAW, menguatkan hadis-hadis yang berkaitan dengan penyampaian amal umat kepada Nabi setelah wafatnya.
Dalam Fi Zhilalil Qur’an, Sayyid Qutb melihat ayat ini sebagai seruan untuk gerakan dan rekonstruksi sosial. Ia menekankan bahwa perintah bekerja bukan hanya ibadah ritual, tetapi manifestasi jihad (perjuangan) dalam membangun kehidupan yang sesuai dengan syariat Islam.
Qutb berpendapat bahwa persaksian Mukmin di sini adalah penting untuk membangun masyarakat yang saling mengawasi dan bertanggung jawab. Ayat ini adalah penolakan terhadap individualisme; amal harus memiliki dimensi publik dan dampak pada jamaah.
Syekh Ahmad Al-Maraghi menafsirkan perintah bekerja ini dengan menekankan pentingnya pengembangan sumber daya alam dan teknologi. Beliau melihat ayat ini sebagai dorongan bagi umat Islam untuk menjadi produktif dan menguasai ilmu pengetahuan demi kemaslahatan umat, menjauhkan umat dari ketergantungan pada pihak lain. Dalam pandangannya, kemajuan duniawi yang dilandasi niat baik adalah puncak dari 'amal yang disaksikan Allah.
Meskipun Ayat 105 berfokus pada perintah bekerja, ia sangat erat kaitannya dengan ayat-ayat sebelumnya yang berbicara tentang ekonomi dan penyucian harta dalam Surah At-Taubah. Ayat 103, misalnya, memerintahkan pengambilan zakat untuk menyucikan mereka.
Jika Ayat 105 memerintahkan kita untuk bekerja dan berproduksi (i’malū), maka kewajiban zakat (termasuk yang dibayarkan oleh mereka yang bekerja keras) adalah penyucian akhir dari harta hasil kerja tersebut. Kerja keras yang tulus (disaksikan Allah) harus disertai dengan pembagian yang adil (zakat).
Sistem riba (bunga) menghasilkan kekayaan tanpa kerja keras yang riil atau produktif; ia hanya mengalirkan uang berdasarkan kepemilikan modal semata. Ayat 105 secara implisit mengkritik sistem yang tidak menghargai *amal* (kerja nyata). Islam meninggikan nilai kerja, bukan spekulasi atau eksploitasi pasif.
Kata fa-yunabbi’ukum (lalu diberitakan-Nya kepadamu) mengandung unsur ancaman dan janji sekaligus. Ini bukan sekadar pemberitahuan biasa, tetapi pengungkapan yang membawa konsekuensi abadi.
Ketika Allah yang Maha Mengetahui yang gaib dan nyata memberitakan amal seseorang, tidak ada lagi ruang untuk alasan, penolakan, atau pembelaan diri. Bukti-bukti yang digunakan adalah bukti yang sempurna: catatan malaikat, persaksian anggota tubuh, dan yang terpenting, pengetahuan mutlak Allah sendiri.
Di dunia, kita hanya bisa menghakimi amal berdasarkan apa yang kita lihat (shahadah). Banyak orang baik yang diremehkan, dan banyak orang munafik yang dipuja. Ayat 105 menjamin bahwa ketidakadilan ini akan diperbaiki. Semua kebaikan yang tersembunyi akan diungkap, dan semua kejahatan yang terselubung akan diperlihatkan.
Kesadaran akan ‘pengungkapan’ ini seharusnya menjadi penangkal yang kuat terhadap keangkuhan (ujub) ketika berbuat baik, dan keputusasaan ketika berbuat salah. Ini mendorong introspeksi terus-menerus (muhasabah), karena setiap hari kerja adalah babak baru dalam ‘buku amal’ yang akan dibuka kelak.
Ayat ini menghilangkan dikotomi antara kerja duniawi dan ibadah ukhrawi. Dalam Islam, keduanya adalah satu kesatuan, asalkan kerja duniawi dilandasi oleh niat Ilahiah.
Dalam pandangan ulama, perjuangan seorang Muslim untuk menghidupi keluarganya dengan cara halal sering disamakan dengan jihad di jalan Allah. Keringat yang ditumpahkan untuk menghasilkan pekerjaan berkualitas, yang bermanfaat bagi umat, adalah bagian dari ketaatan tertinggi.
Bagaimana sebuah aktivitas rutin seperti mengajar, bertani, atau berdagang dapat menjadi ibadah? Jawabannya terletak pada Ayat 105: menjaganya dari kecurangan (karena Allah melihat), melakukannya dengan itqan (karena Allah menyukai kesempurnaan), dan memiliki niat (ikhlas) untuk menafkahi diri dan menolong orang lain.
Surat At-Taubah ayat 105 berdiri sebagai mercusuar yang memandu seluruh umat manusia menuju kehidupan yang aktif, jujur, dan bertanggung jawab. Ia adalah seruan untuk meninggalkan kemalasan, menolak kemunafikan, dan memeluk kerja keras yang tulus.
Ayat ini mengingatkan kita bahwa hidup di dunia adalah sebuah arena kerja yang terus-menerus diawasi oleh tiga entitas mulia—Allah, Rasul-Nya, dan masyarakat beriman. Namun, pada akhirnya, penilaian terakhir hanya milik Allah, Yang Maha Mengetahui segala yang tersembunyi di balik tirai niat dan yang terbentang di depan mata.
Maka, berbekal perintah agung ini, setiap Mukmin didorong untuk bertanya pada dirinya sendiri di setiap awal hari: Apa ‘amal yang akan saya persembahkan hari ini, yang akan disaksikan oleh Sang Pencipta, Sang Rasul, dan umat yang saya cintai? Dan bekerjalah dengan kesadaran penuh bahwa pada Hari Pengembalian, segala usaha kita, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi, akan diberitakan dan dipertanggungjawabkan di hadapan Yang Maha Adil.