Surat At-Taubah ayat 105 merupakan salah satu fondasi utama dalam ajaran Islam yang berbicara tentang etos kerja, tanggung jawab individu, dan sistem akuntabilitas yang bersifat ilahiah, kenabian, serta komunal. Ayat ini datang pada periode penting dalam sejarah awal umat Islam, yaitu ketika komunitas Madinah sedang diperkuat, dan konsep pertobatan (taubah) serta pembersihan harta (zakat/sedekah) sedang ditekankan sebagai bagian integral dari iman yang sejati.
Inti dari ayat ini bukan hanya sekadar anjuran untuk bekerja, melainkan penegasan bahwa setiap usaha dan tindakan manusia berada di bawah pengawasan multidimensi yang akan menentukan hasil dan balasan di akhirat. Perintah yang lugas dan tegas ini mengubah pandangan umat Muslim terhadap pekerjaan—dari sekadar sarana mencari nafkah menjadi ibadah yang memiliki dimensi spiritual mendalam.
Ayat yang dimaksud, Surah At-Taubah (Pengampunan) ayat 105, berbunyi:
Untuk memahami kedalaman pesan ayat ini, kita perlu membedah beberapa kata kunci utama:
Kata kerja perintah ('Imalū) berasal dari akar kata 'amila (عمل), yang artinya melakukan, mengerjakan, atau bertindak. Perintah ini datang dalam bentuk jamak, menekankan bahwa kewajiban bekerja dan beramal adalah tanggung jawab kolektif seluruh individu. Kata 'amal (pekerjaan) dalam konteks Islam tidak terbatas pada pekerjaan profesional saja, melainkan mencakup semua bentuk perbuatan, baik fisik, verbal, maupun niat dalam hati. Ini mencakup salat, sedekah, berbuat baik, hingga mencari nafkah yang halal.
Kata sayara (akan melihat) menegaskan bahwa tindakan yang dilakukan saat ini, meskipun tersembunyi dari pandangan manusia lain, pasti akan diobservasi secara menyeluruh. Penggunaan kata 'sin' (س) di awal menunjukkan kepastian masa depan yang dekat atau akan terjadi. Ini bukan sekadar ancaman, melainkan jaminan bahwa tidak ada satu pun usaha yang sia-sia, baik kebaikan maupun keburukan. Observasi ini, sebagaimana dijelaskan dalam ayat, memiliki tiga tingkatan:
Penutup ayat ini mengingatkan kita pada sifat Allah Yang Maha Mengetahui. Al-Ghaib adalah hal-hal yang tersembunyi dan tidak dapat dijangkau indra manusia (seperti niat, takdir, dan hari akhir), sementara As-Shahādah adalah segala yang tampak dan dapat disaksikan. Allah, sebagai pemilik kedua ilmu tersebut, adalah hakim tertinggi yang akan memberikan putusan yang adil berdasarkan amal perbuatan kita yang dicatat secara sempurna.
Meskipun Surat At-Taubah secara umum diturunkan untuk mengatur hubungan umat Islam dengan kaum munafik dan untuk menetapkan hukum jihad, ayat 105 khususnya sering dikaitkan dengan konteks pertobatan dan penerimaan sedekah.
Beberapa ayat sebelumnya (At-Taubah 102-104) berbicara tentang orang-orang yang mengakui dosa mereka dan kemudian menyerahkan sebagian harta mereka sebagai sedekah (zakat) kepada Nabi Muhammad ﷺ untuk membersihkan diri mereka. Nabi diperintahkan untuk menerima sedekah mereka dan mendoakan mereka. Setelah proses penerimaan sedekah dan taubat ini, ayat 105 datang sebagai penutup dan penegasan prinsip umum: bahwa proses pertobatan dan pembersihan diri tidak boleh berhenti, melainkan harus dilanjutkan dengan aksi nyata, yaitu 'amal (pekerjaan) yang baik dan konsisten.
Prinsipnya jelas: pengampunan bukanlah izin untuk bermalas-malasan, melainkan dorongan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas kerja baik, karena kerja baik itu sendiri adalah bukti nyata dari pertobatan yang tulus.
Ayat ini berfungsi sebagai motivasi abadi: pekerjaan yang kamu lakukan, setelah kamu dibersihkan dari dosa, akan dinilai oleh otoritas tertinggi. Ini menjamin bahwa amal yang dilakukan tidak akan pernah luput dari perhatian, memberikan harapan besar bagi mereka yang berjuang untuk tetap berada di jalan kebaikan.
Pilar utama ayat 105 adalah sistem pengawasan yang berlapis, yang memastikan bahwa akuntabilitas bersifat total, melibatkan dimensi spiritual, historis, dan sosial. Pemahaman mendalam tentang konsep 'Fasayarā' ini esensial bagi pembentukan etos kerja Islami.
Ini adalah pengawasan primer dan paling mendasar. Allah SWT melihat segala sesuatu, baik yang tersembunyi maupun yang nyata. Dalam konteks amal, penglihatan Allah meliputi:
Kesadaran akan pengawasan Ilahi menghasilkan muraqabah (rasa selalu diawasi), yang merupakan puncak dari kesadaran spiritual yang mendorong kehati-hatian maksimal dalam setiap tindakan.
Pengawasan oleh Rasulullah ﷺ memiliki makna yang berbeda tergantung pada perspektif tafsir. Secara umum, ini merujuk pada tiga hal:
A. Kesaksian Fisik: Bagi para Sahabat yang hidup sezaman, Rasulullah ﷺ secara harfiah melihat pekerjaan mereka dan memberikan bimbingan serta evaluasi langsung. Ini adalah tingkat akuntabilitas historis.
B. Kesaksian Post-Mortem (Kenabian): Sebagian ulama menafsirkan bahwa amal umat dipaparkan kepada Nabi di alam barzakh. Hadis-hadis yang berkaitan dengan penyampaian salam kepada Nabi mendukung pandangan ini, meskipun penekanan utama tafsir adalah pada aspek kenabian secara universal.
C. Kesaksian Syariat: Pekerjaan kita dinilai sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh ajaran Rasulullah ﷺ (Sunnah). Apakah pekerjaan tersebut sesuai dengan syariat? Apakah metodenya mencontoh kebaikan yang diajarkan? Dalam konteks ini, "melihat" berarti memverifikasi kesesuaian tindakan dengan panduan kenabian.
Ini adalah dimensi akuntabilitas sosial yang sangat penting. Kaum Mukmin (komunitas) memiliki peran untuk menjadi saksi atas pekerjaan yang dilakukan oleh sesama mereka. Fungsi pengawasan komunal ini mencakup:
Pengawasan ini memastikan bahwa pekerjaan tidak hanya berorientasi pada hasil akhir pribadi, tetapi juga memiliki manfaat dan dampak positif bagi lingkungan sosial dan umat secara keseluruhan. Ini adalah konsep yang sangat modern mengenai transparansi dan tata kelola yang baik (good governance) yang sudah diajarkan dalam Islam ribuan tahun lalu.
Ayat 105 At-Taubah berfungsi sebagai piagam kerja bagi setiap Muslim. Etos kerja yang lahir dari ayat ini jauh melampaui konsep kapitalisme atau materialisme murni, karena ia mengaitkan kerja dengan tujuan spiritual yang abadi.
Ketika pekerjaan dilakukan dengan niat yang lurus (ikhlas), sesuai syariat, dan dikerjakan secara profesional (itqan), maka pekerjaan tersebut bertransformasi menjadi ibadah. Ayat ini menjamin bahwa ibadah yang terwujud dalam bentuk 'amal akan dipertimbangkan dan diberi pahala, sama seperti salat atau puasa.
Ayat ini menetapkan prinsip akuntabilitas total. Pada akhir ayat, disebutkan bahwa manusia akan dikembalikan kepada Allah, Yang Maha Mengetahui yang gaib dan yang nyata, "lalu Dia memberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan." Ini adalah puncak dari akuntabilitas (hisab). Semua yang telah dilihat oleh Allah, Rasul, dan Mukmin akan disimpulkan dan dipertanggungjawabkan pada Hari Penghitungan.
Kesadaran bahwa laporan amal kita akan dibuka dan dibacakan di hadapan Mahkamah Ilahi memberikan dorongan moral yang tak tertandingi untuk menjauhi kecurangan, kemalasan, dan pekerjaan yang tidak berkualitas. Ini adalah fondasi dari integritas seorang Muslim.
Perintah tegas 'Imalū (Bekerjalah!) secara langsung menolak sikap pasif dan kemalasan. Dalam sejarah, ayat ini sering dikutip untuk menyanggah kelompok yang memahami zuhud (asketisme) sebagai penarikan diri total dari kehidupan duniawi. Islam mengajarkan bahwa keseimbangan ideal adalah bekerja keras di dunia seiring dengan beribadah untuk akhirat.
Tidak ada kemuliaan dalam kefakiran yang diakibatkan oleh kemalasan. Kemuliaan terletak pada usaha maksimal dan tawakal kepada hasil usaha yang telah dipersembahkan.
Para ulama tafsir telah memberikan interpretasi yang kaya mengenai ayat 105, khususnya tentang bagaimana kita menyeimbangkan pengawasan Ilahi yang abadi dengan pengawasan manusiawi yang fana.
Imam Ibnu Katsir, dalam tafsirnya, menekankan bahwa ayat ini merupakan perintah universal untuk melakukan amal saleh. Ia menafsirkan 'melihat' dalam konteks Rasulullah dan kaum Mukmin sebagai pemahaman bahwa amal yang dilakukan akan memberikan dampak sosial. Jika seseorang berbuat baik, maka kebaikannya akan terlihat dan ia akan mendapatkan pujian yang baik di dunia (sebagai bagian dari 'ajil/segera' dari balasan Allah), meskipun balasan utama tetap di akhirat. Ia menekankan bahwa perintah ini berlaku untuk setiap individu yang beriman, bukan hanya mereka yang baru bertaubat.
Tafsir Jalalain menafsirkan ayat ini dengan singkat namun padat, fokus pada janji kepastian. Mereka menegaskan bahwa setelah mereka (para taubat) kembali bekerja, amal mereka akan disaksikan. Penekanan mereka berada pada kepastian pengembalian (وَسَتُرَدُّونَ) kepada Allah, Yang Maha Mengetahui segala rahasia (ghaib) yang tersembunyi dalam niat mereka.
Ulama kontemporer sering menggunakan ayat ini sebagai dasar untuk membangun ekonomi Islam dan etika profesional. Mereka menyoroti aspek 'Syahādah al-Mu'minūn' (Kesaksian Kaum Mukmin) sebagai dasar untuk:
Ayat 105 bukan hanya retorika spiritual; ia adalah cetak biru untuk masyarakat yang berfungsi berdasarkan kejujuran dan usaha yang berkelanjutan.
Konsep yang diangkat dalam At-Taubah 105 diperkuat oleh banyak ayat lain dalam Al-Qur'an, yang secara kolektif membentuk doktrin Islam mengenai pentingnya usaha manusia.
Ayat ini secara harmonis berhubungan dengan Surah Az-Zalzalah ayat 7-8:
“Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat dzarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat dzarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.”
Jika At-Taubah 105 menekankan bahwa amal kita 'dilihat', Az-Zalzalah menjamin bahwa hasil dari amal yang telah dilihat itu pasti akan 'dilihat' kembali oleh pelakunya pada Hari Kiamat. Kedua ayat ini saling melengkapi dalam membentuk sistem pertanggungjawaban yang sangat rinci dan adil.
Meskipun At-Taubah 105 memerintahkan 'bekerjalah', Allah juga menjelaskan dalam Al-Kahf 7 bahwa tujuan penciptaan adalah menguji kualitas amal:
“Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, untuk Kami coba mereka siapakah di antara mereka yang paling baik perbuatannya.” (QS. Al-Kahf: 7)
Ini menegaskan kembali bahwa pengawasan Allah tidak hanya menghitung jumlah jam kerja atau kuantitas tindakan, tetapi fokus pada Ahsanu 'Amalā (amal yang paling baik, paling benar, dan paling ikhlas).
Bagaimana seorang Muslim menerapkan prinsip At-Taubah 105 dalam era kontemporer? Penerapannya harus mencakup setiap aspek kehidupan, dari karir profesional hingga tanggung jawab domestik.
Prinsip 'bekerjalah' menuntut seorang profesional Muslim untuk mencapai level keahlian tertinggi. Bekerja dengan gaji atau upah tidak boleh hanya dianggap sebagai transaksi ekonomi, tetapi sebagai amanah yang diawasi oleh tiga pihak.
Pengawasan oleh kaum Mukmin menempatkan tanggung jawab sosial pada setiap individu. Kita tidak boleh menjadi pasif ketika melihat ketidakadilan atau kelalaian. 'Amal dalam konteks ini adalah berpartisipasi aktif dalam perbaikan masyarakat.
Misalnya, pemimpin harus menyadari bahwa keputusannya dilihat oleh konstituennya, dan yang lebih penting, dicatat di sisi Allah. Jika seorang pemimpin menjalankan tugasnya dengan ikhlas dan adil, ia telah memenuhi tuntutan At-Taubah 105, dan komunitas akan menjadi saksi kebaikannya.
Karena pengawasan Allah meliputi niat, kunci untuk menjadikan seluruh 'amal sebagai ibadah adalah mengkalibrasi niat pada awal setiap tugas. Pekerjaan rutin, seperti membersihkan rumah atau menyelesaikan laporan keuangan, harus diniatkan untuk menunaikan tanggung jawab, mencari keridhaan Allah, atau memberikan manfaat kepada keluarga dan masyarakat. Dengan demikian, seluruh hari kerja menjadi ladang pahala yang tak terputus.
Ayat penutup, "dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu Dia memberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan," adalah penegasan yang paling kuat tentang pertanggungjawaban abadi.
Pengembalian (Radd) kepada Allah bukanlah akhir yang bersifat pasif, tetapi awal dari proses hisab yang detail. Seluruh catatan amal, yang telah dilihat dan disaksikan di dunia, akan diungkapkan secara rinci. Frasa ini menghilangkan keraguan sekecil apa pun mengenai keadilan Ilahi.
1. Harapan dan Optimisme: Bagi mereka yang bekerja keras dalam ketaatan, ayat ini adalah sumber harapan tak terbatas. Usaha yang tersembunyi dari pujian manusia atau yang tidak diakui oleh atasan tetap dicatat secara sempurna oleh Allah.
2. Rasa Takut yang Mendorong: Bagi mereka yang tergoda untuk berbuat curang atau malas, ayat ini memberikan peringatan yang kuat. Meskipun mereka berhasil menyembunyikan keburukan dari manusia atau bahkan dari komunitas, mereka tidak akan pernah bisa menyembunyikannya dari Allah, Yang mengetahui Gaib dan Nyata.
3. Menjaga Kualitas Batin: Karena Allah mengetahui Al-Ghaib (niat batin), seorang Muslim didorong untuk selalu fokus pada pembersihan hati (tazkiyatun nufus). Kualitas spiritual pekerjaan lebih penting daripada hasil fisik semata. Jika pekerjaan itu ikhlas, meskipun hasilnya tidak sempurna di mata manusia, ia tetap sempurna di sisi Allah.
Dalam pemahaman yang lebih luas, perintah 'Bekerjalah!' mencakup segala bentuk jihad, baik jihad Akbar (melawan hawa nafsu) maupun jihad Ashghar (perjuangan di medan perang atau dalam membangun peradaban). Setiap perbuatan yang dilakukan untuk meninggikan kalimat Allah adalah 'amal yang akan disaksikan.
Ayat 105 secara implisit menjadi antidot terkuat terhadap sifat riya' (pamer atau mencari pujian manusia). Karena Allah adalah pengawas pertama dan utama, fokus harus selalu diarahkan kepada-Nya.
Jika seseorang bekerja keras hanya karena ingin dilihat oleh bosnya (sehingga memenuhi sebagian dari 'Syahādah al-Mu'minūn') namun hatinya kosong dari niat tulus (ikhlas), pekerjaan itu mungkin berhasil secara duniawi, tetapi nilainya sebagai amal saleh berkurang drastis di sisi Allah (karena melanggar 'Syahādah Allāh').
Untuk menghindari riya', etika kerja yang diajarkan oleh ayat ini menuntut penyelarasan niat pada tiga tingkatan pengawasan:
Sikap ini melahirkan pribadi yang teguh, yang kualitas kerjanya tetap sama, baik ketika ia diawasi langsung oleh atasan, maupun ketika ia bekerja sendiri di dalam ruangan tertutup. Kualitas ini adalah manifestasi dari keyakinan penuh terhadap pengawasan Yang Maha Mengetahui.
Keindahan dari Surat At-Taubah ayat 105 adalah kemampuannya untuk menyentuh hati para pekerja di semua lini. Bagi petani yang menanam padi di tengah sawah, bagi insinyur yang merancang jembatan, bagi ibu rumah tangga yang mendidik anak-anak, atau bagi dokter yang merawat pasien—semua pekerjaan ini terangkum dalam perintah 'Bekerjalah', dan semuanya berada di bawah pengawasan Ilahi yang tak terhindarkan. Pekerjaan kita adalah warisan kita; ia adalah laporan akhir yang akan kita bawa saat kita dikembalikan kepada Yang Maha Pemberi Berita.
Penekanan pada kata kerja perintah jamak, 'Imalū, menegaskan bahwa membangun peradaban (kemakmuran duniawi dan spiritual) adalah tugas yang harus dipikul bersama. Ini bukan izin untuk menjadi individu yang terpisah, melainkan seruan untuk kolaborasi yang jujur dan produktif.
Dalam konteks pembangunan umat, 'amal mencakup inovasi, pembelajaran, pengajaran, dan kontribusi intelektual. Setiap Muslim diamanahkan untuk memaksimalkan potensi dirinya demi kebaikan bersama. Jika sebuah proyek pembangunan dilakukan dengan niat ikhlas, menggunakan metode yang benar sesuai Sunnah, dan menghasilkan manfaat yang nyata bagi masyarakat (yang kemudian menjadi saksi kebaikannya), maka proyek tersebut adalah manifestasi sempurna dari pesan At-Taubah 105.
Ayat ini berfungsi sebagai pengingat konstan bahwa waktu adalah modal yang sangat berharga (waktu yang digunakan untuk 'amal) yang akan dipertanyakan pertanggungjawabannya. Tidak ada ruang untuk menunda-nunda atau menyia-nyiakan potensi yang telah diberikan oleh Allah SWT. Setiap detik yang berlalu adalah kesempatan untuk menambah catatan amal saleh, yang akan "dilihat" dan pada akhirnya "diberitakan" kepada kita di Hari Perhitungan.
Oleh karena itu, Surat At-Taubah ayat 105 merupakan inti dari kehidupan Muslim yang seimbang: aktif di dunia, tetapi berorientasi pada akhirat; bekerja keras di hadapan manusia, tetapi dengan hati yang tertuju sepenuhnya kepada Sang Pencipta.
Ayat ini menawarkan janji yang kuat: amalmu diperhatikan, usahamu dihargai, dan pada akhirnya, semua kebaikan, sekecil apa pun, akan menjadi saksi yang meringankan saat kita berdiri di hadapan Allah, Yang Maha Mengetahui segala yang tersembunyi dan segala yang tampak.
Pemahaman yang mendalam terhadap ayat ini akan terus mendorong umat Islam untuk menjadi individu yang paling bertanggung jawab, paling berdedikasi, dan paling berkualitas dalam segala bidang kehidupan, karena mereka tahu bahwa pekerjaan mereka tidak hanya dinilai oleh manusia, tetapi juga oleh Mahkamah Tertinggi.
Inilah prinsip yang menggerakkan para pendahulu saleh untuk mencapai puncak kemajuan ilmiah dan etika. Mereka memahami bahwa setiap penemuan, setiap pelayanan, setiap bangunan, setiap tulisan, adalah manifestasi dari perintah Ilahi: Bekerjalah! Karena Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman melihat pekerjaanmu. Dan kelak, engkau akan menerima kabar tentang semua yang telah engkau persembahkan.
Pekerjaan adalah sebuah ujian berkesinambungan, yang hasilnya direkam dalam buku catatan yang tak pernah salah. Ini adalah refleksi iman, sebuah cermin bagi kedalaman ketulusan seorang hamba.