Surat At-Taubah, yang juga dikenal sebagai Bara’ah (Pemutusan), memiliki kedudukan yang sangat unik dalam Al-Qur'an. Ia merupakan satu-satunya surat yang tidak diawali dengan lafazh *Basmalah* (Bismillahirrahmanirrahim), sebuah hal yang para ulama tafsir sepakati bahwa hal ini melambangkan pemutusan hubungan dan pernyataan perang terhadap kaum musyrikin yang telah melanggar janji secara terang-terangan dan berulang kali. Surat ini turun pada periode kritis setelah penaklukan Mekah dan sebelum Haji Wada', menetapkan berbagai hukum penting yang mengatur hubungan antara komunitas Muslim dengan pihak-pihak yang terus menunjukkan permusuhan dan pengkhianatan.
Di antara ayat-ayat fundamental yang membentuk landasan hukum dan etika pertahanan dalam Islam adalah ayat ke-12. Ayat ini secara spesifik memberikan batasan dan kriteria yang sangat jelas mengenai kapan dan mengapa tindakan pertahanan militer (Qital) diperintahkan, berfokus pada pelanggaran serius terhadap perjanjian yang telah disepakati, bukan sekadar perbedaan keyakinan. Kajian terhadap ayat ini menuntut pemahaman mendalam tentang konteks sejarah, prinsip hukum Islam (fiqh Siyar), dan tujuan syariah (maqashid syariah) dalam menjaga integritas agama dan keamanan komunitas.
Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif terhadap maksud ayat 12, kita harus memecah dan menganalisis secara detail setiap komponen linguistiknya. Ayat ini adalah sebuah formulasi hukum yang padat, di mana setiap kata memiliki implikasi syar'i dan historis yang signifikan.
Kata Nakth (نَّكَثُوٓا۟) secara harfiah berarti merobek, membuka simpul, atau membatalkan. Dalam konteks perjanjian, ia merujuk pada tindakan pengkhianatan atau pembatalan sumpah dan janji yang telah diikat dengan kuat. Al-Qur'an menggunakan istilah ini untuk menekankan betapa seriusnya pelanggaran tersebut. Pelanggaran sumpah di sini bukan sekadar janji biasa, melainkan sumpah yang dikukuhkan dengan nama Allah atau perjanjian formal kenegaraan (Ahad). Ini menunjukkan bahwa pihak yang dituju ayat ini telah mencapai kesepakatan damai atau gencatan senjata, tetapi kemudian secara sengaja membatalkannya.
Imam Ar-Razi dalam tafsirnya menekankan bahwa Nakthul Aiman (merusak sumpah) adalah kejahatan moral dan politik yang mendasar. Itu merusak fondasi kepercayaan yang tanpanya hubungan antar kelompok tidak mungkin terjaga. Dalam hukum Islam, menjaga perjanjian adalah kewajiban yang sangat ditekankan, bahkan dengan musuh, selama musuh itu tidak melanggar perjanjiannya terlebih dahulu. Oleh karena itu, pelanggaran sumpah ini menjadi syarat pertama yang membenarkan respons pertahanan.
Aymān (أَيْمَٰنَهُم) adalah bentuk jamak dari yamin, yang berarti sumpah atau tangan kanan (yang digunakan dalam ritual sumpah). Dalam konteks ini, ia merujuk pada perjanjian dan jaminan keamanan yang telah mereka berikan kepada kaum Muslimin. Pelanggaran sumpah ini harus terjadi sesudah perjanjian itu ditetapkan, sebagaimana ditegaskan oleh frasa berikutnya: "مِّنۢ بَعْدِ عَهْدِهِمْ" (setelah perjanjian mereka).
Pengulangan konsep ini (sumpah dan perjanjian) berfungsi sebagai penguatan. Para ulama fiqh Siyar (hukum perang dan damai) menyimpulkan bahwa pelanggaran harus bersifat eksplisit dan merusak perjanjian secara total, bukan hanya pelanggaran kecil yang bisa diatasi melalui diplomasi. Ini menegaskan bahwa perintah berperang dalam ayat ini adalah tindakan terakhir setelah semua upaya damai dirusak oleh pihak lain.
Kata Ṭa'anū (طعنوا) secara literal berarti menikam atau menusuk. Dalam makna metaforis, ia merujuk pada mencela, mengecam keras, atau menghina secara publik dan agresif. Ketika diterapkan pada agama (fi dīnikum), ia berarti menyerang prinsip-prinsip dasar Islam, menghina Nabi Muhammad ﷺ, atau merendahkan ajaran-ajaran suci. Ini adalah kriteria kedua dan sangat penting yang memicu perintah pertahanan.
Tafsir Ibnu Katsir dan Al-Qurtubi menjelaskan bahwa pengkhianatan politik (Nakth) seringkali diikuti oleh penghinaan ideologis (Ṭa'an). Ini menunjukkan bahwa permusuhan mereka bukan hanya masalah perebutan kekuasaan atau teritorial, melainkan permusuhan yang mendalam terhadap eksistensi agama Islam itu sendiri. Tindakan mencela ini merupakan bentuk provokasi ekstrem yang bertujuan menghancurkan moral dan keyakinan komunitas Muslim.
Penting untuk dicatat bahwa dalam konteks ayat ini, Ṭa'an bukan sekadar perbedaan pendapat filosofis, tetapi sebuah serangan terorganisir yang menyertai pengkhianatan militer atau politik. Ini adalah agresi ganda: pengkhianatan kepercayaan dan penghinaan terhadap fondasi spiritual. Sebagian ulama bahkan berpendapat bahwa penghinaan ini adalah bukti nyata dari niat jahat mereka untuk tidak pernah berdamai dan menghancurkan Islam.
Ini adalah inti hukum dari ayat tersebut. Perintah perang (fa qātilū) ditujukan secara spesifik kepada A’immatul Kufri (أَئِمَّةَ ٱلْكُفْرِ), yang berarti "para imam/pemimpin kekafiran." Perintah ini bukan ditujukan kepada seluruh individu yang tidak beriman (kafir), melainkan hanya kepada para pemimpin yang memenuhi dua kriteria sebelumnya: mereka yang memimpin pengkhianatan perjanjian dan mereka yang memimpin penghinaan terhadap agama.
Siapakah yang dimaksud dengan pemimpin kekafiran? Para mufassirin umumnya sepakat bahwa ini merujuk pada tokoh-tokoh kunci dari pihak musuh yang merencanakan dan melaksanakan pengkhianatan. Contoh historis yang sering disebut adalah tokoh-tokoh seperti Abu Sufyan (sebelum masuk Islam), para pemimpin Bani Kinanah, atau pemimpin-pemimpin musyrikin yang memicu Perang Ahzab. Mereka adalah pimpinan militer, politik, dan ideologis yang bertanggung jawab atas keputusan untuk melanggar sumpah dan mencela agama.
Penekanan pada 'pemimpin' mengajarkan prinsip militer dan politik bahwa dalam konflik, fokus harus diberikan pada pihak yang memegang kendali dan yang bertanggung jawab atas agresi. Ini juga membedakan antara massa yang mungkin dipaksa atau mengikuti, dengan para perancang kejahatan yang tidak memiliki integritas sama sekali.
Frasa ini berfungsi sebagai justifikasi atau alasan hukum (illah) mengapa mereka harus diperangi. Itu bukan sekadar pernyataan, melainkan sebuah penegasan bahwa para pemimpin kekafiran ini telah kehilangan seluruh kredibilitas dan integritas moral. Jika mereka telah merusak sumpah yang paling suci dan berani mencela hal yang paling sakral (agama), maka mustahil untuk mengikat perjanjian damai baru dengan mereka. Mereka dianggap sebagai pihak yang secara inheren tidak dapat dipercaya (lā aymāna lahum).
Justifikasi ini sangat penting karena ia memutus lingkaran pengkhianatan. Islam mengajarkan bahwa perjanjian harus dipatuhi, tetapi jika satu pihak telah berulang kali membuktikan bahwa sumpah mereka tidak bernilai, maka komunitas Muslim memiliki hak, bahkan kewajiban, untuk membela diri dan menghentikan sumber ancaman tersebut secara permanen. Ini adalah pengecualian yang sangat ketat dalam hukum Siyar, yang pada dasarnya menganjurkan perdamaian.
Tujuan akhir dari perintah perang ini bukanlah kehancuran total atau balas dendam, melainkan untuk menciptakan pencegahan (deterrence) dan mengembalikan mereka ke jalan yang benar, atau setidaknya menghentikan agresi mereka. Kata Yantahūn (يَنتَهُونَ) berarti "mereka berhenti" atau "mereka jera."
Ini mengungkapkan Maqashid Syariah (tujuan hukum Islam) dalam peperangan: pertahanan diri dan penegakan keadilan, bukan penaklukan semata. Perang harus digunakan sebagai alat untuk mengakhiri kezaliman, pengkhianatan, dan penghinaan terhadap nilai-nilai agama. Jika mereka berhenti dari pengkhianatan dan celaan mereka, maka tujuan dari perintah ini telah tercapai.
Ayat 12 Surat At-Taubah menetapkan tiga kriteria kumulatif yang harus dipenuhi sebelum perintah memerangi A’immatul Kufri diaktifkan. Ini menunjukkan bahwa Islam tidak membenarkan agresi berdasarkan alasan tunggal, melainkan harus ada kombinasi pelanggaran berat yang mengancam eksistensi dan keamanan umat.
Pengkhianatan perjanjian adalah pelanggaran yang paling mendasar dalam hukum internasional Islam. Sebuah perjanjian (Ahad) adalah ikatan suci yang, sekali dibuat, harus dihormati sepenuhnya. Rasulullah ﷺ sangat menjunjung tinggi integritas perjanjian. Ketika ayat ini diturunkan, konteksnya adalah perjanjian-perjanjian yang ditandatangani di Hudaibiyah atau perjanjian lain dengan kabilah-kabilah di sekitar Madinah. Pelanggaran yang dimaksud di sini adalah pelanggaran yang disengaja, sistematis, dan dilakukan oleh pimpinan musuh.
Pelanggaran perjanjian ini sering kali berbentuk dukungan rahasia terhadap musuh Muslim lainnya, serangan mendadak, atau penolakan terang-terangan terhadap klausul utama perjanjian. Dalam konteks At-Taubah, ini menjadi alasan utama pemutusan hubungan yang diumumkan di awal surat. Kegagalan pihak musyrikin untuk menghormati perjanjian damai menunjukkan bahwa niat mereka sejak awal adalah menunggu kesempatan yang tepat untuk menyerang, menjadikannya ancaman keamanan nasional yang tidak bisa diabaikan.
Kriteria kedua, mencela agama, menunjukkan bahwa konflik ini bukan hanya masalah politik atau militer, tetapi juga masalah pertahanan identitas dan spiritual. Ketika musuh bukan hanya mengkhianati secara fisik, tetapi juga secara ideologis menyerang dan merendahkan Islam, itu menunjukkan tingkat permusuhan yang melampaui batas negosiasi. Serangan ini bertujuan untuk mendemoralisasi umat Islam dan merusak fondasi keyakinan mereka.
Tindakan mencela agama dapat berupa ejekan terhadap ritual, penghinaan terhadap Nabi, atau penyebaran fitnah yang merusak citra Islam. Dalam pandangan ulama, mencela agama menunjukkan bahwa permusuhan mereka bersifat fundamental dan tidak dapat diperbaiki melalui perjanjian politik semata. Ini adalah serangan terhadap kehormatan komunitas (Irdh) yang memerlukan respons tegas.
Penargetan pada A’immatul Kufri adalah prinsip penting. Perintah ini menghindari konflik yang melibatkan populasi sipil secara umum yang mungkin hanya tunduk pada perintah pemimpin mereka. Fokusnya adalah pada sumber masalah, yaitu para perencana dan pelaksana pengkhianatan.
Hal ini juga berfungsi sebagai pelajaran tentang kepemimpinan. Ayat ini secara implisit menyatakan bahwa pemimpin yang sah adalah mereka yang menjunjung tinggi sumpah dan moralitas. Pemimpin yang melanggar janji (lā aymāna lahum) telah kehilangan hak moral untuk dihormati sebagai mitra perjanjian, dan tindakan mereka menjustifikasi respons yang bertujuan untuk mengganti kepemimpinan yang zalim tersebut dengan stabilitas. Pemimpin-pemimpin ini, dalam pandangan ayat ini, adalah mereka yang memimpin kerusakan, bukan sekadar mengikuti kerusakan.
Ayat 12 At-Taubah adalah teks kunci dalam Fiqh Siyar (Hukum Perang dan Damai). Ayat ini memberikan batasan yang sangat jelas mengenai justifikasi untuk memulai kembali konflik setelah adanya perjanjian damai. Kajian fiqih tentang ayat ini berpusat pada dua konsep utama: keharusan menjaga perjanjian dan kondisi pengecualian yang membatalkan perjanjian tersebut.
Jauh sebelum turunnya ayat 12, Islam telah menetapkan keharusan mutlak untuk menjaga janji dan perjanjian, bahkan jika perjanjian itu terasa merugikan secara taktis, seperti dalam kasus Perjanjian Hudaibiyah. Allah berfirman dalam Al-Qur'an, “Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu akan dimintai pertanggungjawabannya.” (QS. Al-Isra: 34). Ayat 12 tidak membatalkan prinsip ini, melainkan menegaskan sanksi bagi pihak yang secara sepihak merusak integritas perjanjian. Jika kaum Muslimin diperintahkan untuk berperang, itu karena pihak lainlah yang pertama kali merobek fondasi hukum dan moral.
Ulama fiqih, seperti Imam Asy-Syafi'i dan Imam Malik, membahas secara ekstensif sifat dari pelanggaran yang dimaksud. Mereka menyimpulkan bahwa pelanggaran harus memenuhi kriteria berikut:
Jika hanya terjadi pelanggaran kecil, hukum Siyar menganjurkan negosiasi dan permintaan ganti rugi. Namun, jika mereka merusak sumpah (Nakthū aymānahum) dan secara terbuka mencela agama (Ṭa'anū fī dīnikum), maka mereka telah secara efektif menyatakan perang, dan perintah untuk melawan para pemimpin kekafiran menjadi wajib sebagai respons pertahanan yang proporsional.
Penegasan "sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang sumpahnya" adalah penetapan status hukum. Dalam konteks Siyar, status ini berarti bahwa perjanjian damai atau gencatan senjata yang ada sebelumnya secara otomatis batal. Lebih jauh, itu berarti bahwa umat Muslim tidak diwajibkan untuk menerima tawaran perjanjian damai dari kelompok yang sama di masa depan, kecuali ada bukti pertobatan dan perubahan total dalam perilaku mereka.
Ini adalah hukuman teologis sekaligus praktis:
Walaupun seringkali ditafsirkan dalam konteks militer, Surat At-Taubah ayat 12 juga memuat implikasi yang sangat mendalam terkait pertahanan ideologis, khususnya frasa "وَطَعَنُوا۟ فِى دِينِكُمْ" (dan mereka mencerca agamamu). Bagian ini mengangkat pertimbangan tentang batas antara kritik bebas dan serangan yang bertujuan menghancurkan keyakinan.
Ayat ini tidak melarang orang non-Muslim memiliki keyakinan berbeda atau mengajukan pertanyaan tentang Islam. Kehidupan Rasulullah ﷺ penuh dengan dialog dan perdebatan dengan berbagai kelompok agama dan filsafat. Yang dilarang adalah Ṭa'an—tusukan, celaan agresif, dan penghinaan yang dilakukan bersamaan dengan pengkhianatan perjanjian.
Dalam konteks modern, ulama kontemporer menafsirkan Ṭa'an sebagai agresi verbal atau media yang terorganisir yang bertujuan mendiskreditkan dan menghancurkan moral komunitas Muslim, terutama jika didukung oleh kekuatan politik atau militer yang sebelumnya telah melanggar kesepakatan damai. Ini adalah tindakan provokasi yang dirancang untuk memicu kekerasan atau disintegrasi sosial.
Tujuan dari penghinaan agama (Ṭa'an fid Dīn) yang disebutkan dalam ayat ini adalah:
Para mufassir menekankan hubungan kausal antara pengkhianatan fisik (Nakth) dan penghinaan ideologis (Ṭa'an). Seringkali, pihak yang berkhianat secara politik akan berusaha membenarkan pengkhianatan mereka dengan menyerang basis moral pihak yang dikhianati. Dengan mencela agama Islam, mereka mencoba membersihkan hati nurani mereka dan memobilisasi dukungan internal untuk agresi lanjutan.
Ini adalah pelajaran penting bahwa ancaman terhadap sebuah komunitas sering kali datang dari dua arah: ancaman fisik (militer atau perjanjian) dan ancaman moral/ideologis. Ayat 12 mengajarkan bahwa ketika kedua ancaman ini datang dari pihak yang sama (A’immatul Kufri), respons haruslah tegas dan terfokus.
Konsep A’immatul Kufri memerlukan elaborasi yang lebih luas untuk menghindari penafsiran yang dangkal. Ini bukan sekadar istilah yang merujuk pada setiap non-Muslim, tetapi memiliki makna yang spesifik, terbatas, dan bersifat kontekstual berdasarkan perilaku mereka.
A’immah (jamak dari Imam) berarti pemimpin, teladan, atau pionir. Dalam konteks Ayat 12, ini merujuk pada:
Ayat ini secara tegas membedakan antara para pemimpin yang agresif dan populasi non-Muslim pada umumnya. Islam selalu mengakui hak non-Muslim yang hidup damai (Ahludz Dzimmah atau Ahlul Ahdi) untuk menjalankan keyakinan mereka dan menjamin perlindungan mereka. Perintah perang hanya diarahkan kepada para pemimpin yang:
Pembedaan ini adalah bukti dari keadilan Islam, yang menolak hukuman kolektif (collective punishment) dan menuntut pertanggungjawaban hanya dari pihak yang bersalah atas pengkhianatan dan agresi. Perintah ini adalah tentang melumpuhkan pusat komando yang bertanggung jawab atas ancaman keamanan, bukan tentang pemusnahan berbasis identitas.
Dalam analisis politik Islam, ayat ini mengajarkan bahwa kepemimpinan membawa tanggung jawab yang lebih besar. Ketika pemimpin kekafiran menggunakan kekuasaan mereka untuk merusak perdamaian dan menyerang agama lain, mereka kehilangan status perlindungan mereka. Mereka adalah simbol dari pengkhianatan yang harus diatasi untuk memulihkan ketertiban dan keamanan.
Jika para pemimpin ini bertobat (masuk Islam, atau setidaknya menghentikan pengkhianatan dan celaan mereka), maka ancaman perang diangkat. Tujuan "la’allahum yantahūn" (agar mereka berhenti) menunjukkan bahwa pintu tobat selalu terbuka, dan konflik itu sendiri adalah sarana untuk memaksa perubahan perilaku, bukan hukuman akhir yang tidak terhindarkan.
Di balik hukum-hukum keras yang mengatur perang dan damai, Surat At-Taubah ayat 12 mengandung refleksi spiritual yang mendalam tentang pentingnya menjaga integritas ('ahd) dan kejujuran (ayman) dalam diri seorang Mukmin. Kontras antara Muslim yang menjaga janji dan pemimpin kekafiran yang "tidak dapat dipegang sumpahnya" adalah pelajaran moral yang fundamental.
Ayat ini secara tidak langsung mengajarkan kepada kaum Muslimin untuk menjauhkan diri dari sifat-sifat yang dimiliki oleh A’immatul Kufri, yaitu pengkhianatan dan celaan. Integritas adalah ciri khas seorang Mukmin. Jika Islam menuntut kesetiaan pada janji bahkan kepada musuh yang damai, maka kesetiaan kepada Allah dan sesama Muslim harus lebih utama lagi. Pelanggaran janji dalam Islam dianggap sebagai salah satu ciri kemunafikan yang paling nyata.
Nabi Muhammad ﷺ bersabda, “Tanda-tanda orang munafik ada tiga: jika berbicara ia berdusta, jika berjanji ia ingkari, dan jika dipercaya ia berkhianat.” Ayat 12 At-Taubah menegaskan bahwa para pemimpin kekafiran yang disebut di sini telah menunjukkan ketiga ciri tersebut dalam skala politik dan militer, sehingga mereka menjadi pihak yang paling berbahaya bagi stabilitas sosial.
Tujuan akhir "agar mereka berhenti" (la’allahum yantahūn) adalah pengingat bahwa konflik dalam Islam adalah alat, bukan tujuan. Konflik hanya dibenarkan jika tujuannya adalah untuk mengakhiri kezaliman dan memulihkan hak. Ini mengajarkan pentingnya penggunaan kekuatan yang terkendali, di mana segera setelah ancaman pengkhianatan dan celaan berhenti, konflik harus diakhiri.
Filosofi di balik Yantahūn adalah bahwa Islam mencari stabilitas permanen yang dibangun di atas keadilan, bukan hegemoni yang dibangun di atas penindasan. Jika para musuh menyadari kesalahan mereka, menghentikan agresi, dan menunjukkan niat baik untuk menghormati perjanjian, maka alasan untuk melanjutkan konflik pun gugur. Ini adalah prinsip etika tertinggi dalam peperangan Islam.
Surat At-Taubah diturunkan pada periode penting di Madinah, setelah delapan tahun hijrah, ketika kekuatan Islam telah mengakar kuat. Ayat-ayat sebelumnya menetapkan batas waktu empat bulan bagi kaum musyrikin untuk memutuskan hubungan atau bertobat. Ayat 12 ini datang sebagai pengecualian tegas bagi mereka yang bahkan dalam masa tenggang tersebut, memilih untuk melanjutkan pengkhianatan dan penghinaan.
Secara historis, ayat ini terkait dengan kabilah-kabilah Arab yang telah membuat perjanjian dengan Nabi ﷺ, tetapi kemudian melanggar perjanjian tersebut dengan membantu Quraisy, atau secara terang-terangan menyerang kaum Muslimin. Misalnya, Bani Bakar melanggar perjanjian dengan menyerang Bani Khuza’ah (sekutu Muslim). Pelanggaran ini dianggap sebagai Nakthul Ahad yang serius, yang pada akhirnya memicu Fathu Mekah (Penaklukan Mekah).
Ayat 12 mengkonsolidasikan prinsip bahwa pengkhianatan serius tidak akan ditoleransi karena mengancam kelangsungan hidup negara Muslim yang baru. Ini adalah pembentukan kebijakan luar negeri yang keras, tetapi adil, yang menuntut akuntabilitas dari pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian damai.
Dalam konteks modern, prinsip-prinsip yang terkandung dalam Ayat 12 tetap relevan dalam diskursus hukum internasional dan etika perang.
Ayat ini berfungsi sebagai panduan bahwa konflik harus menjadi pilihan terakhir, hanya digunakan untuk memulihkan keadilan dan menghentikan pengkhianatan yang berulang oleh pihak yang tidak memiliki integritas perjanjian.
Pengkhianatan sumpah, yang merupakan kriteria utama dalam ayat ini, adalah topik yang terus menerus dieksplorasi oleh para ahli fiqih dan tafsir. Penting untuk memahami tingkatan pengkhianatan dan mengapa ia begitu dikutuk dalam ajaran Islam.
Dalam syariah, janji memiliki bobot yang berbeda. Janji pribadi, sumpah (kassāmah), dan perjanjian formal kenegaraan ('ahd) semuanya mengikat. Nakthul Ayman dalam ayat ini merujuk pada level tertinggi dari pengkhianatan, yaitu membatalkan perjanjian resmi yang bertujuan untuk menjaga perdamaian dan keamanan regional. Pelanggaran semacam ini dianggap sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan karena ia memicu konflik yang lebih luas dan merugikan pihak yang tidak bersalah.
Para ulama Hanafiyah berpendapat bahwa pengkhianatan ini harus bersifat final dan menyeluruh. Artinya, pihak yang berkhianat harus secara resmi menolak perjanjian tersebut atau melakukan tindakan perang terbuka. Jika hanya beberapa individu dari kabilah tersebut yang melakukan pelanggaran kecil, itu harus diatasi melalui ganti rugi atau hukuman, bukan pemutusan perjanjian total yang memicu perang.
Pengkhianatan sumpah tidak hanya memiliki dampak politik, tetapi juga dampak psikologis dan sosial yang besar. Di masyarakat Arab pra-Islam dan Islam, kehormatan dan janji adalah mata uang sosial tertinggi. Ketika pemimpin kekafiran melanggar sumpah mereka setelah perjanjian, mereka menghancurkan kepercayaan (amanah) yang merupakan fondasi masyarakat yang stabil. Ayat ini memberikan izin untuk bertindak karena fondasi kepercayaan telah dihancurkan oleh musuh.
Kehancuran kepercayaan ini membuat kerja sama di masa depan menjadi mustahil, sehingga satu-satunya cara untuk menjamin keamanan adalah melalui tindakan pertahanan yang tegas terhadap para perancang pengkhianatan tersebut. Sikap ini memastikan bahwa komunitas Muslim tidak akan terus-menerus hidup dalam ancaman pengkhianatan yang akan datang, yang merusak moral dan menghabiskan sumber daya.
Untuk menghindari salah tafsir, kita perlu kembali mempertegas batasan dari At-Ṭa’nu fid Dīn. Penghinaan yang dimaksud dalam konteks Ayat 12 adalah penghinaan yang bersifat publik, agresif, dan merupakan bagian dari kampanye permusuhan yang disokong oleh para pemimpin kekafiran. Ini adalah upaya terstruktur untuk meruntuhkan legitimasi Islam di mata pengikutnya dan di mata dunia.
Menurut tafsir klasik, ciri-ciri Ṭa’an (celaah) yang memicu perintah pertahanan mencakup:
Penghinaan ini sering kali berfokus pada hal-hal yang paling sakral, seperti keesaan Allah, kenabian Muhammad ﷺ, atau keotentikan Al-Qur'an, dengan cara yang merendahkan dan provokatif. Ini adalah tanda bahwa motif mereka bukan hanya politik, tetapi juga ideologis, sehingga memerlukan respons yang komprehensif.
Frasa "إِنَّهُمْ لَآ أَيْمَٰنَ لَهُمْ" (mereka tidak dapat dipegang sumpahnya) adalah poin klimaks dalam justifikasi hukum. Kehilangan kemampuan untuk dipegang sumpahnya berarti pihak tersebut telah ditempatkan di luar lingkaran diplomasi yang didasarkan pada kepercayaan bersama.
Secara hukum, konsekuensi dari status La Aymana Lahum adalah:
Ayat 12 Surat At-Taubah, dengan semua rincian tafsirnya, pada akhirnya berpusat pada perlindungan tujuan-tujuan syariah (Maqashid Syariah) yang esensial, khususnya Hifzhud Din (menjaga agama) dan Hifzhun Nafs (menjaga jiwa/keamanan).
Aspek Ṭa’anū fī dīnikum secara langsung berkaitan dengan perlindungan agama. Islam harus dilindungi dari upaya perusakan ideologis dan penghinaan yang terorganisir, terutama yang datang dari pihak yang juga mengancam keamanan fisik. Ayat ini adalah manifestasi dari kewajiban membela kehormatan agama.
Aspek Nakthū aymānahum secara langsung berkaitan dengan perlindungan jiwa dan keamanan komunitas. Pelanggaran perjanjian yang berulang kali menempatkan seluruh komunitas Muslim dalam bahaya perang mendadak. Perintah untuk memerangi pemimpin kekafiran bertujuan untuk menetralkan ancaman keamanan ini, sehingga masyarakat dapat hidup dalam kedamaian dan menjalankan agama mereka tanpa rasa takut akan pengkhianatan.
Kesimpulan dari kajian komprehensif atas Surat At-Taubah ayat 12 adalah bahwa perintah untuk bertindak keras adalah respons yang dibatasi, proporsional, dan hanya diaktifkan oleh akumulasi pelanggaran berat: pengkhianatan janji damai yang diikuti oleh penghinaan agresif terhadap agama, yang semuanya di bawah komando para pemimpin yang tidak berintegritas. Tujuannya bukanlah untuk menaklukkan, melainkan untuk menegakkan keadilan, menghentikan agresi, dan pada akhirnya, mencapai stabilitas abadi.
Ayat ini mengajarkan bahwa integritas adalah pilar utama dalam hubungan politik dan spiritual, dan bahwa komunitas beriman memiliki hak fundamental untuk mempertahankan diri, baik dari pengkhianatan fisik maupun dari agresi ideologis yang mengancam eksistensi mereka.
Prinsip-prinsip yang dikandung dalam ayat mulia ini melampaui batas waktu, memberikan pelajaran universal tentang nilai sumpah, bahaya pengkhianatan, dan etika pertahanan yang hanya diarahkan kepada sumber ancaman, semata-mata demi mencapai tujuan ilahi: agar mereka berhenti (dari kezaliman dan agresi).
Konsep integritas, yang dilanggar oleh A’immatul Kufri, adalah inti dari etika Islam. Pengkhianatan (Nakthul Ayman) di sini diibaratkan sebagai menghancurkan sebuah bangunan fundamental. Sumpah dan janji dalam Islam bukan sekadar formalitas, melainkan kontrak yang disaksikan oleh Allah SWT. Melanggarnya berarti menantang otoritas Ilahi dan merusak tatanan sosial yang damai.
Dalam Madzhab Syafi’i dan Maliki, sebuah perjanjian damai hanya sah jika pihak-pihak yang terlibat mematuhi syarat-syaratnya. Ketika para pemimpin kekafiran merusak sumpah mereka, mereka secara efektif melepaskan diri dari perjanjian tersebut dan memulihkan status permusuhan. Fiqih Siyar mengajarkan bahwa setelah pengkhianatan, pihak Muslim memiliki opsi untuk segera menanggapi atau memberikan peringatan terakhir. Namun, ketika pengkhianatan ini disertai dengan celaan agama (Ṭa'an), yang merupakan agresi ideologis, respons yang diizinkan menjadi lebih tegas karena ancaman yang dihadapi bersifat eksistensial.
Keputusan untuk berperang melawan A’immatul Kufri setelah Nakthul Ayman bukan didorong oleh keinginan untuk menaklukkan, tetapi oleh keharusan untuk melindungi komunitas dari ancaman keamanan yang terbukti nyata. Keadaan La Aymana Lahum (tidak ada sumpah bagi mereka) adalah putusan definitif bahwa kelompok pemimpin ini tidak layak dipercaya dalam perjanjian apa pun, sehingga tindakan pertahanan harus diambil untuk melindungi kepentingan umat Islam secara jangka panjang.
Pelanggaran sumpah ini juga dipahami sebagai tanda dari hati yang keras dan niat yang busuk. Seseorang yang menghargai sumpah adalah seseorang yang menghargai Allah yang nama-Nya digunakan untuk bersumpah. Sebaliknya, pemimpin yang berani melanggar sumpah demi keuntungan duniawi membuktikan bahwa kekuasaan dan ambisi mereka lebih tinggi daripada nilai moral, menjadikannya musuh yang berbahaya dalam skema hubungan antarnegara.
Ayat 12 secara khusus menargetkan kepemimpinan, menunjukkan bahwa kerusakan moral dan politik seringkali bermula dari pucuk pimpinan. Para pemimpin yang tidak berintegritas menyebarkan kerusakan kepada pengikut mereka. Dalam konteks historis, para pemimpin kabilah yang bersekutu dengan kaum Muslimin seringkali didesak oleh pemimpin kekafiran yang lebih besar untuk melanggar janji mereka demi keuntungan sesaat.
Oleh karena itu, memerangi A’immatul Kufri adalah strategi untuk memotong akar permusuhan. Dengan menghilangkan kepemimpinan yang berkhianat, terdapat harapan yang lebih besar bahwa populasi umum yang tersisa, yang mungkin tidak seutuhnya berkeinginan untuk berkhianat, akan menerima perdamaian atau setidaknya menghentikan agresi ideologis (Yantahūn).
Penekanan pada pemimpin juga menjadi preseden bagi hukum perang Islam, yaitu menghindari kerusakan terhadap non-kombatan, wanita, anak-anak, dan orang tua. Pertempuran harus terfokus dan bertujuan untuk melumpuhkan pusat komando yang telah menunjukkan kebencian dan pengkhianatan ganda terhadap komunitas Muslim.
Meskipun Surat At-Taubah turun bertahun-tahun setelah Perjanjian Hudaibiyah, prinsip-prinsip yang diatur dalam Ayat 12 berakar pada pengalaman pahit pengkhianatan yang dialami kaum Muslimin. Perjanjian Hudaibiyah adalah contoh utama di mana Rasulullah ﷺ menunjukkan kesetiaan penuh pada perjanjian, bahkan dengan mengorbankan keuntungan taktis.
Contoh paling nyata dari Nakthul Ayman yang memicu respons yang sejalan dengan Ayat 12 terjadi ketika Bani Bakar, yang bersekutu dengan Quraisy (pihak musyrikin Mekah), melanggar Perjanjian Hudaibiyah dengan menyerang Bani Khuza’ah, sekutu Muslim. Serangan ini dilakukan di bawah dukungan diam-diam, bahkan bantuan materiil, dari para pemimpin Quraisy di Mekah. Tindakan ini memenuhi kriteria Nakthul Ayman: merusak sumpah dan menyerang sekutu Muslim.
Meskipun pelanggaran ini terjadi sebelum turunnya keseluruhan Surat At-Taubah, respons Rasulullah ﷺ, yang berpuncak pada Fathu Mekah, mencerminkan prinsip Ayat 12: pengkhianatan perjanjian oleh pimpinan kekafiran harus direspons dengan tindakan tegas untuk mengembalikan stabilitas dan memelihara keamanan sekutu. Para pemimpin Quraisy yang berkhianat, dalam konteks ini, berperan sebagai A’immatul Kufri yang tidak lagi dapat dipercaya. Mereka tidak hanya melanggar janji, tetapi juga terus-menerus mencela dan memusuhi Islam.
Keputusan Nabi Muhammad ﷺ untuk menanggapi pengkhianatan ini dengan kekuatan militer menunjukkan implementasi praktis dari prinsip pertahanan yang diatur dalam Ayat 12. Tujuannya bukan untuk balas dendam, tetapi untuk mengakhiri siklus pengkhianatan yang mengancam eksistensi umat Islam di wilayah tersebut. Ini adalah aplikasi nyata dari tujuan “لَعَلَّهُمْ يَنتَهُونَ” (agar mereka berhenti) – pengkhianatan harus dihentikan secara definitif.
Dalam studi ushul fiqh (prinsip-prinsip yurisprudensi Islam), Ayat 12 menyajikan dua ‘illah (alasan hukum) yang berbeda namun saling melengkapi untuk membenarkan tindakan perang defensif:
Pengkhianatan perjanjian adalah ancaman terhadap stabilitas dan kehidupan. Dalam yurisprudensi Islam, keamanan (Hifzhun Nafs) adalah prioritas tertinggi. Ketika para pemimpin kekafiran berulang kali menunjukkan bahwa perjanjian mereka tidak bernilai, maka kelangsungan hidup komunitas Muslim menjadi terancam. Oleh karena itu, menghilangkan sumber pengkhianatan ini menjadi wajib untuk menjaga eksistensi umat.
Celaan terhadap agama (Hifzhud Din) adalah serangan terhadap identitas dan spiritualitas. Ketika serangan ideologis ini datang dari pihak yang sama yang melanggar perjanjian damai, ia menunjukkan bahwa permusuhan mereka tidak dapat direkonsiliasi. Jika agama dibiarkan dihina dan diejek tanpa batas oleh kekuatan politik yang berkhianat, moral komunitas akan runtuh, dan ketaatan terhadap syariat akan terhambat.
Ayat 12 menggabungkan kedua ‘illah ini untuk menetapkan standar yang sangat tinggi bagi pembenaran perang. Perang hanya dapat terjadi ketika ancaman yang dihadapi bersifat ganda—fisik dan spiritual—dan berasal dari kepemimpinan yang terbukti tidak memiliki integritas dasar (Lā Aymāna Lahum). Ini menunjukkan betapa seriusnya pelanggaran tersebut harus terjadi sebelum sanksi militer diizinkan dalam Islam.
Frasa La’allahum Yantahūn (agar mereka berhenti) adalah kunci etis yang mengikat seluruh perintah dalam ayat ini. Ini adalah pengingat bahwa tujuan perang dalam Islam adalah restorasi ketertiban dan keadilan, bukan pemusnahan musuh. Kekerasan adalah sarana untuk mencapai perdamaian sejati, yaitu perdamaian yang tidak lagi dinodai oleh pengkhianatan dan celaan.
Kata Yantahūn mengandung makna jera, sadar, dan mengakhiri tindakan mereka. Ini menunjukkan bahwa jika para pemimpin kekafiran ini menghentikan pelanggaran janji, menghentikan penghinaan agama, dan memilih untuk berdamai, maka perintah perang akan gugur. Bahkan di tengah konflik, pintu untuk bertaubat dan berdamai selalu terbuka bagi mereka yang bersedia menunjukkan integritas.
Jika mereka berhenti, baik karena ketakutan akan kekuatan umat Islam (pencegahan militer) atau karena kesadaran moral (taubat dan konversi), maka tujuan syariat telah tercapai. Ayat ini menekankan harapan (la’alla) akan perubahan positif, menunjukkan bahwa meskipun kepemimpinan mereka saat ini telah kehilangan integritas, potensi untuk kembali ke jalan yang benar, atau setidaknya jalan perdamaian, tetap ada.
Prinsip ini menegaskan bahwa Islam tidak mencari permusuhan abadi. Ia mencari kondisi di mana perjanjian dihormati, agama dihormati, dan keamanan terjamin. Tindakan keras yang diperintahkan hanyalah sarana yang diperlukan untuk memaksa pihak yang berkhianat untuk kembali ke tatanan yang adil dan berintegritas.
Surat At-Taubah ayat 12 merupakan teks fundamental yang merumuskan etika pertahanan dalam menghadapi pengkhianatan dan agresi ideologis. Ayat ini bukanlah seruan untuk agresi tanpa batas, melainkan kerangka hukum yang sangat spesifik dan ketat. Ia membatasi tindakan militer hanya kepada kelompok pimpinan yang telah memenuhi dua kriteria yang tidak dapat dimaafkan: melanggar perjanjian damai yang telah disepakati (Nakthul Ayman) dan secara publik serta agresif mencela agama Islam (Ṭa'anu fid Dīn).
Penargetan spesifik terhadap A’immatul Kufri (pemimpin kekafiran) menegaskan prinsip akuntabilitas dalam Islam, di mana hukuman diarahkan kepada pihak yang paling bertanggung jawab atas kerusakan moral dan politik. Justifikasi "mereka tidak dapat dipegang sumpahnya" (Lā Aymāna Lahum) adalah pernyataan faktual tentang kegagalan integritas mereka, yang membatalkan semua prospek perdamaian di bawah kepemimpinan mereka.
Akhirnya, tujuan dari tindakan keras ini adalah restoratif, yaitu "agar mereka berhenti" (La’allahum Yantahūn). Ayat ini memastikan bahwa setiap respons pertahanan harus bertujuan untuk mengakhiri kezaliman dan pengkhianatan, membuka jalan bagi perdamaian yang adil dan berkelanjutan. Dengan demikian, Ayat 12 At-Taubah berdiri sebagai monumen keadilan, yang menuntut kesetiaan penuh pada perjanjian dan pertahanan tanpa kompromi terhadap kehormatan agama dan keamanan komunitas.
Kajian mendalam ini telah mengungkap lapisan-lapisan hukum, sejarah, dan etika yang terkandung dalam satu ayat yang luar biasa ini. Pemahaman yang benar memerlukan penempatan ayat ini dalam konteks Syariah secara keseluruhan, terutama yang menekankan keutamaan perdamaian, kejujuran, dan keadilan dalam setiap interaksi, baik dengan sekutu maupun musuh. Hanya ketika prinsip-prinsip ini dilanggar secara terang-terangan dan dipimpin oleh pihak yang berkuasa, barulah respons defensif yang tegas dibenarkan.
Tafsir modern juga mengeksplorasi dimensi psikologis dari pengkhianatan yang dibahas dalam Ayat 12. Pengkhianatan massal oleh para pemimpin tidak hanya merusak fondasi politik tetapi juga menyebarkan ketidakpercayaan mendalam di antara masyarakat. Sikap Lā Aymāna Lahum (tidak ada sumpah bagi mereka) adalah diagnosis sosiologis bahwa integritas moral telah hilang dari kepemimpinan tersebut. Dalam ilmu sosial Islam, stabilitas hanya dapat dicapai melalui kepercayaan, dan pengkhianatan ini telah menghapus kemungkinan kepercayaan.
Keadaan pengkhianatan ini menciptakan kondisi ketidakamanan permanen (ghadr). Muslimin tidak dapat lagi meramalkan tindakan musuh yang telah melanggar janji terikat Allah. Oleh karena itu, perintah Qital menjadi satu-satunya jalan untuk memulihkan kepastian dan mengeliminasi ancaman yang tak terduga. Tindakan pertahanan ini, meskipun keras, merupakan langkah rasional untuk melindungi aset paling berharga komunitas: kehidupan dan keyakinan mereka.
Para ulama kontemporer menekankan bahwa kriteria ini harus dipahami dalam konteks konflik bersenjata dan politik tingkat tinggi, bukan dalam konflik sosial atau individual biasa. Ayat ini berbicara tentang pemimpin negara atau kabilah yang secara kolektif memutuskan untuk membatalkan perjanjian internasional dan memprovokasi perang ideologis secara terstruktur.
Pengkhianatan yang dimaksud dalam ayat ini adalah pengkhianatan yang bersifat strategis dan mengancam. Ini bukan sekadar pelanggaran kontrak kecil, tetapi pembatalan total terhadap kesepakatan hidup berdampingan. Keputusan untuk membatalkan perjanjian, ditambah dengan celaan terhadap ajaran agama, menunjukkan bahwa niat mereka adalah penghancuran, bukan hanya persaingan. Oleh karena itu, respons haruslah sepadan dengan ancaman yang ditimbulkan oleh para perusak perdamaian ini.
Dalam konteks yang lebih luas, Ayat 12 berfungsi sebagai manifesto bagi para pemimpin Muslim di segala zaman, menegaskan pentingnya menjaga integritas perjanjian sebagai fondasi hubungan internasional yang sehat. Kegagalan menjaga janji, bahkan dengan non-Muslim, adalah kegagalan moral yang akan merusak reputasi umat secara keseluruhan. Sebaliknya, kesetiaan umat Muslim pada perjanjian membuat pelanggaran yang dilakukan oleh A’immatul Kufri menjadi semakin mencolok dan tidak dapat ditoleransi.
Kajian atas At-Taubah ayat 12 dengan segala dimensinya, baik tafsir, fiqih, maupun historis, mengajarkan bahwa pertahanan iman dan kedaulatan adalah kewajiban yang didasarkan pada prinsip keadilan, integritas, dan perlindungan Maqashid Syariah. Perintah Qital hanyalah reaksi yang dibatasi oleh tiga kondisi yang sangat ketat, dan selalu diarahkan pada tercapainya tujuan suci: perdamaian sejati dan penghentian kezaliman abadi.
Dan hanya kepada Allah SWT kita memohon pemahaman yang benar atas firman-Nya.