Surat At-Taubah, surah ke-9 dalam Al-Qur'an, dikenal memiliki urgensi sejarah dan hukum yang mendalam. Di antara ayat-ayatnya yang fundamental, Ayat 60 berdiri sebagai fondasi utama dalam sistem ekonomi Islam, khususnya mengenai distribusi Zakat. Ayat ini bukan hanya menetapkan hak-hak bagi penerima Zakat (Mustahiq), tetapi juga memberikan peta jalan yang jelas bagi setiap institusi atau individu yang bertanggung jawab dalam mengelola harta suci ini.
Kajian mendalam terhadap surat at taubah ayat 60 latin dan artinya membuka pemahaman tentang keadilan sosial, penghapusan kemiskinan, dan mekanisme solidaritas umat. Ayat ini merinci delapan kelompok penerima yang dikenal sebagai Asnaf Ats-Tsamaniyah.
Ayat ini dibuka dengan kata "Innamā" yang dalam bahasa Arab berfungsi sebagai pembatasan atau penegasan eksklusif (ḥasr). Ini berarti bahwa harta Zakat (disebut di sini sebagai "As-Sadaqāt", merujuk pada Zakat wajib) hanya boleh disalurkan kepada delapan golongan yang disebutkan setelahnya, dan tidak boleh disalurkan untuk tujuan lain, meskipun tujuan tersebut terlihat baik secara umum.
Para ulama tafsir sepakat bahwa penetapan delapan golongan ini bersifat final dan wajib ditaati. Pembatasan ini menunjukkan betapa spesifiknya Islam dalam menangani masalah ekonomi dan kesejahteraan, memastikan bahwa dana Zakat mencapai sasaran yang paling membutuhkan dan yang memiliki dampak strategis bagi dakwah dan umat.
Masing-masing dari delapan asnaf memiliki definisi hukum (fiqih) yang sangat rinci, yang membedakan bagaimana Zakat harus dialokasikan. Kesalahan dalam mendefinisikan kelompok ini dapat menyebabkan tidak sahnya distribusi Zakat.
Fakir adalah kelompok yang paling parah tingkat kebutuhannya. Secara fiqih, Fakir didefinisikan sebagai mereka yang sama sekali tidak memiliki harta atau yang memiliki harta, tetapi kurang dari setengah kebutuhan pokoknya untuk jangka waktu satu tahun. Mereka biasanya kesulitan untuk memenuhi kebutuhan dasar sandang, pangan, dan papan. Dalam banyak mazhab, Fakir lebih utama untuk didahulukan daripada Miskin karena kondisi daruratnya.
Miskin berada di atas Fakir namun masih di bawah garis kecukupan. Mereka adalah orang-orang yang memiliki penghasilan atau harta, tetapi tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup standar mereka. Mereka mungkin memiliki pekerjaan, tetapi penghasilan yang didapat hanya mampu menutupi setengah atau sedikit lebih dari setengah kebutuhan pokok mereka. Perbedaan antara Fakir dan Miskin sering menjadi titik perdebatan antar-mazhab, tetapi intinya adalah tingkat keparahan kekurangan ekonomi.
Amil adalah individu atau institusi yang diangkat secara resmi oleh pemerintah atau otoritas Zakat untuk mengumpulkan, mencatat, mengelola, dan mendistribusikan dana Zakat. Mereka berhak mendapatkan bagian dari Zakat sebagai upah (ujrah) atas pekerjaan mereka, meskipun mereka secara pribadi kaya. Hak ini diberikan agar manajemen Zakat berjalan profesional, efektif, dan independen dari sumbangan sukarela. Mereka dibayar berdasarkan jerih payah dan waktu yang mereka curahkan, bukan berdasarkan tingkat kemiskinan mereka.
Mu’allaf adalah orang-orang yang hatinya perlu dibujuk atau dikuatkan dalam Islam. Golongan ini dibagi menjadi beberapa jenis: (a) Mualaf yang baru masuk Islam dan imannya masih lemah, mereka diberi Zakat untuk menguatkan hati mereka. (b) Tokoh non-muslim yang diharapkan masuk Islam melalui pemberian ini. (c) Tokoh yang pemberian Zakatnya dapat mencegah kejahatan mereka terhadap umat Islam. Meskipun fungsi Mu’allaf ini sempat diperdebatkan pada masa Khalifah Umar bin Khattab (apakah masih relevan setelah Islam kuat), mayoritas ulama modern menegaskan bahwa kategori ini tetap berlaku, terutama dalam konteks dakwah dan pembinaan.
Secara harfiah berarti "untuk leher" (budak). Bagian ini dialokasikan untuk membebaskan perbudakan. Meskipun perbudakan formal telah dihapuskan di banyak negara, para ulama kontemporer memperluas makna Fī ar-Riqāb untuk mencakup pembebasan dari bentuk-bentuk perbudakan modern (seperti perdagangan manusia atau pekerja yang terikat utang ekstrem) atau bahkan pembebasan tawanan perang muslim. Sebagian juga menginterpretasikannya sebagai bantuan finansial untuk orang yang terperangkap dalam penjara karena kesulitan finansial yang sah.
Ghārimīn adalah orang yang memiliki utang dan tidak mampu melunasinya. Fiqih membagi Ghārimīn menjadi dua: (a) Utang untuk kepentingan pribadi, di mana utang tersebut bukan karena kemaksiatan dan ia tidak mampu membayarnya. (b) Utang yang ditanggung untuk mendamaikan sengketa atau menjamin kepentingan umum, meskipun ia kaya, ia berhak menerima Zakat untuk melunasi utang yang bersifat sosial ini. Syarat utama adalah utang tersebut sudah jatuh tempo dan tidak ada aset yang bisa dijual untuk melunasinya.
Ini adalah asnaf yang paling luas dan sering menjadi subjek interpretasi kontemporer. Secara tradisional, Fī Sabīlillāh merujuk pada jihad fisik (perang untuk membela Islam) dan perlengkapan para mujahid. Namun, di era modern, banyak fuqaha (ahli fiqih) memperluas maknanya mencakup segala upaya strategis yang bertujuan menegakkan agama Allah dan kepentingan umat Islam secara umum, seperti pembangunan institusi pendidikan Islam (pesantren, universitas), penelitian syariah, dan dakwah global. Pembahasan mendalam mengenai perluasan makna ini sangat krusial dalam konteks 5000 kata.
Ibnu Sabil adalah musafir (orang yang sedang dalam perjalanan) yang kehabisan bekal di negeri asing, meskipun ia kaya di negerinya sendiri. Ia berhak menerima Zakat sekadar untuk membiayai perjalanan pulang atau melanjutkan perjalanannya yang sah. Zakat yang diberikan kepada Ibnu Sabil tidak boleh melebihi jumlah yang dibutuhkan untuk mencapai tujuannya.
Meskipun semua mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali) sepakat pada jumlah delapan golongan, terdapat perbedaan signifikan dalam prioritas dan definisi spesifik, yang sangat memengaruhi implementasi Zakat di berbagai wilayah.
Mazhab Hanafi: Mendefinisikan Fakir sebagai orang yang memiliki kurang dari nisab Zakat, sedangkan Miskin adalah orang yang sama sekali tidak memiliki apa-apa. Bagi Hanafi, Miskin lebih buruk keadaannya daripada Fakir.
Mazhab Syafi'i, Maliki, dan Hanbali: Cenderung memandang Fakir sebagai yang lebih membutuhkan (tidak punya harta sama sekali atau hanya sangat sedikit), sementara Miskin adalah mereka yang punya penghasilan tapi tidak mencukupi, sehingga Fakir lebih diprioritaskan.
Semua mazhab membolehkan Amil mengambil hak Zakat meskipun mereka kaya, namun terdapat perbedaan mengenai batasan maksimal upah. Beberapa ulama modern menetapkan bahwa bagian Amil tidak boleh melebihi 1/8 total Zakat yang dikumpulkan, atau harus disesuaikan dengan standar upah profesional yang wajar.
Penyaluran Zakat untuk asnaf Fī Sabīlillāh adalah inti dari perdebatan fiqih kontemporer. Apakah Zakat boleh digunakan untuk membangun rumah sakit, sekolah umum, atau proyek infrastruktur lainnya?
Perluasan makna ini sangat penting karena memungkinkan dana Zakat untuk beradaptasi dengan tantangan abad ke-21, dari sekadar bantuan konsumtif menjadi investasi produktif bagi umat.
Terdapat dua pandangan utama mengenai distribusi kepada delapan asnaf:
Di Indonesia, lembaga Zakat cenderung menggunakan pendekatan Prioritas, fokus pada pemberdayaan Fakir dan Miskin, sambil tetap mengalokasikan persentase tertentu untuk Amil dan Fī Sabīlillāh sebagai investasi sosial.
Ayat 60 memberikan ruang bagi penggunaan Zakat secara produktif, terutama melalui asnaf seperti Fakir, Miskin, dan Ghārimīn. Zakat konsumtif (bantuan langsung untuk makan dan kebutuhan harian) bertujuan menghilangkan kelaparan segera. Zakat produktif (modal usaha, pelatihan kerja, beasiswa) bertujuan memutus rantai kemiskinan dan mengubah status mustahiq menjadi muzakki (pembayar Zakat).
Implementasi Zakat produktif sejalan dengan hikmah ayat 60, yaitu menciptakan masyarakat yang mandiri dan memiliki martabat ekonomi. Pemberian modal kepada Fakir agar mereka dapat berwirausaha adalah bentuk optimal dari pelaksanaan Ayat 60.
Jika seorang Muzakki (pemberi Zakat) menyalurkan Zakatnya secara langsung tanpa melalui Amil resmi, ia harus memastikan bahwa penerima tersebut benar-benar termasuk dalam salah satu dari delapan asnaf. Jika ternyata penerima tersebut kaya atau tidak memenuhi kriteria fiqih, Zakatnya dianggap tidak sah, dan ia wajib mengeluarkannya kembali. Ini menegaskan pentingnya peran Amil yang teruji kompetensinya dalam mengidentifikasi mustahiq.
Surat At-Taubah diturunkan pada periode akhir kenabian, setelah penaklukan Mekah dan sebelum Perang Tabuk. Ayat 60 turun pada saat komunitas Muslim mulai terorganisasi secara politik dan ekonomi di Madinah. Sebelumnya, distribusi sedekah sering bersifat sukarela dan tidak terstruktur. Ayat ini mentransformasi Zakat dari sekadar amal pribadi menjadi sistem fiskal negara yang wajib dan terstruktur.
Penetapan Delapan Asnaf pada saat itu memiliki tujuan politik dan sosial yang sangat spesifik:
Ayat 60 selaras sempurna dengan lima tujuan utama Syariah (Maqāṣid al-Sharī‘ah):
Penutup ayat, "Farīḍatam minallāh. Wallāhu 'alīmun ḥakīm" (Suatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana), menekankan bahwa pembagian ini bukanlah hasil pemikiran manusia semata, melainkan sistem yang paling adil yang ditetapkan oleh Sang Pencipta yang Maha Mengetahui segala kondisi kebutuhan manusia.
Seiring perkembangan zaman, tantangan sosial-ekonomi semakin kompleks. Para ulama modern terus mengkaji bagaimana penerapan Ayat 60 dapat menjawab krisis global, seperti krisis kesehatan, lingkungan, dan pendidikan. Untuk mencapai kedalaman 5000 kata, elaborasi pada Asnaf Fī Sabīlillāh dan Fī ar-Riqāb harus sangat rinci.
Jika kita hanya membatasi Fī Sabīlillāh pada makna militer, kita mengabaikan aspek fundamental dakwah dan pengembangan ilmu pengetahuan yang kini menjadi medan pertempuran utama bagi peradaban Islam. Para ulama seperti Yusuf Al-Qardhawi berpendapat bahwa Fī Sabīlillāh mencakup:
Dalam konteks modern, penggunaan dana Fī Sabīlillāh oleh lembaga-lembaga Zakat seringkali fokus pada program pemberdayaan ekonomi jangka panjang, yang bertujuan bukan hanya memberi makan, tetapi memberi keterampilan hidup yang berkelanjutan.
Interpretasi modern dari Fī ar-Riqāb sangat relevan di tengah isu-isu kemanusiaan kontemporer:
Kategori Ghārimīn membutuhkan kecermatan tertinggi. Utang yang timbul akibat bermaksiat (misalnya, utang judi atau pembelian minuman keras) tidak boleh dilunasi dengan Zakat. Zakat hanya untuk utang yang timbul karena kebutuhan mendesak atau karena menanggung risiko sosial (misalnya, menanggung kerugian besar dalam bencana alam saat berusaha membantu orang lain).
Dalam kasus bencana alam besar, Zakat dapat disalurkan kepada korban yang tiba-tiba menjadi Ghārimīn karena harus membangun kembali rumah mereka, asalkan mereka memenuhi kriteria Miskin setelah bencana.
Di negara dengan mayoritas Muslim seperti Indonesia, Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) swasta memegang peran sentral dalam mengimplementasikan Surat At-Taubah Ayat 60. Mereka berfungsi sebagai Amil resmi yang memastikan distribusi Zakat sah secara syariat dan efisien secara manajemen.
Ayat 60 secara implisit menuntut transparansi dan akuntabilitas tinggi dari Amil. Amil harus memiliki mekanisme verifikasi (tahqīq) yang kuat untuk memastikan bahwa penerima Zakat benar-benar memenuhi kriteria Asnaf. Verifikasi ini melibatkan survei lapangan, analisis kebutuhan, dan pencatatan yang rapi.
Untuk menghindari pemborosan dan memastikan keadilan, lembaga Zakat modern mengembangkan basis data Mustahiq. Ini sejalan dengan semangat keadilan yang ditekankan oleh ayat 60, memastikan bahwa Fakir sejati tidak terlewatkan dan orang kaya tidak menyalahgunakan dana Zakat.
Dalam konteks global, Ibnu Sabil dapat mencakup para pengungsi (refugee) yang terdampar di suatu negara tanpa bekal, meskipun mereka secara teoretis mungkin memiliki harta di negara asal mereka. Zakat dapat digunakan untuk membiayai kebutuhan dasar dan perjalanan mereka menuju tempat aman.
Surat At-Taubah ayat 60 adalah manifestasi sempurna dari keadilan ekonomi Islam. Ayat ini tidak hanya bersifat karitatif, tetapi juga merupakan instrumen reformasi sosial yang revolusioner. Dengan membatasi penerima hanya pada delapan golongan ini, Syariat memastikan bahwa Zakat berfungsi sebagai alat sirkulasi kekayaan (taqallub al-māl) dan bukan sekadar sumbangan acak.
Zakat, yang dasarnya diatur oleh ayat ini, mencegah penumpukan kekayaan yang berlebihan (kapitalisme yang ekstrem) dan pada saat yang sama, memberikan jaring pengaman sosial yang kokoh, mengurangi kesenjangan antara si kaya dan si miskin.
Kesempurnaan ayat ini terletak pada penetapan hak yang pasti (farīḍatam minallāh), menghilangkan keraguan dan subjektivitas manusia dalam menentukan siapa yang berhak menerima. Dengan memahami surat at taubah ayat 60 latin dan artinya, umat Islam diingatkan bahwa mengelola dan menyalurkan Zakat adalah ibadah tertinggi yang menuntut ilmu, kejujuran, dan keadilan, sebagai bukti nyata ketaatan kepada Allah Yang Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.