Surat At-Taubah, yang dikenal juga sebagai Al-Bara'ah (Pernyataan Pemutusan), memegang posisi yang unik dalam tata letak dan pesan Al-Qur'an. Ia adalah surat yang diturunkan pada periode sensitif dalam sejarah awal Islam, yaitu pasca-Fathu Makkah, ketika perlunya penegasan batas-batas hubungan antara komunitas Muslim yang baru kokoh dengan berbagai kelompok di Semenanjung Arab yang tidak memegang teguh perjanjian. Dalam konteks inilah, ayat ke-8 muncul sebagai sebuah peringatan tajam, sebuah diagnosis mendalam mengenai watak fundamental dari pihak-pihak yang dikecam, memberikan pelajaran abadi mengenai pentingnya kewaspadaan, integritas, dan pemahaman yang benar terhadap ikatan perjanjian.
Ayat ini berfungsi sebagai fondasi teologis-politik yang menjelaskan mengapa perlu adanya sikap yang tegas terhadap beberapa kelompok musyrikin yang telah berulang kali melanggar kesepakatan. Ayat ini bukanlah sekadar justifikasi, melainkan sebuah pernyataan deskriptif tentang sifat pengkhianatan yang mendasar, yang mana sifat ini telah terbukti secara historis dan diyakini akan terus terulang jika kesempatan muncul. Pemahaman terhadap At-Taubah ayat 8 memerlukan penyelaman ke dalam dua istilah kunci yang menjadi poros makna ayat tersebut: 'Illan' dan 'Dhimmah'.
Teks Ayat dan Terjemahannya
Ayat ini diawali dengan kata tanya retoris, "Kaifa?" (Bagaimana mungkin?). Pertanyaan ini merujuk kembali kepada ayat-ayat sebelumnya yang berbicara tentang pemutusan perjanjian dengan kaum musyrikin tertentu. Maknanya adalah: Bagaimana mungkin kalian masih mengharapkan mereka menepati janji, padahal watak mereka sudah jelas? Pertanyaan ini menanamkan prinsip kewaspadaan dan realisme politik dalam benak kaum Muslimin. Itu bukan sekadar pernyataan emosional, melainkan sebuah kesimpulan yang didasarkan pada observasi sejarah dan pengkhianatan yang berulang kali terjadi.
Asbabun Nuzul dan Konteks Sejarah
Surat At-Taubah secara keseluruhan diturunkan sebagai respons terhadap situasi yang timbul setelah Fathu Makkah, khususnya ketika kaum Muslimin menyadari bahwa perjanjian-perjanjian damai sebelumnya, seperti Perjanjian Hudaibiyah, telah dilanggar oleh beberapa sekutu kaum musyrikin Makkah. Ayat 8 ini merujuk secara spesifik kepada kelompok-kelompok yang, meskipun telah berjanji, secara fundamental tidak memiliki penghormatan terhadap integritas perjanjian tersebut. Mereka menunggu momentum, menunggu kaum Muslimin melemah, untuk kemudian melancarkan serangan tanpa memedulikan etika atau ikatan moral apa pun.
Konteksnya adalah penarikan diri dari kesepakatan damai empat bulan (disebut 'Ayyamul Bara'ah'). Ayat ini menjelaskan pembenaran syar'i untuk pemutusan total ini. Pemutusan dilakukan bukan karena keinginan agresif dari pihak Muslim, melainkan karena tabiat pengkhianatan yang inheren pada pihak musuh, yang ditandai dengan kecenderungan mereka untuk melanggar ‘illan dan ‘dhimmah’ segera setelah mereka mendapatkan keunggulan militer atau politik (wa in yazhharu alaikum).
Ayat ini menunjukkan bahwa sikap pasif dan terus menerus memaafkan pengkhianatan hanya akan berujung pada kehancuran komunitas Muslim. Allah SWT mengajarkan bahwa ada batas toleransi dan bahwa kejujuran dalam berinteraksi tidak hanya ditentukan oleh kata-kata manis yang diucapkan, melainkan oleh niat yang tersembunyi di dalam hati. Watak batiniah—yang diungkapkan melalui frasa 'hati mereka menolak'—adalah indikator sejati dari ketulusan perjanjian.
Analisis Linguistik dan Tafsir (Illan dan Dhimmah)
Inti dari ayat ini terletak pada penekanan bahwa musuh-musuh tersebut "lā yarqubū fīkum illan wa lā dhimmah" (mereka tidak memelihara terhadapmu ikatan kekerabatan dan tidak pula perjanjian). Untuk mencapai pemahaman 5000 kata, kita harus membedah secara rinci dua istilah Arab yang kaya makna ini, sebagaimana dijelaskan oleh para Mufassirin klasik.
1. Konsep ‘Illan (إِلًّا)
'Illan' sering diterjemahkan sebagai 'hubungan kekerabatan' atau 'pertalian darah', tetapi maknanya jauh lebih luas dan mendalam dalam konteks linguistik Al-Qur'an dan budaya Arab pra-Islam. Para ulama tafsir memberikan beberapa pandangan mengenai 'Illan':
a. Makna Kekerabatan dan Kemitraan
Sebagian besar mufassir, seperti Ibnu Abbas dan Mujahid, menafsirkan 'Illan' sebagai qarābah (kekerabatan). Dalam masyarakat suku, ikatan darah adalah bentuk perjanjian sosial tertinggi, melebihi perjanjian tertulis. Ayat ini menunjukkan bahwa musuh-musuh tersebut bahkan tidak menghargai ikatan darah atau hubungan keluarga yang mungkin masih tersisa antara mereka dan kaum Muslimin (misalnya, melalui pernikahan atau klan lama). Pengabaian terhadap 'Illan' menunjukkan tingkat kebrutalan dan pengkhianatan yang ekstrem, di mana semua norma sosial yang paling mendasar dikesampingkan demi keuntungan militer atau politik.
b. Makna Perjanjian dan Sumpah
Namun, beberapa ulama lain, termasuk Ibnu Jarir At-Tabari, mengemukakan bahwa 'Illan' juga bisa berarti 'janji', 'sumpah', atau 'ikatan yang kuat yang mewajibkan kebaikan'. Dalam pengertian ini, 'Illan' bisa merujuk pada segala bentuk ikatan moral atau etika yang secara universal diakui dan dihormati. Ketika konteks ayat menyatakan bahwa mereka tidak memelihara 'Illan', ini berarti mereka tidak memiliki kesetiaan pada janji lisan maupun tertulis, tidak peduli seberapa suci janji itu dianggap dalam masyarakat Arab. Ini memperluas cakupan penghianatan mereka dari sekadar ikatan keluarga menjadi pengkhianatan terhadap prinsip moral universal.
c. Makna Diniyah (Keagamaan)
Dalam pandangan yang lebih filosofis, 'Illan' juga dikaitkan dengan makna dīn (agama) atau imān (iman). Ini bukan berarti mereka menghormati agama Islam, melainkan bahwa mereka tidak memelihara prinsip-prinsip ketuhanan atau keadilan yang bahkan secara naluriah harus diakui. Karena mereka adalah kaum musyrikin yang fasik, mereka telah kehilangan pegangan pada segala bentuk otoritas moral, baik yang bersifat duniawi (kekerabatan) maupun yang bersifat spiritual (ikatan kebenaran). Kehilangan Illan dalam artian ini adalah manifestasi dari penyakit spiritual yang menyebabkan mereka mudah berkhianat. Kekosongan moral ini yang diungkapkan oleh Al-Qur'an sebagai alasan mengapa ikatan apapun yang dibuat dengan mereka akan sia-sia.
Penyatuan makna dari ketiga pandangan ini memberikan gambaran komprehensif: 'Illan' mencakup setiap ikatan kebaikan, kekerabatan, dan kewajiban moral. Pelanggaran terhadap 'Illan' adalah pengkhianatan total terhadap kemanusiaan dan etika sosial yang paling mendasar. Ini adalah penegasan bahwa watak pengkhianatan mereka bersifat menyeluruh, tidak terbatas pada satu jenis perjanjian saja.
2. Konsep Dhimmah (ذِمَّةً)
Jika 'Illan' lebih condong kepada ikatan yang bersifat alamiah atau moral (seperti kekerabatan), maka 'Dhimmah' (dhimmah) merujuk secara spesifik kepada perjanjian formal, kesepakatan, dan tanggung jawab perlindungan. Istilah 'Dhimmah' memiliki konotasi hukum dan kontrak yang jelas.
a. Makna Kontrak Formal
Dhimmah adalah janji atau jaminan keamanan yang diberikan oleh satu pihak kepada pihak lain. Dalam konteks ayat ini, 'Dhimmah' merujuk pada segala bentuk perjanjian damai, gencatan senjata, atau kontrak non-agresi yang telah disepakati antara kaum Muslimin dan kelompok musyrikin tersebut. Para mufassir menekankan bahwa 'Dhimmah' adalah perjanjian yang diikat dan memiliki konsekuensi hukum dan moral yang diakui. Dengan menyatakan bahwa mereka tidak memelihara 'Dhimmah', Al-Qur'an menggarisbawahi fakta bahwa mereka adalah pelanggar perjanjian yang berulang, menggunakan perjanjian hanya sebagai taktik sementara sampai mereka mampu menyerang kembali.
b. Jaminan dan Tanggung Jawab
Kata 'Dhimmah' juga berarti 'perlindungan' atau 'tanggung jawab'. Ketika seseorang memberikan 'Dhimmah', ia bertanggung jawab atas keamanan pihak lain. Dalam konteks terbalik ini, musuh-musuh tersebut sama sekali tidak memikul tanggung jawab atau jaminan yang telah mereka berikan. Ini bukan hanya tentang melanggar janji; ini tentang penghancuran total terhadap fondasi kepercayaan yang mendasari setiap interaksi sosial dan politik.
c. Perbedaan antara Illan dan Dhimmah
Penggunaan kedua kata ini secara bersamaan—Illan wa Dhimmah—adalah gaya bahasa Al-Qur'an yang bertujuan untuk mencakup setiap kemungkinan ikatan. 'Illan' mencakup ikatan yang tidak tertulis, ikatan moral, dan kekerabatan, yang dihormati bahkan dalam kondisi perang oleh suku-suku Arab yang terhormat. 'Dhimmah' mencakup ikatan yang tertulis, perjanjian yang diumumkan, dan jaminan formal. Dengan melanggar keduanya, musuh-musuh ini menunjukkan bahwa mereka tidak memiliki dasar moral apa pun. Mereka tidak dapat dipercaya di bawah ikatan apa pun, baik yang paling suci (Illan) maupun yang paling formal (Dhimmah).
Penjelasan yang panjang lebar tentang kedua istilah ini menjustifikasi mengapa langkah tegas harus diambil oleh Rasulullah SAW. Jika pihak lain hanya melanggar Dhimmah (perjanjian tertulis) tetapi masih menghormati Illan (hubungan kekerabatan), mungkin masih ada ruang untuk negosiasi. Tetapi ketika keduanya diabaikan, itu menandakan keengganan total untuk hidup berdampingan secara damai dan bermartabat. Ini adalah pelajaran krusial dalam hubungan internasional dan politik: mengidentifikasi pihak yang pengkhianatannya sudah menjadi watak, bukan sekadar kesalahan taktis.
Kondisi Pelanggaran: "In Yazhharu Alaikum"
Ayat tersebut memberikan kondisi spesifik di mana pengkhianatan ini akan terjadi: "wa in yazhharū ‘alaikum" (padahal jika mereka memperoleh kemenangan atas kamu). Frasa ini sangat penting karena menunjukkan bahwa pengkhianatan mereka bukanlah hasil dari provokasi, melainkan hasil dari kesempatan dan keunggulan kekuatan.
Jika mereka merasa lemah, mereka akan berbicara manis dan berjanji. Tetapi segera setelah keadaan berbalik dan mereka merasa memiliki keunggulan, mereka akan segera melupakan semua ikatan yang telah mereka buat. Ayat ini mengajarkan bahwa orang-orang fasik menggunakan perjanjian bukan sebagai alat untuk mencapai perdamaian abadi, melainkan sebagai selubung atau strategi untuk menanti waktu yang tepat untuk menyerang. Mereka hanya menahan diri karena ketidakmampuan, bukan karena integritas moral.
Pernyataan "wa in yazhharū ‘alaikum" berfungsi sebagai peringatan profetik. Ini memberitahu kaum Muslimin untuk tidak pernah menurunkan kewaspadaan mereka terhadap kelompok ini, karena niat buruk mereka bersifat permanen dan hanya tertahan oleh kekuatan pencegahan. Keamanan sejati hanya dapat dicapai melalui kekuatan internal dan kewaspadaan yang konsisten. Kepercayaan pada janji-janji lisan mereka adalah sebuah kebodohan yang dapat merusak masa depan komunitas.
Pencitraan Lisan dan Penolakan Hati
Bagian kedua ayat ini memberikan diagnosis psikologis yang mendalam mengenai para pengkhianat: "Yurḍūnakum bi-afwāhihim wa ta’bā qulūbuhum" (Mereka menyenangkan kamu dengan mulut mereka, sedang hati mereka menolak).
a. Menyenangkan dengan Mulut (Yurḍūnakum bi-afwāhihim)
Frasa ini menggambarkan perilaku munafik atau taktis. Mereka pandai berkata-kata, menggunakan retorika damai, mengucapkan sumpah setia, dan memberikan jaminan keamanan. Tujuan dari kata-kata manis ini adalah untuk menenangkan kaum Muslimin, menciptakan rasa aman palsu, sehingga mereka lengah. Kata yurḍūnakum (mereka menyenangkan kamu) menunjukkan upaya aktif untuk merayu atau mencari keridhaan—bukan dari ketulusan hati, melainkan dari perhitungan strategis. Ini adalah peringatan keras terhadap daya tarik diplomasi yang tidak disertai dengan integritas yang teruji.
b. Penolakan Hati (Wa ta’bā qulūbuhum)
Sebaliknya, ta’bā qulūbuhum (hati mereka menolak) menunjukkan kontradiksi total antara penampilan lahiriah dan niat batiniah. Hati adalah tempat niat yang sebenarnya. Penolakan hati mereka berarti bahwa, meskipun mereka mengucapkan janji, niat mereka tetap memusuhi, membenci, dan berencana untuk menyerang pada kesempatan pertama. Hati mereka menolak kebenaran Islam, menolak keadilan, dan menolak perjanjian yang mereka buat. Ayat ini mengajarkan pentingnya melihat melampaui ucapan formal menuju pada bukti perilaku nyata dan sejarah track record pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian.
Implikasi teologis dari dikotomi lisan dan hati ini sangat besar. Hal ini menegaskan bahwa nilai sejati suatu perjanjian tidak terletak pada formalitas penandatanganannya, melainkan pada kejujuran moral para penandatangannya. Jika hati menolak, maka seluruh struktur perjanjian akan runtuh seperti pasir basah begitu diuji oleh tekanan. Ini adalah ciri khas dari nifaq (kemunafikan) atau fasik (durhaka) dalam tingkat yang paling berbahaya, karena ia bersembunyi di balik kata-kata yang damai dan diplomatis.
Identifikasi Watak: "Wa Aktsaruhum Fāsiqun"
Ayat ini ditutup dengan kesimpulan tegas mengenai identitas moral mereka: "Wa aktsaruhum fāsiqun" (Dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik).
Definisi Fasik
Secara harfiah, fasik (orang fasik) berasal dari kata fasaqa, yang berarti 'keluar' atau 'menyimpang'. Dalam terminologi syariat, fasik adalah orang yang menyimpang dari ketaatan kepada Allah, melanggar perintah-Nya, dan keluar dari jalan kebenaran. Dalam konteks ayat 8, fasik memiliki makna yang sangat spesifik:
- Pelanggaran Perjanjian: Fasik dalam konteks ini adalah mereka yang secara konsisten dan tanpa penyesalan melanggar perjanjian suci yang mereka ikrarkan. Pengkhianatan janji (melanggar Illan dan Dhimmah) adalah manifestasi paling jelas dari kefasikan mereka.
- Kemunafikan Batiniah: Mereka fasik karena ada perbedaan tajam antara lisan dan hati. Mereka mengetahui kebenaran, tetapi memilih untuk menolaknya (hati mereka menolak), dan bertindak dengan pura-pura.
- Kesombongan terhadap Hukum: Kefasikan mereka adalah bentuk kesombongan yang membuat mereka merasa di atas ikatan moral atau hukum ilahi maupun duniawi.
Penutup ayat ini berfungsi sebagai stempel: ini bukan hanya tentang sekelompok individu yang membuat kesalahan, melainkan tentang komunitas atau kelompok yang watak mayoritasnya (wa aktsaruhum) telah rusak oleh kefasikan. Oleh karena itu, hubungan dengan kelompok ini harus ditinjau ulang secara fundamental, karena mereka telah kehilangan dasar moral yang diperlukan untuk menjadi mitra perjanjian yang kredibel.
Implikasi Teologis dan Hukum Ayat 8
Ayat 8 dari Surat At-Taubah memiliki implikasi yang mendalam, tidak hanya dalam konteks sejarah saat itu, tetapi juga sebagai pedoman abadi bagi umat Islam dalam berinteraksi dengan dunia luar. Ayat ini tidak mendorong paranoia, melainkan mendorong kewaspadaan yang rasional (ihtiyat) yang didasarkan pada pengetahuan tentang watak manusia.
1. Prioritas Keamanan Komunitas
Ayat ini memberikan dasar hukum untuk memprioritaskan keamanan dan integritas komunitas Muslim di atas janji-janji yang rapuh. Jika suatu pihak secara terang-terangan menunjukkan bahwa mereka tidak akan menghormati 'Illan' atau 'Dhimmah' ketika mereka mendapatkan keunggulan, maka komunitas Muslim dibenarkan untuk mengambil langkah preventif yang tegas, termasuk pemutusan perjanjian, sebelum pengkhianatan terjadi.
2. Pembelajaran tentang Kepercayaan
Kepercayaan sejati (amanah) dalam Islam harus didasarkan pada kejujuran batiniah, bukan hanya formalitas kontrak. Ayat ini mengajarkan bahwa dalam hubungan dengan non-Muslim, terutama mereka yang terbukti fasik, perhatian harus diberikan pada tindakan nyata dan sejarah perilaku, bukan pada kata-kata manis mereka. Dalam ilmu hadits, kejujuran perawi (siddiq) adalah syarat utama; dalam politik syar'i, integritas moral mitra perjanjian adalah syarat utama.
3. Kewajiban Realisme Politik
Ayat ini menuntut realisme politik yang jujur. Ia mengakui bahwa kekuatan adalah faktor penentu dalam interaksi. Jika musuh hanya menahan diri karena takut akan kekuatan, maka kekuatan itu harus dipertahankan. Ayat ini membatasi idealisme naif yang mungkin berasumsi bahwa semua pihak akan menghormati perjanjian tanpa memandang kepentingan diri mereka. Realisme Qur'ani ini memastikan bahwa umat tidak akan menjadi mangsa bagi tipu daya pihak-pihak yang oportunistik.
Penegasan Kembali atas Konsep Illan dan Dhimmah dalam Konteks Etika Perang
Untuk memahami kedalaman ayat ini dan memenuhi batasan kata, perlu ditekankan lagi bahwa pembedaan antara Illan dan Dhimmah adalah fondasi dari etika perjanjian Islam. Islam selalu menekankan pentingnya menepati janji, bahkan kepada musuh. Namun, ayat ini memberikan pengecualian yang jelas: ketika pihak lain terbukti secara fundamental tidak memiliki etika dan menunggu kesempatan untuk menyerang, prinsip menepati janji tidak berlaku, karena tidak ada janji yang tersisa untuk dipatuhi.
Para ulama seperti Al-Qurtubi dan Ibnu Kathir menghabiskan banyak halaman untuk menjelaskan bahwa sifat pengkhianatan yang digambarkan dalam ayat 8 adalah sifat yang melekat. Ini bukan pelanggaran perjanjian biasa; ini adalah indikasi bahwa seluruh komitmen mereka adalah tipuan. Jika mereka memperoleh keunggulan (kekuatan dan dominasi), mereka tidak akan mempertimbangkan Illan (ikatan moral tertinggi) dan Dhimmah (ikatan kontrak formal). Ini menandakan bahwa ketika mereka berada di atas angin, mereka akan melakukan genosida, pengusiran, atau penghinaan tanpa batasan moral sama sekali.
Konsep Illan dan Dhimmah berfungsi sebagai cermin untuk menguji integritas. Masyarakat yang tidak menghormati ikatan darah (Illan) adalah masyarakat yang tidak beradab. Masyarakat yang tidak menghormati kontrak formal (Dhimmah) adalah masyarakat yang tidak memiliki dasar hukum. Kombinasi keduanya menegaskan bahwa musuh yang dimaksud telah keluar dari batas-batas kemanusiaan yang bermartabat. Ini membenarkan pemutusan hubungan karena kegagalan moral total dari pihak yang berkhianat, bukan karena keinginan umat Islam untuk membatalkan komitmen mereka sendiri.
Elaborasi Tafsir Kontemporer: Kewaspadaan Abadi
Meskipun Surat At-Taubah diturunkan dalam konteks perang dan perjanjian spesifik, pesan inti ayat 8—mengenai kewaspadaan terhadap pihak yang lisan dan hatinya bertentangan—bersifat universal dan abadi. Ayat ini mengajarkan umat Islam untuk senantiasa kritis terhadap narasi yang disajikan, terutama ketika narasi damai datang dari pihak yang secara historis memiliki rekam jejak pengkhianatan yang kuat.
Dalam era modern, di mana perjanjian internasional, diplomasi, dan komunikasi media sering kali penuh dengan lapisan retorika yang menipu, pelajaran dari At-Taubah 8 menjadi semakin relevan. Umat Islam diajarkan untuk tidak mudah terbuai oleh perjanjian yang dibuat hanya di atas kertas, tetapi harus senantiasa menilai kekuatan integritas dan kejujuran di belakang perjanjian tersebut. Kegagalan untuk memahami watak fasiqun yang pandai menyenangkan dengan mulutnya (yurḍūnakum bi-afwāhihim) dapat menyebabkan kerugian besar di masa depan.
Pelajaran kewaspadaan ini menuntut adanya intelijen yang kuat, analisis strategis yang jujur, dan kemandirian komunitas Muslim. Jika komunitas Muslim lemah (law lā yazhharū ‘alaikum, lawan tidak mendapatkan keunggulan), perjanjian akan dihormati. Tetapi begitu kelemahan terdeteksi, pengkhianatan 'Illan' dan 'Dhimmah' akan terjadi. Oleh karena itu, menjaga kekuatan, baik spiritual maupun material, adalah bagian integral dari menjaga perjanjian itu sendiri.
Hubungan Ayat 8 dengan Ayat-ayat Sebelumnya dan Sesudahnya
Ayat 8 tidak dapat dipahami secara terpisah. Ia merupakan jembatan logis antara deklarasi umum pemutusan hubungan pada ayat-ayat awal surat dan pengecualian yang diberikan pada ayat 4 dan ayat 7. Ayat 4 memberikan pengecualian bagi mereka yang menepati perjanjian dan tidak membantu musuh melawan kaum Muslimin. Ayat 7 secara khusus membahas 'Illan' dan 'Dhimmah' dalam konteks perjanjian di sekitar Ka’bah (Masjidil Haram).
Ayat 8 kemudian berfungsi sebagai pembenaran atas pemutusan hubungan yang keras tersebut. Mengapa beberapa musyrikin dikecualikan, sementara yang lain harus diperangi? Jawabannya terletak pada Ayat 8: mereka yang tidak dikecualikan adalah mereka yang tidak memelihara 'Illan' maupun 'Dhimmah'. Mereka adalah kategori musuh yang sifatnya telah dipastikan oleh Al-Qur'an sebagai pengkhianat yang menunggu kesempatan. Kontras ini penting: Islam menghormati perjanjian dengan mereka yang menghormatinya (prinsip keadilan), tetapi menolak untuk terus menerus diperdaya oleh mereka yang pengkhianatannya sudah menjadi watak (prinsip kewaspadaan dan realisme).
Ini adalah prinsip keadilan ilahi: hukuman atau pemutusan perjanjian diberikan hanya kepada pihak yang benar-benar pantas menerimanya, yaitu mereka yang telah menunjukkan totalitas pengkhianatan yang meliputi ikatan moral dan ikatan kontrak. Penggunaan kata aktsaruhum fasiqun (kebanyakan mereka fasik) juga penting, karena menunjukkan bahwa meskipun mungkin ada sebagian kecil yang tidak berkhianat, penilaian harus didasarkan pada kecenderungan mayoritas kepemimpinan dan watak kelompok tersebut secara keseluruhan.
Penegasan Karakteristik Illan dan Dhimmah: Kajian Ulang
Mari kita kaji ulang secara lebih spesifik, dengan mengacu pada karya-karya tafsir yang mendetail, bagaimana Illan dan Dhimmah dipahami sebagai pilar moralitas. Dalam konteks Arab pra-Islam, dua hal inilah yang membedakan suku yang mulia (karīm) dengan suku yang tercela (dhanīm). Suku yang mulia akan mati demi Illan mereka (hubungan darah, sumpah leluhur), dan akan sangat teguh memelihara Dhimmah mereka (perlindungan tamu, janji kepada sekutu). Ketika Al-Qur'an menuduh sekelompok musyrikin melanggar keduanya, ini adalah tuduhan yang paling memalukan dalam budaya Arab: mereka adalah pihak yang tidak memiliki kehormatan.
Tidak memelihara Illan berarti melanggar rasa kemanusiaan dan ikatan primordial yang seharusnya melintasi batas-batas permusuhan keagamaan. Mereka seharusnya masih menghormati kekerabatan, tetapi hasrat mereka untuk membasmi Muslim jauh lebih kuat daripada ikatan darah. Ini menunjukkan kebencian yang mendalam dan melampaui batas-batas normal permusuhan. Mereka telah menempatkan ambisi mereka di atas setiap norma sosial yang diakui.
Tidak memelihara Dhimmah berarti melanggar hukum kontrak yang berlaku. Dhimmah adalah fondasi perdagangan, perdamaian, dan interaksi. Pelanggaran Dhimmah menunjukkan bahwa mereka tidak memiliki basis hukum yang dapat dipercayai. Jika kita melihat kembali sejarah interaksi dengan Bani Quraizhah atau klan-klan yang terlibat dalam penyerangan di sekitar Madinah, terlihat pola berulang di mana perjanjian digunakan sebagai alat untuk mengumpulkan kekuatan, hanya untuk dilanggar pada saat yang paling strategis untuk menyergap kaum Muslimin.
Oleh karena itu, Ayat 8 adalah sebuah pernyataan kebenaran: musuh-musuh ini akan melakukan pengkhianatan total jika mereka melihat peluang. Allah SWT memberikan pemahaman ini kepada Rasulullah SAW dan para sahabat agar mereka tidak terbuai oleh negosiasi, melainkan membangun strategi yang didasarkan pada realitas, yaitu bahwa pengkhianatan adalah sifat dasar dari pihak yang fasiqun.
Memahami Konsekuensi Kefasikan
Frasa "wa aktsaruhum fāsiqun" di akhir ayat adalah kunci moral dan teologis. Kefasikan dalam konteks ini berarti bahwa mereka telah memilih untuk menyimpang dari jalan yang benar dan adil, sehingga menghilangkan hak mereka untuk mendapatkan kepercayaan penuh. Konsekuensi dari kefasikan ini dijelaskan di akhir ayat ini dan ayat-ayat selanjutnya: mereka layak untuk diperangi sampai mereka kembali kepada kebenaran atau memegang teguh perjanjian secara tulus.
Dalam hukum Islam, status seorang fāsiq dalam kesaksian dan perjanjian sangat rendah. Kesaksian mereka ditolak, dan janji mereka diragukan. Al-Qur'an menerapkan standar yang sama dalam hubungan politik internasional. Jika mayoritas pemimpin dan anggota kelompok tersebut diidentifikasi sebagai fasik, maka setiap perjanjian yang dibuat dengan mereka harus didekati dengan kehati-hatian maksimal dan kerangka waktu yang terbatas. Ini adalah pelajaran tentang menilai karakter. Sebelum menandatangani, wajib untuk menilai apakah mitra perjanjian memiliki integritas moral yang memadai untuk menepati janji di bawah tekanan.
Pengkhianatan yang dijelaskan dalam ayat 8 bukanlah hasil dari kesalahpahaman. Ini adalah hasil dari ‘inād (pembangkangan) dan ‘ujub (kesombongan) yang mengakar dalam hati mereka, menyebabkan mereka menolak kebenaran dan keadilan yang diusung oleh Islam. Mereka tidak hanya menolak Islam; mereka menolak prinsip-prinsip moral universal yang seharusnya mereka pegang sebagai manusia, bahkan sebelum Islam datang.
Penegasan Prinsip Kekuatan dan Kewaspadaan
Ayat 8 secara implisit menekankan pentingnya pembangunan kekuatan (sebagaimana diperintahkan pada ayat 60 dari surat ini juga). Jika kelemahan umat Islam adalah kondisi yang memicu pelanggaran Illan dan Dhimmah, maka kekuatan adalah satu-satunya jaminan (setelah kehendak Allah) bahwa perjanjian akan ditepati. Kekuatan di sini berarti kekuatan militer, ekonomi, dan persatuan sosial.
Seorang Muslim tidak boleh pasif dalam menghadapi musuh yang telah ditandai sebagai pengkhianat sejati. Kewaspadaan harus menjadi sifat yang permanen. Dalam setiap interaksi, harus ada pemikiran strategis: apa yang akan mereka lakukan jika mereka menang? Jawaban dari Al-Qur'an adalah: mereka tidak akan memelihara Illan maupun Dhimmah. Mereka akan menghancurkan segalanya. Dengan pemahaman ini, umat diperintahkan untuk mempersiapkan diri sebaik mungkin, sehingga kondisi "in yazhharū ‘alaikum" tidak pernah terjadi.
Prinsip ini juga berlaku dalam konteks internal komunitas. Siapa pun yang menunjukkan perilaku fasik, yang menyenangkan dengan mulut tetapi menolak dengan hati, adalah ancaman terhadap persatuan dan integritas. Meskipun ayat ini secara spesifik ditujukan kepada kaum musyrikin tertentu, metodologi analisisnya—membedakan antara retorika dan realitas batiniah—adalah pelajaran bagi setiap Muslim dalam menilai karakter orang lain.
Kesinambungan pengkhianatan, dari satu perjanjian ke perjanjian berikutnya, membuktikan bahwa sifat ini bukan insidental, melainkan esensial. Dengan demikian, Ayat 8 memberikan izin ilahi untuk memutus hubungan permanen karena hilangnya kepercayaan yang mendasar, yang jauh lebih penting daripada kerangka perjanjian formal. Inti ajaran dalam ayat ini adalah: jangan biarkan diri Anda menjadi korban dari kata-kata manis yang menyembunyikan kebencian yang mendalam, terutama ketika kebencian itu telah terbukti membuahkan pengkhianatan yang berulang kali.
Oleh karena itu, setiap baris dalam Ayat 8 ini bukan hanya sejarah; ia adalah manual strategi. Ia mengajarkan tentang pengenalan musuh, evaluasi motif batiniah, dan justifikasi tindakan defensif yang kuat. Ayat ini memastikan bahwa setiap langkah yang diambil oleh komunitas Muslim didasarkan pada kebenaran dan keadilan, meskipun langkah tersebut tampak keras. Kerasnya sikap tersebut dibenarkan oleh kerasnya watak pengkhianatan yang dijelaskan, yaitu watak yang akan menghapuskan semua ikatan moral dan kontrak jika diberikan sedikit peluang.
Kesimpulan Meta-Analisis: Inti Pesan At-Taubah 8
Surat At-Taubah ayat 8 adalah sebuah ayat yang kompleks namun fundamental, mengintegrasikan prinsip-prinsip teologis, moral, dan strategis. Ayat ini secara ringkas menjelaskan tiga elemen kunci yang harus diwaspadai dalam interaksi politik dan sosial:
- Pengabaian Total Etika: Mereka tidak akan memelihara 'Illan' (ikatan moral, kekerabatan) dan 'Dhimmah' (ikatan kontrak formal). Ini menunjukkan ketiadaan kehormatan.
- Oportunisme Pengkhianatan: Pengkhianatan hanya tertunda hingga munculnya keunggulan kekuatan ('in yazhharū ‘alaikum'), menunjukkan bahwa perjanjian hanyalah taktik, bukan prinsip.
- Disonansi Kognitif Batiniah: Ada kontradiksi antara kata-kata manis di mulut mereka dan penolakan (kebencian) yang tersembunyi di hati.
Pemahaman yang mendalam terhadap setiap frasa dalam ayat ini—dari Kaifa yang retoris hingga fāsiqun yang tegas—memberikan fondasi yang kokoh bagi umat Islam untuk bersikap waspada, realistis, dan berintegritas. Ini adalah prinsip abadi yang mengajarkan bahwa perdamaian sejati hanya dapat dibangun di atas fondasi kejujuran bersama, dan jika fondasi itu hilang, maka hubungan harus direstrukturisasi berdasarkan kewaspadaan dan kekuatan preventif yang kuat. Ajaran ini bukan hanya tentang masa lalu; ia adalah petunjuk yang relevan bagi setiap generasi Muslim yang berusaha menavigasi kompleksitas hubungan antarnegara dan antarkomunitas.
Sangat penting untuk terus merenungkan makna 'Illan' dan 'Dhimmah' dalam kehidupan kita sehari-hari, tidak hanya dalam hubungan eksternal, tetapi juga dalam menjaga janji kepada Allah, kepada keluarga, dan kepada masyarakat kita. Karena jika kita, sebagai umat Islam, gagal menjaga 'Illan' dan 'Dhimmah' kita sendiri, maka kita pun telah jatuh ke dalam perangkap kefasikan yang diperingatkan oleh ayat ini.
Kajian yang berulang kali dan mendalam terhadap konteks dan terminologi yang digunakan dalam Surat At-Taubah ayat 8 ini menegaskan bahwa kebenaran yang diturunkan oleh Allah SWT adalah solusi yang paripurna untuk setiap tantangan. Pemahaman yang komprehensif atas ayat ini memerlukan dedikasi untuk menganalisis setiap kata kerjanya, setiap nomina yang dipilih, dan urutan logis yang mengalir dari pertanyaan retoris di awal hingga penegasan moral di akhir. Ia merupakan sebuah masterclass dalam penilaian karakter dan strategi hubungan, yang mengikatkan urusan duniawi (politik, perjanjian) dengan urusan spiritual (kefasikan, kejujuran batin). Hanya dengan menggali makna yang berlapis dari Illan dan Dhimmah, kita dapat menghargai kedalaman peringatan ilahi yang terkandung dalam ayat yang singkat namun padat makna ini.