Tafaqquh fid-Din: Analisis Surat At-Taubah Ayat 122

Fondasi Kewajiban Intelektual dalam Islam

Ilustrasi Kitab dan Cahaya Ilmu Sebuah buku terbuka dengan cahaya yang memancar ke atas, melambangkan Tafaqquh fid-Din, upaya mendalam dalam mencari ilmu agama. علم

Ilustrasi Kitab dan Cahaya Ilmu, melambangkan Tafaqquh fid-Din.

I. Pengantar Kontekstualisasi Ayat

Surat At-Taubah, surah kesembilan dalam Al-Qur'an, memiliki posisi unik karena diturunkan pada fase akhir periode Madinah, mencerminkan puncak konflik dan konsolidasi komunitas Muslim. Sebagian besar ayat-ayatnya membahas ekspedisi Tabuk, pengungkapan tabiat kaum munafik, dan penetapan hukum-hukum terkait jihad dan hubungan dengan non-Muslim.

Di tengah tekanan untuk mobilisasi penuh dalam setiap ekspedisi militer, terutama setelah kemenangan-kemenangan awal, muncul kekhawatiran yang sangat mendasar: jika semua orang bergegas menuju medan tempur, siapa yang akan menjaga fondasi ilmu dan pemahaman agama? Ayat 122 Surat At-Taubah (juga dikenal sebagai At-Tawbah) hadir sebagai koreksi ilahi yang cermat, menyeimbangkan antara kebutuhan pertahanan fisik (jihad pedang) dan kebutuhan pertahanan intelektual dan spiritual (jihad ilmu).

Ayat ini secara eksplisit mengubah kewajiban umum menjadi kewajiban yang bersifat kolektif yang terbagi, menempatkan penuntut ilmu pada posisi strategis yang setara dengan pejuang di medan perang. Ini adalah fondasi agung yang menopang institusi pendidikan Islam sepanjang sejarah, memastikan kelangsungan transmisi wahyu dan fikih.

II. Teks dan Terjemah Surat At-Taubah Ayat 122

Ayat mulia ini berbunyi:

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُوا كَافَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَائِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
"Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya." (QS. At-Taubah [9]: 122)

A. Analisis Linguistik Kunci

Untuk memahami kedalaman ayat ini, kita perlu membedah beberapa istilah kunci dalam bahasa Arab:

  1. لِيَنفِرُوا كَافَّةً (Li yanfirū Kaffatan): Secara harfiah berarti "untuk berangkat seluruhnya." Kata *Nafara* berarti keluar atau bergegas untuk tujuan tertentu (dalam konteks ini, jihad). Frasa ini menetapkan bahwa mobilisasi total dan universal bukanlah kehendak Allah. Kehadiran semua orang di medan perang akan meninggalkan kekosongan berbahaya di pusat masyarakat.
  2. فَلَوْلَا نَفَرَ (Falawlā nafara): Frasa ini adalah bentuk pertanyaan retoris yang bermakna anjuran atau celaan ringan, yang pada dasarnya berarti: “Mengapa tidak...?” atau “Hendaknya...”. Ini menekankan bahwa keberangkatan sekelompok kecil adalah keharusan, bukan sekadar pilihan.
  3. طَائِفَةٌ (Tā’ifah): Artinya sekelompok kecil, faksi, atau golongan. Para mufasir menafsirkan *tā’ifah* di sini sebagai jumlah yang cukup untuk mencapai tujuan (yaitu, spesialisasi dalam ilmu agama), meskipun jumlahnya relatif sedikit dibandingkan keseluruhan komunitas.
  4. لِّيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ (Li yatafaqqahū fid-dīn): Inilah inti perintah. Kata kerja *Yatafaqqahū* berasal dari akar kata *Fiqh*, yang berarti pemahaman yang mendalam, teliti, dan terperinci. Ini melampaui sekadar mengetahui (*‘ilmu*); ini menuntut analisis, deduksi, dan kemampuan untuk mengeluarkan hukum (istinbat).
  5. وَلِيُنذِرُوا قَوْمَهُمْ (Wa liyundzirū qawmahum): "Dan untuk memberi peringatan kepada kaum mereka." *Indzar* adalah peringatan yang disampaikan setelah adanya pengetahuan yang pasti dan mendalam. Ini menunjukkan tujuan praktis dari ilmu: ia harus disebarkan untuk mencegah kemaksiatan dan menjaga ketaatan.

III. Konsep Inti: Tafaqquh fid-Din

Perintah untuk Tafaqquh fid-Din—memperdalam pengetahuan agama—adalah jantung dari ayat 122. Perintah ini menggarisbawahi bahwa peradaban Islam tidak hanya dibangun di atas kekuatan militer tetapi, yang lebih fundamental, di atas pemahaman yang kokoh terhadap syariat ilahi.

A. Perbedaan antara ‘Ilm (Pengetahuan) dan Fiqh (Pemahaman Mendalam)

Dalam tradisi keilmuan Islam, ada perbedaan signifikan antara *‘Ilm* dan *Fiqh*. *‘Ilm* adalah pengetahuan umum tentang fakta-fakta agama (misalnya, mengetahui rukun Islam). Sementara itu, *Fiqh* (Tafaqquh) adalah:

Ayat 122 tidak hanya memerintahkan pencarian ilmu, tetapi secara spesifik memerintahkan *Tafaqquh*, yaitu pendalaman yang menghasilkan spesialisasi. Ini menunjukkan pentingnya keberadaan para ulama ahli yang mampu memimpin interpretasi syariat di saat masyarakat mengalami kesulitan atau perubahan.

B. Tafaqquh sebagai Fard Kifayah (Kewajiban Kolektif)

Para fuqaha (ahli fikih) sepakat bahwa perintah dalam ayat 122 ini menetapkan status ilmu agama sebagai Fard Kifayah (kewajiban kolektif). Jika ada sekelompok orang yang telah melaksanakannya dengan sempurna—yaitu, mereka telah menjadi ulama yang ahli dan mumpuni—maka gugurlah kewajiban tersebut dari umat secara keseluruhan.

Namun, kewajiban ini sangat mendesak. Jika tidak ada satu pun kelompok yang melaksanakan kewajiban ini, maka seluruh komunitas Muslim dianggap berdosa di hadapan Allah SWT. Hal ini berbeda dengan Fard Ain (kewajiban individu, seperti salat dan puasa) yang harus dilakukan oleh setiap Muslim.

Pentingnya Fard Kifayah ini dalam konteks At-Taubah 122 adalah bahwa ia menyeimbangkan prioritas. Meskipun jihad dalam bentuk perang seringkali dianggap Fard Kifayah, ayat ini menempatkan Tafaqquh fid-Din sebagai prioritas yang harus dipastikan pelaksanaannya, bahkan ketika ada panggilan perang mendesak. Ilmu adalah benteng terakhir umat, lebih fundamental daripada benteng fisik.

C. Lingkup Tafaqquh

Apa yang harus dipelajari oleh kelompok yang tinggal di belakang? Lingkup Tafaqquh tidak terbatas hanya pada fikih (hukum). Secara tradisional, ia mencakup ilmu-ilmu yang diperlukan untuk pemahaman syariat, termasuk:

  1. Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir: Memahami makna dan konteks pewahyuan.
  2. Ilmu Hadis dan Musthalah Hadis: Menguasai otentisitas, transmisi, dan kandungan Sunnah Nabi SAW.
  3. Ushul Fiqh: Metodologi untuk menurunkan hukum. Ini adalah ilmu yang paling vital untuk mencapai derajat *Tafaqquh*.
  4. Ilmu Bahasa Arab: Nahwu, Sharf, dan Balaghah, karena pemahaman wahyu bergantung pada penguasaan bahasanya.
  5. Ilmu Akidah (Tauhid): Fondasi keyakinan yang benar.

Pendalaman ini menuntut pengorbanan waktu, ketekunan, dan dedikasi penuh. Oleh karena itu, kelompok yang tinggal di belakang tersebut harus didukung penuh oleh masyarakat, karena tugas mereka sama pentingnya, jika tidak lebih penting, daripada yang bertempur.

IV. Tujuan Kedua: Al-Indzar (Peringatan)

Ayat 122 menetapkan dua tujuan bagi kelompok yang menuntut ilmu: 1) Tafaqquh, dan 2) Indzar. Ilmu tanpa penyampaian adalah seperti harta karun yang terkubur. Allah berfirman: وَلِيُنذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ (dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya).

A. Indzar: Amanah Transmisi

Indzar (peringatan) dalam konteks ini adalah penyampaian ajaran dan hukum yang telah dipahami secara mendalam. Ini bukan sekadar nasihat biasa, melainkan peringatan yang didasarkan pada otoritas wahyu yang telah diolah melalui metodologi Fiqh yang benar. Peringatan ini bertujuan agar masyarakat kembali pada jalan kebenaran dan menghindari kebinasaan.

Momen penyampaian adalah إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ (apabila mereka telah kembali kepada mereka). Ini menunjuk pada dua kemungkinan penafsiran yang saling melengkapi:

  1. Kepulangan dari Jihad: Kelompok yang berangkat jihad kembali, dan kelompok yang menuntut ilmu menyampaikan apa yang mereka pelajari selama masa kekosongan.
  2. Kepulangan dari Pusat Pendidikan: Kelompok pelajar yang pergi ke pusat ilmu (Madinah pada masa itu, atau pusat-pusat studi besar seperti Kufah, Basrah, atau Kairo di masa setelahnya) kembali ke komunitas asal mereka yang terpencil.

Penafsiran kedua lebih dominan dan relevan sepanjang sejarah Islam. Ayat ini melegitimasi perjalanan menuntut ilmu (*rihlah fil talab al-ilm*) dan kemudian kembali ke masyarakat untuk menjadi lentera penerang. Mereka adalah jembatan antara sumber wahyu dan realitas masyarakat.

B. Dampak Indzar: Yahdharūn (Menjaga Diri)

Tujuan akhir dari Indzar dinyatakan dalam frasa: لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ (supaya mereka itu dapat menjaga dirinya). Kata *Yahdharūn* berarti berhati-hati, waspada, atau menjaga diri dari sesuatu yang berbahaya.

Ini menunjukkan bahwa output dari proses Tafaqquh dan Indzar haruslah perubahan perilaku dan peningkatan kesadaran spiritual dalam masyarakat. Ilmu agama yang sejati harus mampu melindungi umat dari penyimpangan akidah, kekeliruan dalam ibadah, dan pelanggaran hukum syariah. Jika ulama telah menyampaikan, dan masyarakat telah mendengar, maka mereka diharapkan mampu menjaga diri dari kesesatan.

V. Pandangan Para Mufassir Klasik

Pemahaman terhadap Surat At-Taubah ayat 122 telah menjadi fondasi bagi tradisi keilmuan Islam, dan para mufassir (ahli tafsir) klasik memberikan elaborasi yang sangat kaya mengenai pelaksanaannya.

A. Tafsir Imam Al-Thabari (W. 310 H)

Imam Muhammad bin Jarir Al-Thabari, dalam karyanya Jami' Al-Bayan, berpendapat bahwa konteks utama ayat ini adalah pada saat perintah jihad secara umum berlaku. Al-Thabari cenderung menafsirkan *Tā’ifah* (kelompok) sebagai mereka yang tetap di belakang untuk Tafaqquh, sementara yang lain pergi berjihad.

Al-Thabari menekankan bahwa Allah melarang semua kaum mukminin pergi berperang, tetapi memerintahkan sekelompok dari setiap golongan atau suku untuk tinggal di tempat tinggal mereka agar mereka bisa mempelajari syariat dan hukum-hukum Allah, sehingga ketika para pejuang kembali, mereka dapat memperingatkan mereka tentang apa yang haram dan apa yang halal.

Pandangan ini menguatkan konsep pembagian tugas: tugas ulama adalah ilmu, dan tugas mujahid adalah pertahanan, keduanya sama-sama mulia dan penting untuk kelangsungan umat.

B. Tafsir Imam Al-Qurtubi (W. 671 H)

Imam Al-Qurtubi dalam Al-Jami' li Ahkam Al-Qur'an sangat fokus pada aspek fikih (hukum) yang ditimbulkan oleh ayat ini. Ia menegaskan bahwa ayat ini adalah dalil utama yang menetapkan kewajiban mencari ilmu sebagai Fard Kifayah.

Al-Qurtubi memperluas definisi *Tā’ifah*, tidak hanya merujuk pada mereka yang tinggal di Madinah, tetapi juga mereka yang bepergian jauh untuk mencari ilmu (seperti para perawi hadis dan fuqaha yang melintasi wilayah). Ia berpendapat bahwa semangat ayat ini adalah selalu memastikan bahwa ada kelompok yang terdidik di setiap generasi untuk mempertahankan otentisitas ajaran Islam.

C. Tafsir Ibnu Katsir (W. 774 H)

Ibnu Katsir dalam tafsirnya, menghubungkan ayat ini dengan hadis Nabi SAW yang menyatakan keutamaan orang yang Allah kehendaki kebaikan baginya, niscaya Allah menjadikannya *faqih* (memahami) dalam agama. Ibnu Katsir melihat ayat 122 sebagai landasan normatif bagi keutamaan para ahli fikih di atas yang lainnya.

Menurut Ibnu Katsir, kelompok yang tinggal di belakang itu harus mendedikasikan diri sepenuhnya pada ilmu sehingga ketika mereka kembali, peringatan (*indzar*) mereka bukan hanya berupa kata-kata, tetapi berupa kepastian hukum yang kuat. Ini menekankan kualitas di atas kuantitas dalam proses pendidikan.

VI. Implikasi Fiqhiyyah dan Prioritas Kewajiban

Ayat 122 Surat At-Taubah memberikan kerangka kerja yang jelas untuk menentukan prioritas dalam kewajiban kolektif umat Islam, sebuah tema yang terus diperdebatkan oleh para ahli fikih.

A. Keseimbangan antara Jihad Fisik dan Jihad Intelektual

Ayat ini mengajarkan bahwa dalam situasi normal, kewajiban ilmu (Tafaqquh) harus diutamakan dan dilestarikan, bahkan di tengah seruan jihad. Jika semua pergi berperang, maka generasi berikutnya akan buta agama, dan kemenangan militer akan sia-sia jika tidak ada pondasi syariat untuk mengatur masyarakat yang baru terbentuk.

Syeikh Abdul Rahman Al-Sa’di, dalam tafsirnya, menyatakan bahwa Tafaqquh fid-Din adalah jenis jihad yang paling mulia, karena ia adalah jihad terhadap kebodohan, penyimpangan, dan syubhat (kerancuan). Ilmu adalah senjata paling ampuh melawan kekosongan spiritual.

Namun, para fuqaha juga sepakat bahwa apabila jihad berubah statusnya menjadi Fard Ain (kewajiban individu, seperti ketika musuh menyerang tanah air Muslim secara langsung dan tidak ada lagi yang bisa mempertahankan), maka kewajiban individu untuk membela diri menjadi prioritas utama. Namun, bahkan dalam keadaan darurat ekstrim ini, sejumlah ulama tetap harus dipertahankan untuk mengurus masalah hukum darurat dan spiritual masyarakat.

B. Pendirian Pusat Pendidikan (Halaqah Ilmu)

Ayat ini secara tidak langsung melegitimasi pendirian dan keberlangsungan institusi pendidikan Islam—mulai dari *halaqah* (lingkaran studi) kecil di masjid hingga universitas besar. Pusat-pusat ilmu ini adalah tempat di mana *Tā’ifah* (kelompok spesialis) dapat dibentuk. Masyarakat memiliki kewajiban untuk menyediakan sumber daya, keamanan, dan waktu bagi kelompok pelajar ini agar mereka dapat menjalankan tugas Tafaqquh mereka tanpa gangguan.

Jika tidak ada tempat atau sarana untuk Tafaqquh, maka kewajiban kolektif ini tidak dapat terlaksana, dan dosa menimpa seluruh komunitas. Ini menunjukkan bahwa investasi dalam pendidikan agama yang mendalam bukanlah amal sampingan, melainkan perintah ilahi yang strategis.

Sepanjang sejarah, kita melihat bagaimana ayat ini diimplementasikan melalui pendirian Madrasah Nizhamiyah, Al-Azhar, dan pusat-pusat studi lainnya yang berfokus pada melahirkan para faqih dan mufassir yang siap kembali ke wilayah asal mereka untuk melakukan Indzar.

VII. Relevansi Kontemporer Surat At-Taubah Ayat 122

Meskipun diturunkan dalam konteks militer pada abad ketujuh, pesan dari Surat At-Taubah ayat 122 bersifat abadi dan sangat relevan dalam masyarakat modern yang kompleks, terutama di era globalisasi dan informasi yang masif.

A. Menghadapi Jihad Pemikiran (Ghazu al-Fikr)

Di masa kini, peperangan yang paling menantang seringkali bukan lagi peperangan fisik, melainkan peperangan ideologi, pemikiran, dan narasi. Umat Islam menghadapi badai keraguan (syubhat), relativisme moral, dan interpretasi yang menyimpang terhadap teks suci.

Dalam konteks ini, Tafaqquh fid-Din menjadi jihad intelektual. Kelompok *Tā’ifah* saat ini adalah para ulama, intelektual, dan akademisi Muslim yang memiliki spesialisasi ganda: menguasai ilmu-ilmu syariah secara mendalam dan memahami realitas kontemporer, ilmu sosial, sains, dan teknologi. Mereka bertugas memberikan Indzar (peringatan) yang mampu menangkis serangan ideologis modern dan memberikan solusi syariah terhadap isu-isu kompleks baru (seperti bioetika, keuangan digital, atau krisis lingkungan).

Tafaqquh masa kini menuntut lebih dari sekadar hafalan; ia menuntut kemampuan untuk melakukan ijtihad kolektif dan kontekstualisasi hukum. Tanpa kelompok ahli ini, umat akan mudah terombang-ambing oleh pemikiran yang menyimpang.

B. Pendidikan Spesialisasi dan Diaspora

Ayat 122 secara spesifik mempromosikan model spesialisasi dan mobilitas (*rihlah*). Dalam konteks modern, hal ini dapat diterjemahkan menjadi:

  1. Pengiriman Pelajar ke Pusat Ilmu: Setiap komunitas Muslim, baik di pedesaan maupun di diaspora Barat, memiliki kewajiban untuk mengutus sekelompok kecil anggotanya ke pusat-pusat pendidikan tinggi Islam yang kredibel (seperti Madinah, Kairo, atau pusat-pusat studi Ushul Fiqh terkemuka).
  2. Kembali dan Berkontribusi: Setelah menyelesaikan pendalaman ilmu (Tafaqquh), individu tersebut memiliki kewajiban moral untuk kembali ke komunitas asalnya dan menjalankan tugas Indzar—mengajar, memimpin, dan memberikan fatwa yang relevan.

Kegagalan dalam melaksanakan Indzar setelah Tafaqquh adalah pengkhianatan terhadap amanah ayat ini. Ilmu yang tidak disebarkan tidak hanya mati, tetapi juga meninggalkan komunitas dalam kegelapan.

C. Menanggulangi Ekstremisme dan Literalisme

Salah satu bahaya terbesar yang dihadapi umat adalah literalisme dangkal, di mana teks suci diambil secara harfiah tanpa pemahaman metodologi Ushul Fiqh. Kelompok yang terdidik (Ahli Tafaqquh) berperan sebagai filter kritis. Mereka dapat menjelaskan konteks ayat jihad, membedakan antara *nasikh* (yang menghapus) dan *mansukh* (yang dihapus), dan menafsirkan *mutasyabihat* (ayat-ayat yang ambigu) berdasarkan *muhkamat* (ayat-ayat yang jelas).

Peran Indzar dari ulama ahli ini sangat vital dalam mencegah generasi muda jatuh ke dalam pemahaman yang ekstremis atau menyimpang, karena mereka menyampaikan Islam dengan keseimbangan antara teks dan tujuan (maqashid) syariah.

VIII. Perluasan Makna Indzar dalam Konteks Dakwah Global

Pekerjaan Indzar tidak terbatas pada memberi peringatan akan neraka, tetapi mencakup keseluruhan proses dakwah yang membawa manusia keluar dari kegelapan menuju cahaya. Peringatan ini harus relevan, mendalam, dan menggunakan media serta bahasa yang dipahami oleh kaumnya.

A. Menggunakan Bahasa Kaumnya

Ayat tersebut menekankan: وَلِيُنذِرُوا قَوْمَهُمْ (dan untuk memberi peringatan kepada kaum mereka). Ini menyiratkan pentingnya komunikasi yang efektif. Para ahli Tafaqquh tidak hanya perlu memahami syariah tetapi juga psikologi, sosiologi, dan bahasa (budaya) kaum mereka. Seorang ulama yang kembali ke komunitas diaspora di Eropa harus mampu menyampaikan Indzar menggunakan bahasa dan kerangka berpikir yang dipahami oleh audiens tersebut.

Kegagalan dalam komunikasi, meskipun didasarkan pada ilmu yang benar, dapat merusak tujuan Indzar. Inilah mengapa ulama modern tidak hanya didorong untuk menguasai ilmu tradisional tetapi juga ilmu komunikasi, retorika, dan teknologi informasi.

B. Indzar melalui Penulisan dan Pengajaran

Di era modern, Indzar tidak hanya disampaikan melalui lisan di mimbar masjid. Ia dilakukan melalui penulisan buku-buku, publikasi jurnal, pembuatan konten digital, dan pengajaran di berbagai platform. Setiap artikel yang menjelaskan hukum syariah, setiap buku yang menjernihkan kesalahpahaman, dan setiap ceramah yang disajikan secara sistematis adalah manifestasi dari pelaksanaan kewajiban Indzar yang diperintahkan dalam At-Taubah 122.

Jika pada masa Nabi, Indzar dilakukan secara tatap muka setelah perjalanan ilmu, kini Indzar harus menjangkau masyarakat global yang haus akan kejelasan spiritual dan hukum.

IX. Kesinambungan Tradisi Ilmu dan Sanad

Penerapan Surat At-Taubah ayat 122 secara historis telah melahirkan tradisi Sanad (rantai periwayatan) yang ketat. Tafaqquh sejati membutuhkan Sanad yang terhubung, memastikan bahwa ilmu yang dituntut bukan hanya sekadar bacaan buku, tetapi transmisi pemahaman yang otoritatif dan teruji dari generasi ke generasi.

Ketika seseorang kembali untuk melakukan Indzar, otoritas dan kepercayaan masyarakat terhadapnya sangat bergantung pada siapa guru-gurunya, dan di mana ia menuntut ilmu. Inilah yang membedakan ahli Tafaqquh yang sesungguhnya dari mereka yang otodidak tanpa bimbingan dan metodologi yang tepat. Ayat ini secara implisit menuntut adanya sistem pendidikan formal yang terstruktur.

A. Kewajiban Masyarakat Terhadap Ahli Ilmu

Kewajiban Tafaqquh adalah Fard Kifayah yang diemban oleh sekelompok kecil, tetapi dukungan terhadap mereka adalah kewajiban seluruh masyarakat. Masyarakat bertanggung jawab untuk memastikan bahwa *Tā’ifah* yang menuntut ilmu:

  1. Terbebas dari beban mencari nafkah sehingga mereka bisa berfokus penuh pada ilmu.
  2. Dilindungi dan dihormati sebagai pewaris para nabi.
  3. Diberikan platform yang tepat untuk menjalankan Indzar mereka ketika mereka kembali.

Jika masyarakat melalaikan dukungan ini, maka mereka secara tidak langsung menghalangi pelaksanaan perintah Allah dalam ayat 122, dan mereka akan ikut bertanggung jawab atas munculnya kebodohan agama di tengah-tengah mereka.

B. Keutamaan dan Derajat Ahli Tafaqquh

Ayat 122, yang secara kontekstual menyeimbangkan antara jihad dan ilmu, secara tidak langsung mengangkat derajat ahli ilmu. Dalam banyak riwayat hadis, keutamaan ahli ilmu diletakkan di atas keutamaan ahli ibadah yang bodoh. Penuntut ilmu yang benar-benar berjuang dalam Tafaqquh dianggap setara, atau bahkan melebihi, pejuang di medan perang, karena ilmu adalah benteng abadi yang melindungi umat dari kehancuran spiritual.

Imam Ahmad bin Hanbal pernah berkata, "Kebutuhan manusia terhadap ilmu jauh lebih besar daripada kebutuhan mereka terhadap makanan dan minuman." Hal ini karena makanan hanya dibutuhkan beberapa kali sehari, sementara ilmu dibutuhkan setiap saat untuk memandu setiap tindakan, pikiran, dan keyakinan, yang semuanya diatur oleh kerangka syariah yang dipahami melalui Tafaqquh.

X. Memperdalam Implementasi Indzar di Era Digital

Di zaman ini, medan pertempuran ide semakin luas. Indzar modern harus memanfaatkan teknologi secara maksimal untuk mencapai tujuan *Yahdharūn* (agar mereka menjaga diri).

A. Indzar Melawan Misinformasi (Hoaks Agama)

Internet dipenuhi dengan fatwa yang tidak berdasar, hadis palsu, dan interpretasi Al-Qur'an yang menyesatkan. Tugas para ahli Tafaqquh adalah memerangi misinformasi ini dengan menyediakan konten Indzar yang mudah diakses, kredibel, dan didukung oleh metodologi Ushul Fiqh yang kuat.

Indzar digital membutuhkan kecepatan dan ketepatan. Ketika sebuah narasi ekstremis menyebar dalam hitungan jam, para ulama harus mampu memberikan klarifikasi (Indzar) dengan kecepatan yang sama, didukung oleh ilmu yang mendalam, untuk mencegah kaum Muslim, terutama kaum muda, terjerumus dalam kesesatan.

B. Pendidikan Kontinu dan Regenerasi

Kewajiban Tafaqquh adalah kewajiban yang berkelanjutan. Ia tidak boleh berhenti setelah satu generasi ulama wafat. Ayat 122 menuntut adanya mekanisme regenerasi yang abadi. Institusi pendidikan tinggi Islam harus secara konstan mengevaluasi kurikulum mereka agar sesuai dengan tantangan kontemporer tanpa mengorbankan akar tradisi keilmuan Islam.

Setiap kelompok (*Tā’ifah*) yang berhasil dibentuk harus bertanggung jawab untuk mendidik kelompok berikutnya, menciptakan rantai Sanad yang tidak terputus. Inilah esensi dari kelangsungan Fard Kifayah yang termaktub dalam Surat At-Taubah ayat 122.

Umat Islam tidak boleh menganggap remeh perintah ini. Kelalaian dalam Tafaqquh akan menghasilkan kepemimpinan yang buta agama, Indzar yang tidak efektif, dan pada akhirnya, umat yang rentan terhadap penyimpangan akidah dan praktik syariah.

XI. Penutup: Warisan Abadi Tafaqquh

Surat At-Taubah ayat 122 adalah piagam ilahi untuk kaum intelektual Muslim. Ia menempatkan ahli ilmu (mujtahid, faqih) pada garis depan pertahanan agama, sejajar dengan para pejuang fisik. Ayat ini menegaskan bahwa kemajuan peradaban Islam harus selalu didasarkan pada pengetahuan yang mendalam, bukan emosi sesaat atau pemahaman yang dangkal.

Perintah untuk Tafaqquh fid-Din adalah seruan untuk keunggulan akademik, dedikasi spiritual, dan pengabdian sosial. Setiap mukmin yang berpartisipasi dalam proses pendidikan—baik sebagai pelajar, pengajar, maupun penyedia dukungan—sesungguhnya sedang melaksanakan bagian dari kewajiban kolektif yang termaktub dalam ayat ini.

Sejarah membuktikan bahwa ketika umat Islam mengabaikan Tafaqquh dan mengizinkan kebodohan merajalela di antara mereka, kekuatan militer dan kekayaan materi mereka dengan cepat runtuh. Sebaliknya, pada masa-masa kejayaan intelektual, ilmuwan dan ulama menjadi tiang penopang peradaban, mampu memimpin dunia dalam ilmu pengetahuan dan etika.

Oleh karena itu, kewajiban untuk memastikan keberadaan kelompok *Tā’ifah* yang bersemangat dalam Tafaqquh dan berkomitmen pada Indzar adalah tanggung jawab yang tidak dapat diganggu gugat bagi seluruh komunitas Muslim di mana pun mereka berada, hingga akhir zaman.

Tafaqquh fid-Din bukan sekadar kegiatan akademis; ia adalah strategi kelangsungan hidup spiritual dan peradaban. Dengan memahami dan melaksanakan semangat Surat At-Taubah ayat 122, umat Islam dapat menjaga diri mereka (Yahdharūn) dari segala bentuk bahaya, baik di dunia maupun di akhirat.

Wallahu a’lam bish-shawab.

XII. Mendalami Metodologi Tafaqquh: Ushul Fiqh sebagai Kunci

Untuk mencapai derajat *Tafaqquh* yang diinginkan oleh Surat At-Taubah ayat 122, seorang penuntut ilmu harus menguasai bukan hanya hasil akhir dari hukum (fikih), tetapi juga metodologi yang digunakan untuk menyimpulkan hukum tersebut, yang dikenal sebagai Ushul Fiqh (Prinsip-prinsip Jurisprudensi Islam). Ushul Fiqh adalah instrumen utama Tafaqquh.

Ayat 122 memberikan petunjuk bahwa kelompok yang tersisa tidak hanya sekadar duduk dan menghafal; mereka harus mampu memahami alasan di balik hukum. Jika mereka hanya sekadar menghafal, mereka tidak akan mampu menjalankan Indzar secara efektif ketika dihadapkan pada masalah-masalah baru yang tidak ada presedennya dalam teks (nass).

A. Pilar-Pilar Utama dalam Ushul Fiqh

Para ahli Tafaqquh harus menguasai bagaimana menggunakan dan menimbang sumber-sumber hukum:

  1. Al-Qur'an: Memahami *am* (umum), *khass* (khusus), *mutlaq* (absolut), *muqayyad* (terikat), dan bagaimana ayat yang satu mengklarifikasi ayat yang lain.
  2. As-Sunnah: Menganalisis sanad (rantai perawi) dan matan (isi hadis), membedakan antara hadis *mutawatir* (sangat masyhur) dan *ahad* (diriwayatkan oleh satu jalur), serta memahami konteks tindakan Nabi SAW.
  3. Ijma’ (Konsensus): Mengetahui kapan dan bagaimana konsensus ulama telah tercapai, yang menjadi otoritas hukum kedua setelah teks.
  4. Qiyas (Analogi): Kemampuan untuk menghubungkan kasus baru (far’) dengan kasus yang sudah diatur dalam teks (ashl) berdasarkan kesamaan illah (alasan hukum). Ini adalah kemampuan deduktif tertinggi yang diperlukan dalam Tafaqquh.

Ketika kelompok ahli kembali untuk Indzar, mereka dapat mengatakan, "Hukum untuk masalah X adalah haram/halal berdasarkan Qiyas dari ayat Y dan hadis Z, karena illahnya sama." Inilah yang menjadikan peringatan mereka berwibawa dan meyakinkan, mencapai tujuan *Yahdharūn*.

B. Maqashid Syariah (Tujuan Syariah) dan Tafaqquh

Tafaqquh yang sejati tidak hanya terpaku pada teks literal tetapi juga harus memahami *Maqashid Syariah*—tujuan universal dari hukum Islam. Tafaqquh adalah memahami bahwa semua hukum diturunkan untuk melindungi lima hal mendasar: Agama (Din), Jiwa (Nafs), Akal (Aql), Keturunan (Nasl), dan Harta (Mal).

Ketika kelompok yang kembali (setelah Tafaqquh) memberikan peringatan, mereka akan mampu menjelaskan mengapa sebuah hukum itu penting, tidak hanya bahwa ia wajib. Ini memberikan dimensi spiritual dan rasional pada Indzar, yang sangat penting untuk menarik hati masyarakat modern yang mencari makna di balik kepatuhan. Para ahli Tafaqquh bertugas memastikan bahwa interpretasi hukum melayani tujuan kebaikan tertinggi umat, bukan sebaliknya.

XIII. Kewajiban Intelektual dalam Konteks Minoritas Muslim

Implementasi Surat At-Taubah ayat 122 menjadi sangat kritis di kalangan komunitas Muslim yang tinggal di lingkungan minoritas (diaspora). Di sana, tantangan asimilasi, sekularisme, dan integrasi menuntut tingkat Tafaqquh yang lebih tinggi.

A. Fiqh Minoritas (Fiqh al-Aqalliyyat)

Kelompok *Tā’ifah* yang diutus untuk Tafaqquh dari komunitas minoritas harus mengkhususkan diri dalam Fiqh Minoritas. Mereka harus mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan spesifik yang jarang dibahas dalam literatur klasik yang dominan (misalnya, hukum kepemilikan properti dengan sistem riba di negara non-Muslim, hukum pernikahan campuran, atau pendidikan anak-anak di sekolah sekuler).

Indzar yang efektif dalam konteks minoritas adalah Indzar yang memberikan solusi hukum yang valid (berdasarkan Maqashid Syariah dan prinsip *rukhsah* atau keringanan) tanpa mengorbankan prinsip-prinsip dasar Islam. Mereka adalah ahli yang menyeimbangkan antara mempertahankan identitas keislaman dan kewarganegaraan yang bertanggung jawab.

B. Peran Indzar dalam Membentuk Identitas

Tugas Indzar kelompok ini adalah untuk memperingatkan kaumnya agar tidak kehilangan jati diri spiritual mereka, sambil menolak narasi-narasi ekstremis yang mungkin timbul akibat tekanan sosial. Mereka berfungsi sebagai jangkar intelektual, memastikan bahwa generasi muda Muslim memahami agama mereka sebagai sumber kearifan dan fleksibilitas, bukan sebagai beban atau isolasi.

Jika komunitas minoritas gagal mengutus *Tā’ifah* mereka untuk Tafaqquh, mereka berisiko diombang-ambingkan oleh da’i-da’i amatir yang tidak memiliki kedalaman fikih, yang dapat menyebabkan perpecahan atau radikalisasi yang berbahaya.

XIV. Sifat Kepemimpinan dari Ahli Tafaqquh

Ayat 122 tidak hanya menghasilkan ulama, tetapi juga menghasilkan pemimpin. Orang yang mampu memahami agama secara mendalam memiliki kualitas unik untuk memimpin masyarakat, karena kepemimpinan Islam pada dasarnya adalah kepemimpinan berbasis syariah.

A. Integritas dan Kualitas Pribadi

Seorang ahli Tafaqquh, yang ditugaskan untuk Indzar, harus memiliki integritas moral yang tinggi. Ilmu yang mendalam tanpa takwa dan etika (adab) hanya akan menjadi bumerang. Ulama yang kembali ke kaumnya harus menjadi teladan hidup dari ilmu yang mereka pelajari. Masyarakat akan lebih mungkin *Yahdharūn* (menjaga diri) jika mereka melihat bahwa pemimpin spiritual mereka sendiri mempraktikkan ajaran yang mereka sampaikan.

Oleh karena itu, proses Tafaqquh juga mencakup pendidikan jiwa (tazkiyah an-nafs), memastikan bahwa kelompok ahli tersebut adalah individu yang memiliki karakter yang kokoh, sabar, dan bijaksana dalam menyampaikan peringatan, sesuai dengan etika dakwah yang diajarkan oleh Nabi SAW.

B. Visi Jangka Panjang

Keputusan untuk meninggalkan medan perang demi ilmu adalah keputusan strategis yang berorientasi pada masa depan. Ini menunjukkan bahwa ahli Tafaqquh adalah visioner yang memikirkan kelangsungan umat di masa depan, bukan hanya krisis sesaat. Visi mereka adalah tentang membangun fondasi hukum dan spiritual yang akan bertahan lintas generasi.

Dalam konteks modern, ini berarti bahwa ulama hasil Tafaqquh harus terlibat dalam perencanaan sosial, pendidikan, dan ekonomi umat, memandu komunitas sesuai dengan prinsip-prinsip Maqashid Syariah, memastikan bahwa seluruh kegiatan kolektif Muslim selaras dengan kehendak Allah SWT.

Dengan demikian, Surat At-Taubah 122 adalah cetak biru untuk menciptakan kepemimpinan yang berakar pada ilmu, bertindak atas dasar hikmah, dan mengabdikan diri pada keselamatan spiritual seluruh komunitas Muslim, baik dalam masa damai maupun dalam masa-masa penuh gejolak. Tugas Tafaqquh dan Indzar adalah amanah terberat, namun paling fundamental, yang Allah bebankan pada segmen tertentu dari umat-Nya.

🏠 Homepage