Fondasi Perjuangan, Ketegasan, dan Keutamaan Taqwa
Surah At-Taubah, surah kesembilan dalam Al-Qur'an, dikenal dengan nuansa ketegasan dan penetapan hukum yang tegas, terutama berkaitan dengan hubungan antara komunitas Muslim dan pihak-pihak yang melanggar perjanjian. Ayat ke-123 dari surah ini merupakan perintah yang spesifik dan fundamental, yang mengarahkan perhatian umat beriman pada prioritas perjuangan dan pentingnya karakter dalam menghadapinya.
Ayat ini bukan sekadar perintah militer, melainkan sebuah instruksi strategis yang menyeluruh, mencakup penetapan target, cara bersikap, dan jaminan spiritual bagi keberhasilan. Fokus utama ayat ini terletak pada tiga pilar utama: prioritas target (orang-orang yang di sekitar), sifat yang harus ditampilkan (ketegasan), dan kondisi batin yang menjamin pertolongan Ilahi (takwa).
Surah At-Taubah diturunkan pada periode akhir kenabian, pasca peristiwa Perang Tabuk. Ini adalah masa penentuan di mana kekuatan umat Islam telah mapan, dan tatanan sosial serta politik di Jazirah Arab sedang dikonsolidasikan. Ayat-ayat dalam surah ini sering kali disebut sebagai 'Fawadih' (yang membuka kedok) karena mengungkap status perjanjian, membedakan antara mukmin sejati dan munafik, serta menetapkan garis batas yang jelas antara umat Islam dan musuh-musuh mereka.
Perintah قَاتِلُوا الَّذِينَ يَلُونَكُمْ مِنَ الْكُفَّارِ (Perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu) menetapkan prinsip strategi yang dikenal sebagai al-aqrab fa-al-aqrab (yang terdekat, kemudian yang lebih dekat). Secara historis, ini merujuk pada suku-suku Arab yang masih menentang atau kelompok-kelompok non-Muslim yang berbatasan langsung dengan wilayah kekuasaan Islam, seperti di perbatasan Syam atau Irak pada masa itu. Prinsip ini memiliki implikasi ganda:
Meskipun ayat ini memiliki konteks militer yang jelas, para ulama tafsir kontemporer sering meluaskan maknanya. Musuh terdekat tidak selalu harus berupa pasukan bersenjata di perbatasan. Dalam konteks perjuangan moral dan spiritual (Jihad Akbar), musuh terdekat adalah kelemahan internal dan hawa nafsu yang bersemayam dalam diri kita sendiri. Jika seseorang tidak mampu mengalahkan kemalasan, egoisme, atau sifat buruk yang ada dalam dirinya, bagaimana mungkin ia dapat memberikan pengaruh positif kepada masyarakat yang lebih luas?
Musuh terdekat juga dapat diartikan sebagai masalah sosial atau kerusakan moral yang paling dekat dengan komunitas Muslim—seperti kemiskinan akut di lingkungan sendiri, atau penyebaran fitnah dan kerusakan etika di sekitar kita. Ayat ini mengajarkan bahwa sebelum kita mencoba "memperbaiki dunia", kita harus membersihkan halaman rumah kita sendiri. Kegagalan untuk fokus pada yang terdekat sering kali menyebabkan energi dan sumber daya terbuang sia-sia untuk masalah yang jauh dan di luar kendali langsung kita.
Kajian mendalam terhadap frasa يَلُونَكُمْ (di sekitar kamu) menunjukkan pentingnya kewaspadaan yang terus-menerus terhadap ancaman yang laten. Ancaman yang dekat adalah ancaman yang paling mungkin bertransformasi menjadi bahaya nyata dalam waktu singkat. Kewajiban untuk memerangi mereka menunjukkan bahwa keberadaan musuh yang mengancam stabilitas iman dan negara tidak boleh diabaikan, melainkan harus ditangani dengan segera dan tegas.
Pilar kedua dari ayat ini adalah instruksi: وَلْيَجِدُوا فِيكُمْ غِلْظَةً (dan hendaklah mereka merasakan kekerasan/ketegasan daripadamu). Kata kunci di sini adalah ghilzah (غِلْظَة), yang diterjemahkan sebagai kekerasan, ketegasan, atau kekejaman yang diperlukan. Namun, penting untuk memahami bahwa ini harus dibedakan dari kekejaman yang melampaui batas atau kezaliman.
SVG 1: Perisai Ketegasan (Al-Ghilzah)
Ketegasan (Ghilzah) adalah disiplin dan keteguhan yang ditunjukkan untuk menghadapi musuh yang mengancam.
Ghilzah adalah lawan dari lin (kelembutan). Ayat ini mengajarkan bahwa dalam berinteraksi dengan musuh yang bertujuan merusak, umat Islam tidak boleh menunjukkan kelemahan, keraguan, atau sikap lunak yang dapat dieksploitasi. Ketegasan di sini mencakup:
Para mufassir menekankan bahwa ghilzah ini harus ditujukan kepada musuh yang memerangi, bukan kepada mereka yang damai atau yang mencari perlindungan. Ayat ini melengkapi perintah lain yang memerintahkan keadilan bahkan terhadap musuh, namun menekankan bahwa kelembutan (yang diperintahkan dalam konteks dakwah dan internal) harus diimbangi dengan ketegasan yang diperlukan ketika menghadapi agresi.
Konsep ghilzah sangat relevan dalam konteks kepemimpinan. Seorang pemimpin harus memiliki ketegasan dalam membuat keputusan yang sulit, terutama yang berkaitan dengan perlindungan komunitas. Keraguan atau kelemahan seorang pemimpin di hadapan ancaman akan meruntuhkan moral seluruh pasukannya. Ketegasan memastikan bahwa batasan-batasan hukum dan moral dihormati, baik oleh pihak luar maupun oleh anggota komunitas itu sendiri.
Jika dalam konteks dakwah dan interaksi dengan sesama mukmin, Al-Qur'an memerintahkan Nabi Muhammad ﷺ untuk bersikap lemah lembut (misalnya, QS. Ali Imran: 159), dalam konteks pertahanan dan menghadapi agresi, perintahnya adalah menunjukkan ghilzah. Ini menunjukkan keseimbangan ajaran Islam: kelembutan adalah dasar interaksi internal dan dakwah, sedangkan ketegasan adalah prasyarat keberlangsungan dan perlindungan ketika menghadapi musuh yang nyata. Kelembutan pada musuh yang agresif dapat diartikan sebagai kelalaian, sementara ketegasan pada saat yang tidak tepat dapat menjadi kezaliman.
Ketegasan adalah cerminan dari kesiapan spiritual dan material. Ketika musuh 'merasakannya' (وَلْيَجِدُوا فِيكُمْ), ini berarti bukan hanya retorika kosong, melainkan sebuah realitas yang terlihat dalam tindakan, organisasi, disiplin, dan keutuhan moral komunitas Muslim. Ketegasan harus menghasilkan rasa hormat, bukan sekadar ketakutan yang sesaat.
Implikasi psikologis dari ghilzah sangat besar. Ketika musuh terdekat melihat bahwa umat beriman memiliki pendirian yang teguh, disiplin yang tinggi, dan kesiapan untuk berkorban tanpa gentar, hal ini secara alami akan melemahkan tekad mereka untuk menyerang atau mencoba memanfaatkan situasi. Perjuangan itu sendiri menuntut adanya hati yang keras terhadap ketakutan dan kompromi yang merusak prinsip dasar.
Oleh karena itu, perjuangan yang diperintahkan dalam ayat ini, baik secara fisik maupun moral, harus dilaksanakan dengan hati yang mantap. Ketegasan adalah manifestasi luar dari keyakinan batin. Tanpa ketegasan, upaya perjuangan, betapapun besar sumber daya yang dikerahkan, akan runtuh karena kurangnya fondasi mental dan moral yang kuat. Memperjuangkan kebenaran selalu memerlukan keberanian untuk bersikap tidak populer dan tidak kompromistis terhadap penyimpangan, dan inilah esensi ghilzah dalam makna yang lebih luas.
Ayat ini ditutup dengan kalimat penegas yang menjadi kunci spiritualitas dan keberhasilan abadi: وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ (dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa). Penutup ini bukanlah sekadar dorongan moral, melainkan penetapan syarat mutlak bagi pertolongan Allah (Ma'iyyah Ilahiyyah).
Mengapa ayat ini, yang berfokus pada strategi militer dan ketegasan karakter, ditutup dengan penekanan pada takwa? Karena perjuangan fisik dan ketegasan moral tidak akan berarti tanpa fondasi spiritual yang benar.
SVG 2: Hati yang Bertakwa (Al-Muttaqin)
Taqwa adalah fondasi spiritual yang menarik pertolongan Allah dalam setiap perjuangan.
Ma'iyyah (kebersamaan) Allah ada dua jenis:
Perintah untuk 'mengetahui' (وَاعْلَمُوا) menekankan bahwa kebersamaan Allah bukanlah dugaan, melainkan kepastian yang harus tertanam kuat dalam hati. Keyakinan inilah yang menjadi kekuatan tak terkalahkan yang memungkinkan umat beriman untuk menunjukkan ghilzah yang diperlukan di medan perjuangan, karena mereka tahu bahwa mereka tidak pernah sendirian.
Terdapat hubungan sebab-akibat yang erat dalam tiga bagian ayat ini:
Jika fondasi takwa goyah, ketegasan akan berubah menjadi kezaliman, dan perjuangan akan berubah menjadi ekspansi nafsu. Sebaliknya, jika takwa kuat, ketegasan akan menjadi alat untuk menegakkan keadilan dan melindungi kebenaran, bahkan di tengah peperangan paling dahsyat sekalipun.
Ayat ini menekankan bahwa perjuangan (Jihad) adalah sebuah proses yang berkelanjutan, bukan hanya satu peristiwa. Setelah menyelesaikan urusan dengan satu musuh, perhatian harus segera dialihkan kepada musuh terdekat berikutnya. Prinsip ini memastikan bahwa komunitas Muslim senantiasa berada dalam kondisi siap siaga, baik secara militer, ekonomi, maupun moral.
Kondisi siap siaga ini memerlukan investasi besar dalam pembangunan umat, yang mencakup:
Jika kita menafsirkan al-kuffār sebagai ‘mereka yang menutup diri dari kebenaran’, maka perjuangan melawan kuffar yang dekat dapat berarti melawan ideologi materialisme, hedonisme, atau sekularisme yang paling dominan di lingkungan sosial kita, yang secara aktif berusaha ‘menutup’ masyarakat dari nilai-nilai spiritual dan moral. Ketegasan (ghilzah) di sini berarti menunjukkan pendirian yang tidak tergoyahkan dalam berpegang teguh pada prinsip, meskipun harus berenang melawan arus budaya yang kuat.
Pada masa penurunannya, perintah ini sangat relevan untuk menghadapi kekuatan-kekuatan regional besar. Setelah Nabi Muhammad ﷺ berhasil mengamankan Jazirah Arab, fokus segera dialihkan kepada musuh yang berdekatan yang berpotensi menyerang, yaitu Kekaisaran Romawi (Bizantium) di utara dan Kekaisaran Persia di timur. Ayat ini memberikan legitimasi dan dorongan moral bagi ekspedisi-ekspedisi yang bertujuan mengamankan perbatasan dari serangan balik yang masif. Tanpa pengamanan perbatasan, setiap pencapaian di pusat akan menjadi sia-sia.
Analisis ini menguatkan bahwa strategi dalam Islam selalu mempertimbangkan konteks geografis dan politik. Perjuangan harus dimulai dari titik di mana ancaman paling mungkin muncul, bukan dari titik yang paling menarik perhatian publik atau media. Prioritas harus selalu diletakkan pada fondasi yang kokoh, yaitu lingkungan terdekat yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari umat.
Perintah Qātilū (perangilah/berjuanglah) dalam bentuk jamak menunjuk pada kewajiban kolektif, namun dampaknya dimulai dari tanggung jawab individu. Siapa musuh yang 'di sekitar' seorang Muslim yang tinggal di masyarakat damai? Musuh utamanya adalah kemaksiatan yang ia saksikan dan ia toleransi di lingkungannya sendiri. Perjuangan di sini adalah amar ma'ruf nahi munkar—memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran—yang paling efektif dilakukan dalam lingkaran terdekat (keluarga, tetangga, komunitas). Seseorang harus menunjukkan ghilzah (ketegasan) terhadap maksiat yang menggerogoti moral keluarganya sendiri, sebelum ia berbicara tentang isu-isu global.
Ketegasan di sini diterjemahkan sebagai integritas moral yang tidak dapat ditawar. Jika seorang Muslim tidak teguh dalam mempertahankan shalatnya, puasanya, atau kejujurannya di hadapan godaan dunia, maka ia telah gagal dalam memerangi musuh terdekatnya. Gagalnya perjuangan internal ini akan membuatnya tidak layak mendapatkan kebersamaan Allah (Ma'iyyah Khassah), sehingga otomatis menghilangkan prasyarat kemenangan sejati.
Seorang Muslim harus menjadi benteng yang kokoh, di mana orang-orang kafir yang di sekitarnya, dalam arti orang-orang yang menolak kebenaran, akan merasakan bahwa kebatilan mereka tidak akan mendapatkan tempat atau toleransi. Rasa ketegasan ini adalah cerminan dari otoritas moral dan spiritual yang dimiliki oleh komunitas yang hidup di atas dasar ketakwaan yang kuat.
Di era modern, peperangan tidak selalu terjadi dengan pedang, tetapi seringkali melalui media, ekonomi, dan perang ideologi (ghazwul fikr). Ayat At-Taubah 123 memberikan panduan bagaimana menghadapi tantangan ini:
Kegagalan dalam menerapkan ghilzah kontemporer terlihat jelas ketika umat Islam menjadi konsumen pasif dari produk budaya yang merusak, atau ketika mereka dengan mudah menerima standar etika yang bertentangan dengan ajaran agama hanya demi keuntungan sosial atau ekonomi. Ketegasan harus menjadi ciri khas komunitas beriman dalam memegang identitasnya.
Keseluruhan pesan dari ayat ini adalah bahwa ketegasan (ghilzah) bukanlah hasil dari emosi atau kemarahan, tetapi produk sampingan dari takwa. Orang yang bertakwa tidak takut pada siapa pun kecuali Allah, dan oleh karena itu, ia mampu bertindak dengan ketegasan yang adil dan benar. Sebaliknya, orang yang tidak bertakwa, meskipun secara lahiriah terlihat kuat, akan mudah goyah dan kompromi ketika berhadapan dengan tekanan yang lebih besar.
Taqwa menciptakan keberanian batin yang diperlukan untuk melawan arus. Ia memberikan perspektif jangka panjang (Akhirat), yang membuat kerugian duniawi (misalnya, kehilangan dukungan finansial, dikucilkan secara sosial) terasa kecil dibandingkan dengan kerugian spiritual. Inilah mengapa takwa adalah satu-satunya prasyarat yang dapat menjamin kebersamaan Allah, yang pada gilirannya adalah sumber kekuatan yang tak terbatas.
Ayat ini menetapkan model perjuangan yang dinamis dan berjenjang. Setelah satu 'lingkaran' musuh terdekat selesai ditangani, fokus segera beralih ke lingkaran berikutnya yang kini menjadi 'yang terdekat'. Ini adalah blueprint untuk kemajuan dan reformasi yang berkelanjutan. Masyarakat Muslim harus terus mengevaluasi ancaman terdekatnya, baik itu buta huruf, korupsi, atau ancaman eksistensial lainnya, dan menangani setiap masalah dengan ketegasan yang didasarkan pada takwa.
Sikap ini mengharuskan adanya introspeksi diri yang mendalam. Kapan kita menunjukkan kelalaian? Kapan kita menunjukkan kelemahan? Setiap kelalaian adalah celah yang dapat dimasuki oleh 'musuh terdekat'. Oleh karena itu, jihad dalam konteks ayat 123 ini adalah sebuah perintah untuk hidup dalam keadaan perbaikan diri, perbaikan komunitas, dan pertahanan yang aktif.
Ayat ini sering kali disalahpahami jika dipisahkan dari keseluruhan ajaran Al-Qur'an. Ketegasan yang diminta dalam ayat 123 ini tidak membatalkan perintah rahmatan lil 'alamin. Justru, rahmat sejati hanya dapat ditegakkan jika ada sistem yang kuat untuk melindungi nilai-nilai tersebut. Jika keadilan dan kedamaian tidak dilindungi dengan ketegasan yang memadai, maka anarki dan kezalimanlah yang akan berkuasa, dan itu adalah antitesis dari rahmat.
Dalam sejarah Islam, ketegasan selalu diimbangi oleh keadilan. Contohnya adalah bagaimana para sahabat memperlakukan penduduk yang dikalahkan: mereka menunjukkan ketegasan dalam pertempuran dan negosiasi, tetapi setelah kemenangan, mereka menunjukkan keadilan yang tak tertandingi, sebagaimana disaksikan oleh para sejarawan, yang mana ini adalah hasil langsung dari fondasi takwa. Ketegasan tanpa takwa adalah tirani, tetapi takwa tanpa ketegasan pada saat krisis adalah kelemahan yang membahayakan seluruh komunitas.
Penerapan komprehensif dari ayat 123 ini menuntut kesadaran bahwa hidup seorang Muslim adalah perjalanan perjuangan yang tiada henti, baik melawan musuh yang terlihat maupun musuh yang tidak terlihat. Fokus yang terarah (yang terdekat), sikap yang berani (ketegasan), dan niat yang bersih (takwa) adalah resep yang abadi untuk meraih keberhasilan sejati di dunia dan akhirat. Seluruh energi umat harus difokuskan dan tidak disia-siakan, dan inilah hikmah strategis di balik perintah untuk memerangi musuh yang ‘di sekitar kamu’.
Musuh yang paling dekat adalah ujian terbesar karena mereka mengenal kelemahan kita, batas-batas kita, dan potensi eksploitasi yang ada dalam sistem kita. Menghadapi musuh terdekat membutuhkan pengetahuan mendalam tentang diri sendiri dan lingkungan. Ketegasan yang diperlukan haruslah didukung oleh kecerdasan dan perencanaan yang matang, bukan sekadar respons emosional. Ketegasan yang dilahirkan dari takwa adalah ketegasan yang bijaksana dan terukur, selalu bertujuan untuk mencapai keadilan Ilahi.
Kita harus menyadari bahwa panggilan untuk berjuang ini mencakup spektrum luas—mulai dari mempertahankan keimanan pribadi di tengah gelombang keraguan (musuh terdekat diri sendiri), hingga mempertahankan komunitas dari infiltrasi ideologi yang merusak (musuh terdekat sosial). Dalam setiap arena, kemenangan hakiki hanya datang melalui komitmen yang tak tergoyahkan terhadap prinsip-prinsip ketakwaan, yang pada akhirnya akan menghasilkan kebersamaan Allah yang istimewa.
Perjuangan ini menuntut integritas yang total. Tidak boleh ada setengah hati dalam melaksanakan perintah ini. Ketegasan yang diminta Allah haruslah menyeluruh, mencakup setiap aspek kehidupan, sehingga tidak ada celah bagi kebatilan untuk menyusup dan mengambil alih. Ketika umat menunjukkan ketegasan moral dan spiritual ini secara konsisten, barulah mereka layak menjadi penerima pertolongan dan kebersamaan Allah, yang merupakan janji yang pasti bagi orang-orang yang bertakwa.
Kewaspadaan harus dimulai dari lingkup terkecil. Sebagaimana seorang panglima perang tidak akan tenang jika ada pos perbatasan yang lemah, seorang Muslim tidak boleh tenang jika ada celah dalam benteng keimanannya sendiri atau benteng keluarganya. Inilah pelajaran krusial dari strategi al-aqrab fa-al-aqrab, memastikan bahwa fondasi selalu kokoh, dan bahwa ketegasan (ghilzah) menjadi ciri khas yang dikenali oleh semua, baik teman maupun lawan.
Tanpa fondasi takwa, ketegasan dapat menjadi arogansi atau kezaliman. Tetapi, dengan takwa sebagai akarnya, ketegasan menjadi manifestasi dari keadilan dan keberanian yang diperlukan untuk melindungi kebenaran. Dan pada akhirnya, kepastian janji أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ adalah motivasi tertinggi dan jaminan spiritual yang tak tertandingi.
Setiap Muslim harus secara periodik bertanya: Siapa atau apa musuh terdekat yang mengancam keimanan dan masa depan spiritual saya saat ini? Jika itu adalah kelalaian dalam ibadah, maka ghilzah harus diterapkan pada diri sendiri untuk mendisiplinkan diri. Jika itu adalah pengaruh buruk dari pergaulan atau media sosial, maka ghilzah harus diterapkan dalam bentuk pemutusan hubungan dan penarikan diri yang tegas. Perjuangan ini adalah cermin dari seberapa serius kita dalam mencari kebersamaan Allah.
Ketegasan ini juga harus diterjemahkan ke dalam kebijakan dan sikap publik yang jelas. Dalam menghadapi isu-isu moral yang kritis, komunitas Muslim harus bersuara dengan satu suara yang tegas dan jelas, tidak ragu-ragu karena takut kehilangan popularitas atau keuntungan materi. Ketegasan ini adalah wujud ketaatan kepada perintah Ilahi dalam Surah At-Taubah ayat 123.
Kita menutup kajian ini dengan penegasan kembali bahwa ayat 123 adalah panggilan untuk menjadi komunitas yang kuat, terorganisir, berorientasi strategis, dan berlandaskan spiritualitas yang mendalam. Kunci keberhasilan, baik dalam menghadapi tantangan yang paling dekat maupun yang paling jauh, terletak pada kualitas batin dan ketegasan moral yang diwujudkan melalui takwa.
Perjuangan melawan musuh-musuh terdekat merupakan sebuah jihad yang tak pernah berakhir, memastikan bahwa umat Islam senantiasa berada di jalur kebenaran dan keadilan, di mana pertolongan Allah selalu menyertai mereka yang teguh dalam takwa.
Oleh karena itu, kewajiban untuk memerangi dan berjuang harus dipahami secara menyeluruh. Ini bukan hanya tentang kemenangan di medan tempur, tetapi tentang kemenangan atas diri sendiri dan penegakan kebenaran di lingkungan terdekat. Hanya dengan fondasi takwa yang kuatlah, ketegasan (ghilzah) dapat menjadi kekuatan konstruktif dan pelindung, bukan kekuatan destruktif. Perjuangan untuk meraih kebersamaan Allah (Ma'iyyah Khassah) adalah puncak dari semua upaya yang dilakukan oleh orang-orang yang beriman.