Ilustrasi hati yang semakin mengeras dan tertutup dari petunjuk wahyu, sebagaimana dijelaskan dalam QS At-Taubah 125.
Surat At-Taubah, yang dikenal dengan nama 'Bara’ah' karena tidak diawali dengan Basmalah, merupakan salah satu surat yang paling tegas dalam Al-Qur'an terkait pembedaan antara kaum mukminin sejati dan kaum munafikin. Ayat 125 khususnya, datang sebagai penegasan yang sangat keras mengenai nasib dan sifat dasar mereka yang memiliki penyakit keraguan di dalam hati.
Ayat ini berfungsi sebagai cermin ilahi yang memisahkan dua kelompok besar ketika wahyu diturunkan: mereka yang imannya bertambah, dan mereka yang kekotorannya semakin berlipat. Ini adalah hukum spiritual yang mutlak. Ketika suatu ujian, atau bahkan suatu petunjuk baru dari langit datang, ia tidak akan meninggalkan seseorang dalam keadaan netral. Petunjuk tersebut berfungsi sebagai katalis; ia memperkuat apa yang sudah ada di dalam hati seseorang. Jika hati itu sehat, petunjuk menambah cahaya. Jika hati itu sakit, petunjuk menambah beban penyakit dan keraguan.
Konteks historis penurunan surat ini sebagian besar terkait dengan periode pasca-Perang Tabuk, di mana munafikin menunjukkan wujud asli mereka secara terbuka, mulai dari mencari-cari alasan untuk tidak ikut berperang, hingga membangun masjid yang bertujuan memecah belah kaum Muslimin (Masjid Dhirar). Oleh karena itu, Allah SWT mengungkap tabir hati mereka secara rinci, menjelaskan bahwa setiap wahyu baru yang datang justru menjadi siksaan dan bahan bakar bagi penyakit hati mereka.
Memahami ayat ini memerlukan pembedahan pada tiga frasa kunci: *fī qulūbihim maraḍun* (penyakit dalam hati), *zādathum rijsan ilā rijsihim* (menambah kekotoran/kekafiran), dan *mātū wa hum kāfirūn* (mereka mati dalam keadaan kafir).
Penyakit yang dimaksud di sini bukanlah penyakit fisik, melainkan penyakit spiritual yang identik dengan nifaq (kemunafikan) dan syakk (keraguan). Penyakit ini adalah kondisi hati yang tidak menerima kebenaran secara utuh, selalu berada di ambang antara iman dan kekafiran. Orang yang hatinya sakit mungkin melakukan amal kebaikan, tetapi motivasi dasarnya tercemar oleh kepentingan duniawi, ketakutan sosial, atau ambisi pribadi.
Penyakit hati ini memiliki lapisan-lapisan. Lapisan terluar mungkin tampak seperti ketidakpatuhan ringan, namun di kedalaman intinya, penyakit itu adalah ketiadaan ketenangan total terhadap janji Allah dan rasul-Nya. Ketika ayat-ayat Al-Qur'an diturunkan, khususnya ayat yang mengandung perintah berat atau ancaman, hati yang sakit ini merespons dengan kecemasan, penolakan, atau keinginan untuk memutarbalikkan makna wahyu, yang semuanya merupakan gejala dari 'maraḍun'.
Ketidakmampuan hati munafik untuk merasa tenang di bawah naungan wahyu adalah kunci utama penyakit ini. Mereka melihat Islam sebagai suatu beban, bukan rahmat. Mereka melihat perintah sebagai pengikat, bukan pembebasan. Ini adalah bentuk penyakit skeptisisme yang kronis, di mana setiap bukti yang disajikan hanya menghasilkan pertanyaan baru yang bertujuan membantah, alih-alih menerima petunjuk dengan kerendahan hati.
Penyakit ini, jika dibiarkan tanpa penawar taubat yang jujur, akan menjadi keadaan permanen yang menghalangi masuknya nur (cahaya) ilahi. Mereka hidup dalam kegelapan yang disengaja, memilih untuk memelihara keraguan daripada mencari kepastian, karena kepastian menuntut komitmen yang tidak ingin mereka berikan.
Kata Rijsun (رجس) memiliki makna yang kuat dan multidimensi, merujuk pada: kotoran, najis, siksa, perbuatan keji, dan yang paling relevan di sini, kekafiran, keraguan, atau syirik. Ayat ini secara eksplisit menyatakan bahwa penurunan surat-surat Al-Qur'an (atau ayat-ayat tertentu) justru menambah *rijsun* mereka yang sudah ada.
Bagaimana mungkin wahyu yang suci justru menambah kekotoran seseorang? Para mufassir menjelaskan bahwa hal ini terjadi melalui mekanisme pengungkapan dan pengerasan (istidraj):
Peningkatan *rijsun* ini merupakan proses eskalasi spiritual. Awalnya hanya keraguan kecil (rijsun 1), namun ketika datang perintah yang jelas (misalnya perintah infaq atau jihad), mereka ragu dan enggan menaati. Keraguan ini menciptakan dosa baru dan kekotoran baru (rijsun 2). Rijsun 1 + Rijsun 2 membuat hati semakin sulit menerima kebenaran berikutnya, dan seterusnya, hingga kekotoran itu menumpuk dan menjadi totalitas yang disebut kekafiran (*kufr*).
Hal ini menunjukkan betapa krusialnya respons awal terhadap petunjuk. Respon yang salah pada satu titik dapat membangun fondasi penolakan yang tak tergoyahkan di masa depan. *Rijsun ilā rijsihim* adalah siklus negatif yang memakan dirinya sendiri, didorong oleh hati yang tidak jujur sejak awal.
Frasa penutup ini adalah vonis yang paling mengerikan. Ini bukan hanya ancaman, tetapi pernyataan tentang takdir yang pasti bagi mereka yang memelihara penyakit hati hingga akhir hayat. Kematian mereka adalah finalisasi dari proses peningkatan *rijsun* yang telah mereka pilih sendiri.
Mereka mungkin secara lahiriah tampak sebagai bagian dari komunitas Muslim, mereka shalat, puasa, dan bahkan berjihad (seperti beberapa munafikin di masa Nabi), namun karena inti hati mereka adalah penolakan dan keraguan yang terus meningkat, akhir hayat mereka menjadi cerminan dari keadaan batin mereka yang sebenarnya: mati dalam kekafiran yang tersembunyi.
Pernyataan ‘mati dalam keadaan kafir’ menegaskan bahwa amal lahiriah tidak akan menyelamatkan seseorang jika aqidah batiniahnya dipenuhi penyakit kronis. Kemunafikan adalah salah satu bentuk kekafiran yang paling berbahaya karena ia menipu bukan hanya orang lain, tetapi juga diri sendiri. Ketika sakaratul maut datang, semua kepalsuan terkelupas, dan yang tersisa hanyalah substansi kekafiran yang telah lama dipupuk.
Kondisi fatal ini menjadi peringatan keras bagi setiap individu yang mungkin merasakan benih keraguan (syakk) tumbuh di dalam dirinya. Ayat ini mengajarkan bahwa keraguan harus segera diberantas dengan keimanan sejati (yaqin), sebab membiarkan benih keraguan adalah sama dengan membiarkan kanker spiritual yang pasti akan merenggut kehidupan iman ketika ajal menjemput.
Ayat 125 dari Surat At-Taubah tidak dapat dipahami sepenuhnya tanpa melihat kontrasnya dengan ayat sebelumnya (ayat 124):
Ayat 124 dan 125 menyajikan dikotomi sempurna dalam merespons wahyu:
Perbedaan respons ini menunjukkan bahwa Al-Qur'an adalah pedang bermata dua; ia menyembuhkan hati yang sehat, tetapi meracuni hati yang sakit. Wahyu adalah zat kimia spiritual yang hanya berinteraksi sesuai dengan materi dasar hati yang ditemuinya. Jika materi dasarnya adalah kejujuran dan penerimaan, hasilnya adalah pertumbuhan. Jika materi dasarnya adalah skeptisisme dan kepalsuan, hasilnya adalah disintegrasi spiritual dan pengerasan.
Ini menekankan konsep bertambah dan berkurangnya iman (Yazīd wa Yanqus). Bagi mukmin sejati, setiap peristiwa, musibah, atau penurunan ayat harus menghasilkan penambahan iman. Bagi munafik, setiap peristiwa hanya memperburuk kondisi spiritual mereka, mengukir lebih dalam jejak kegelapan dalam jiwa mereka.
Meskipun ayat ini ditujukan kepada munafikin di Madinah, ajarannya bersifat universal dan sangat relevan dalam konteks spiritualitas modern. Penyakit hati yang dimaksud dalam ayat 125 dapat bermanifestasi dalam berbagai bentuk hari ini:
Ketika hukum atau perintah Islam yang jelas (syariat) dibacakan, hati yang sakit akan meresponsnya dengan penolakan atau upaya rasionalisasi yang bertujuan untuk menanggalkan hukum tersebut dari konteksnya. Misalnya, ketika ayat tentang keadilan ekonomi dibacakan, mereka yang hatinya sakit akan merasa terancam secara materi, dan ancaman ini akan menambah kebencian mereka terhadap perintah tersebut (*rijgs*).
Setiap penolakan terhadap hukum yang jelas, bukan karena ketidaktahuan, tetapi karena kebencian atau kesombongan, adalah peningkatan *rijsun*. Mereka terus mencari justifikasi filosofis atau ilmiah untuk menolak kebenaran mutlak yang sudah terbukti, dan pencarian ini hanya menghasilkan akumulasi keraguan dan kekafiran yang semakin tebal.
Di era modern, banyak orang menampilkan citra religius di media sosial atau lingkungan sosial, namun di balik layar, mereka melanggar prinsip-prinsip dasar keimanan. Ketika datang peringatan keras dari Al-Qur'an tentang dosa-dosa tersembunyi (seperti dusta, ghibah, atau korupsi), bukannya bertaubat, mereka justru meningkatkan penampilan religius mereka sebagai tameng. Tindakan ini—menggunakan ibadah sebagai topeng—adalah peningkatan *rijsun*, karena mereka semakin jauh dari kejujuran batiniah yang dituntut oleh wahyu.
Semakin banyak Al-Qur'an berbicara tentang kejujuran dan ketulusan, semakin cemas dan semakin keras hati seorang munafik modern mencoba menyembunyikan kebusukan batinnya, sehingga keraguan dan kepalsuan itu semakin membatu di dalam dirinya.
Penyakit hati juga bermanifestasi sebagai krisis identitas spiritual. Mereka ingin berada di antara dua dunia: menikmati kebebasan tanpa batas dari kekafiran, namun juga menginginkan jaminan keselamatan dari keimanan. Ketika ayat Al-Qur'an menuntut batasan yang jelas, mereka mengalami penderitaan batin, dan penderitaan ini, alih-alih mendorong taubat, justru mendorong mereka lebih dalam ke jurang keraguan dan penentangan.
Ini adalah siklus spiritual yang sangat berbahaya. Ketidaknyamanan yang ditimbulkan oleh kebenaran sering kali disalahartikan sebagai alasan untuk menolak kebenaran itu. Inilah yang diabadikan oleh At-Taubah 125: penyakitnya ada di dalam diri mereka, dan wahyu hanya berfungsi untuk mematangkan penyakit tersebut, membawanya ke tingkat akhir yang tidak dapat diubah.
Beberapa mungkin mempertanyakan, mengapa Allah membiarkan wahyu menambah kekafiran mereka? Jawabannya terletak pada konsep keadilan dan pilihan bebas (ikhtiyar).
Perlu ditekankan bahwa peningkatan *rijsun* ini bukan hukuman tanpa alasan. Hukuman ini adalah hasil dari pilihan awal mereka. Mereka telah memilih untuk memelihara penyakit keraguan (nifaq) dan menolak untuk menyucikan hati mereka. Peningkatan kekotoran adalah konsekuensi logis dan alami dari penolakan mereka yang berulang kali terhadap cahaya dan petunjuk. Allah hanya mengukuhkan apa yang telah dipilih oleh hamba-Nya.
Al-Qur'an menjelaskan di tempat lain bahwa Allah menutup hati orang-orang yang melanggar batas (Yunus: 74). Ini bukan penutupan sewenang-wenang, melainkan tindakan keadilan setelah mereka secara konsisten menunjukkan ketidaklayakan mereka untuk menerima cahaya petunjuk. Ketika hati itu terbukti secara fundamental menolak kebenaran, maka kebenaran yang datang justru menjadi bukti pemberat terhadap mereka.
Dalam ilmu spiritualitas, ada hukum akumulasi. Dosa-dosa kecil, jika tidak ditaubati, akan menumpuk dan menjadi hijab yang tebal. Dalam kasus munafikin, setiap penurunan surat adalah peluang untuk bertaubat, namun karena mereka memilih untuk mencemooh atau meragukannya, setiap peluang yang hilang itu menumpuk sebagai lapisan kekotoran baru. Ini adalah azab progresif yang disebabkan oleh kehendak bebas manusia untuk menolak.
Para ulama tafsir menjelaskan bahwa proses penambahan kekafiran ini adalah bagian dari ‘Sunnatullah’ (ketentuan Allah) bagi orang-orang yang ingkar. Mereka yang hatinya keras, semakin diperdengarkan ayat-ayat rahmat, justru semakin merasa terasing dan marah, karena rahmat itu menuntut mereka untuk berubah, sesuatu yang sangat mereka tolak. Dengan demikian, wahyu yang seharusnya membawa kesembuhan, bagi mereka menjadi racun yang menguatkan penyakitnya.
Ini adalah suatu konsep yang mendalam mengenai pertanggungjawaban personal. Manusia bertanggung jawab atas kondisi hatinya. Jika ia memilih penyakit, maka pengobatan terkeras pun hanya akan mempercepat kematian spiritualnya, karena ia telah memutuskan untuk menolak obat tersebut.
Untuk memahami kedalaman ayat 125, kita harus memperluas pembahasan mengenai arti kata *Rijsun* (kekotoran) dan bagaimana ia bermanifestasi dalam kehidupan seorang munafik hingga mencapai titik kematian dalam kekafiran.
Para ahli bahasa Arab dan mufassir telah mengidentifikasi beberapa jenis *rijsun* yang mungkin dimaksud dalam konteks kemunafikan ini, dan setiap jenis saling melengkapi dalam memperburuk keadaan spiritual individu:
Ini adalah bentuk *rijsun* yang paling fundamental, yaitu keraguan, syirik, atau kekafiran. Ketika surat baru diturunkan, ia mengandung perintah atau kisah yang menguatkan akidah tauhid. Bagi munafik, ini menambah beban akidah, karena mereka harus pura-pura menerima lebih banyak hal yang tidak mereka yakini. Akibatnya, kekafiran tersembunyi mereka semakin kuat, karena mereka terus-menerus memproduksi justifikasi batin untuk penolakan mereka.
Sebagai contoh, ketika Al-Qur'an menjelaskan tentang hari kiamat dengan detail baru, seorang mukmin akan semakin yakin dan takut kepada Allah. Seorang munafik akan meragukan detail tersebut dan menganggapnya sebagai hiperbola, dan keraguan terhadap satu detail ini akan menambah lapisan kekafiran pada keraguan mereka yang sudah ada terhadap kiamat secara keseluruhan. Inilah esensi dari peningkatan kekotoran akidah.
*Rijsun* juga merujuk pada dosa-dosa dan perbuatan keji. Munafikin, karena lemahnya akidah mereka, cenderung lebih mudah terjerumus dalam dosa. Ketika suatu surat diturunkan yang melarang perbuatan tertentu (misalnya, bergunjing atau sumpah palsu), munafikin merasa terpojok. Karena mereka tidak jujur di awal, mereka mungkin merespons larangan itu dengan melakukan dosa yang lebih besar untuk menutupi dosa sebelumnya, atau mereka melakukan larangan itu dengan niat yang buruk.
Misalnya, jika mereka diperintahkan untuk berinfak, mereka berinfak dengan riya’ (pamer). Riya’ ini adalah *rijsun* baru yang ditambahkan pada kekikiran batin mereka. Ini adalah perbuatan yang secara lahiriah saleh, namun intinya kotor, sehingga meningkatkan totalitas kekotoran (dosa) yang ada di dalam catatan mereka.
Beberapa mufassir menafsirkan *rijsun* di sini sebagai azab atau siksa. Dengan turunnya wahyu, janji dan ancaman siksa menjadi lebih jelas. Bagi munafik, setiap ancaman ini menambah rasa takut yang tidak mereka tanggapi dengan taubat, melainkan dengan semakin besar penentangan dan kekerasan hati. Dalam pandangan ini, peningkatan *rijsun* adalah peningkatan siksaan batin yang mereka alami di dunia, yang merupakan awal dari siksa akhirat.
Setiap ayat yang mengandung peringatan bagi munafikin adalah cambuk spiritual bagi mereka. Karena mereka tidak mau mengakui kebenaran cambuk tersebut, rasa sakit itu hanya membuat mereka semakin benci kepada sumber kebenaran, yaitu wahyu itu sendiri. Kebencian ini, yang merupakan respons terhadap siksa, menjadi *rijsun* yang melengkapi totalitas kekafiran mereka.
Ayat ini mengajarkan kita tentang fungsi Al-Qur'an sebagai *fitnah* (ujian). Al-Qur'an diturunkan bukan hanya sebagai panduan, tetapi juga sebagai alat pembeda yang sangat tajam. Ketika wahyu datang, ia menguji setiap individu. Ujian ini menghasilkan dua kemungkinan hasil yang bertolak belakang:
Bagi mukmin, ujian wahyu berfungsi seperti api yang memurnikan emas. Ia menghilangkan karat-karat kecil dari dosa atau kelalaian, dan meningkatkan kualitas keimanan. Mereka menerima wahyu dengan sepenuh hati, bahkan jika sulit.
Bagi munafik, ujian wahyu berfungsi seperti air hujan yang turun di atas tanah yang tandus dan keras. Ia tidak meresap, malah menggenang dan membawa kotoran. Hati mereka, yang sudah keras, semakin mengeras karena mereka menolak menerima air kehidupan tersebut. Pembusukan batin ini memastikan bahwa setiap wahyu akan mempercepat proses kematangan kekafiran mereka.
Surat At-Taubah sendiri adalah surat ujian yang besar, karena diturunkan pada saat genting yang menuntut pengorbanan harta dan jiwa. Justru karena tuntutan yang besar inilah, munafikin yang hatinya dipenuhi penyakit menjadi sangat tertekan. Ketika wahyu datang, ia tidak memberikan keringanan, melainkan perintah yang lebih berat. Kerasnya perintah ini menyebabkan hati mereka semakin ciut dan semakin membenci Islam, sehingga *rijsun* mereka meningkat secara eksponensial.
Hal ini juga menjelaskan mengapa di saat-saat krisis atau pengorbanan besar, barisan orang beriman sejati menjadi sangat sedikit dan jelas, sementara barisan munafikin terlihat sangat gaduh dalam mencari alasan dan pembenaran untuk meninggalkan kewajiban. At-Taubah 125 adalah diagnosis ilahi terhadap perilaku ini.
Pelajaran utama yang dapat ditarik dari At-Taubah 125 adalah pentingnya kejujuran batiniah (shidq). Keraguan dan kemunafikan tidak dapat dihilangkan dengan amal lahiriah semata, tetapi harus diawali dengan kejujuran di dalam hati.
Jika seseorang merasakan benih keraguan (syakk) muncul ketika mendengar suatu ayat atau hukum Islam, ia memiliki dua pilihan:
Jalan keluar dari lingkaran setan *rijsun ilā rijsihim* adalah taubat yang tulus dan jujur. Taubat sejati membersihkan hati dari penyakit, membuat hati menjadi tanah yang subur, sehingga ketika wahyu berikutnya diturunkan, ia menumbuhkan iman, bukan kekafiran.
Ayat ini adalah peringatan kosmis bahwa hati manusia adalah entitas yang dinamis. Ia terus berubah, baik menuju peningkatan cahaya maupun peningkatan kegelapan, tergantung pada bagaimana ia merespons wahyu yang datang. Tidak ada stagnasi dalam kondisi spiritual. Seseorang yang membiarkan keraguan bersarang di hatinya sedang menandatangani takdir bahwa ia akan mati dalam keadaan keraguan yang memuncak, yaitu kekafiran.
Oleh karena itu, kewaspadaan terhadap 'maraḍun' (penyakit hati) adalah tugas seumur hidup. Kita harus terus-menerus mengintrospeksi niat, memerangi riya', dan memastikan bahwa setiap ketaatan kita dilandasi oleh ketulusan yang murni kepada Allah SWT. Jika kejujuran ini dijaga, maka setiap ayat Al-Qur'an yang kita dengar akan menjadi obat dan sumber kegembiraan, menjauhkan kita dari nasib mengerikan yang dijelaskan dalam firman-Nya:
“...dan mereka akan mati dalam keadaan kafir.”
Penjelasan tentang kemunafikan dalam surat At-Taubah ini adalah yang paling rinci dan paling tajam dalam seluruh Al-Qur’an. Allah SWT tidak hanya menjelaskan siapa mereka, tetapi juga bagaimana hati mereka beroperasi, bagaimana keraguan mereka meningkat, dan apa akhir dari perjalanan spiritual mereka. Ini adalah peta jalan bagi umat manusia untuk menghindari lubang kemunafikan yang tersembunyi, yang seringkali menyerupai keimanan, tetapi intinya adalah penolakan mutlak.
Setiap langkah penolakan terhadap kebenaran adalah satu langkah lebih dekat menuju kepastian kematian dalam keadaan yang tidak diridhai Allah. Proses bertambahnya kekafiran atau *rijsun* adalah proses pengerasan hati yang disengaja. Tidak ada paksaan di sini, melainkan hasil dari akumulasi pilihan yang didasari oleh kecintaan pada dunia fana dan penolakan terhadap tuntutan akhirat yang abadi.
Sungguh, ayat ini merupakan peringatan yang mengguncang jiwa, menuntut pemeriksaan hati yang paling ketat dan segera. Ia menuntut kejelasan: Apakah hati kita merespons wahyu dengan kegembiraan dan peningkatan iman, ataukah dengan kecemasan yang berujung pada penolakan dan peningkatan kekotoran? Jawaban atas pertanyaan inilah yang menentukan takdir abadi seseorang di hadapan Sang Pencipta.
Marilah kita renungkan kembali kondisi hati kita setiap kali kita mendengar, membaca, atau dihadapkan pada suatu perintah yang baru atau yang terasa berat dari Al-Qur'an. Apakah respons pertama adalah mencari pembenaran untuk menolak, ataukah mencari cara untuk menaati? Perbedaan respons ini, sebagaimana ditegaskan oleh QS At-Taubah 125, adalah perbedaan antara cahaya abadi dan kegelapan yang kekal.
Ketegasan At-Taubah 125 ini juga mengandung rahmat, karena ia memberikan diagnosis yang jelas. Selama nafas masih dikandung badan, penyakit hati (maraḍun) masih dapat disembuhkan melalui taubat nasuha, pencarian ilmu yang jujur, dan komitmen total kepada keimanan sejati. Tetapi jika penyakit itu dibiarkan, maka wahyu yang seharusnya menjadi rahmat terbesar akan berbalik menjadi bukti terberat atas diri mereka sendiri.
Proses peningkatan kekotoran (*rijsun*) adalah suatu fenomena spiritual yang menakutkan karena ia berjalan perlahan dan seringkali tidak disadari oleh pelakunya sendiri. Seseorang yang munafik mungkin merasa dirinya sedang berjuang, padahal ia hanya sedang menumpuk lapisan-lapisan kekafiran tanpa disadari. Hanya dengan introspeksi yang didasari kejujuranlah, seseorang dapat membalikkan arah spiritualnya sebelum mencapai titik tanpa kembali, yaitu mati dalam keadaan kafir.
Ayat ini mengajarkan bahwa Allah SWT Maha Adil. Dia memberikan kesempatan berulang kali melalui penurunan ayat-ayat-Nya. Namun, ketika kesempatan itu terus-menerus ditolak oleh hati yang sudah terkunci, maka penolakan itu diakumulasikan dan dijadikan penentu nasib akhir. Hati yang telah berulang kali memilih kegelapan akan diizinkan oleh Allah untuk tenggelam sepenuhnya dalam kegelapan yang telah ia pilih. Proses inilah yang disebut dengan *zādathum rijsan ilā rijsihim*.
Maka, kita harus memohon perlindungan kepada Allah agar hati kita dijaga dari penyakit nifaq, dan setiap kali kita dihadapkan pada wahyu, ia menjadi penambah keimanan yang kokoh, bukan penambah kekotoran yang menghancurkan. Itulah esensi dari perjalanan spiritual yang disajikan oleh Surat At-Taubah, khususnya dalam ayat 125 yang menjadi penutup tragis bagi mereka yang menolak petunjuk ilahi hingga akhir hayat mereka.
Sungguh, Al-Qur'an adalah rahmat bagi orang-orang yang beriman, dan azab yang ditunda bagi mereka yang menolak kebenaran. Peningkatan kekafiran dalam ayat ini adalah puncak dari penolakan tersebut.
Kemunafikan, dalam semua bentuknya, adalah pengkhianatan terhadap kebenaran batin. Ketika kebenaran eksternal (wahyu) bertemu dengan pengkhianatan batin ini, konflik yang terjadi tidak menghasilkan taubat, melainkan penegasan dari pengkhianatan itu sendiri. Inilah yang dimaksud dengan kekotoran yang bertambah, lapisan demi lapisan, mengantar mereka pada kematian yang sesuai dengan keadaan spiritual sejati mereka.
Kita menutup pembahasan ini dengan doa agar Allah senantiasa membersihkan hati kita dari segala bentuk keraguan dan kemunafikan, sehingga kita termasuk golongan yang imannya bertambah setiap kali mendengar firman-Nya, dan bukan sebaliknya.
Tafsir dan Peringatan atas Kondisi Hati
Penyakit hati yang disebutkan dalam ayat ini adalah kondisi yang sangat halus. Ia tidak selalu tampak sebagai penentangan terang-terangan. Seringkali, ia bersembunyi di balik ketaatan yang setengah hati, di balik kritikan terselubung terhadap ajaran, atau di balik kecenderungan untuk mematuhi hanya apa yang sesuai dengan kepentingan pribadi. Ini adalah *rijsun* yang mulai tumbuh dari benih kecil, namun diberi nutrisi oleh setiap penolakan terhadap tuntutan spiritual yang lebih tinggi.
Dalam konteks modernisasi dan globalisasi, seringkali perintah-perintah yang bersifat eksklusif bagi Muslim (seperti hijab, larangan riba, atau jihad) dianggap sebagai hambatan sosial atau ekonomi. Ketika wahyu yang membahas isu-isu ini diturunkan (dibaca atau dipahami), hati yang sakit akan merasa tertekan oleh konflik antara keinginan dunia dan perintah agama. Jika mereka memilih keinginan dunia, keraguan mereka terhadap kebenaran wahyu akan meningkat, dan ini adalah penambahan *rijsun* yang berbahaya.
Kekafiran (*kufr*) yang mereka mati di dalamnya adalah hasil akhir dari proses pengerasan hati yang panjang dan disengaja. Kematian adalah titik di mana pilihan-pilihan spiritual terhenti, dan seseorang akan dipertanggungjawabkan atas kondisi terakhir hatinya. Bagi munafik, kondisi terakhir itu adalah totalitas kekotoran yang mereka kumpulkan selama hidup.
Ayat 125 At-Taubah ini adalah pelajaran tentang konsistensi. Konsisten dalam kejujuran akan menghasilkan peningkatan keimanan yang konsisten. Konsisten dalam kemunafikan dan keraguan akan menghasilkan peningkatan kekafiran yang konsisten, hingga puncaknya pada kematian.
Semoga Allah melindungi kita dari akhir yang demikian.
Ayat mulia ini merupakan fondasi bagi pemahaman kita tentang bagaimana interaksi antara manusia dan wahyu ilahi menghasilkan takdir spiritual yang berbeda. Seluruh inti ajaran Islam menekankan bahwa Al-Qur'an adalah petunjuk, penyembuh, dan rahmat. Namun, At-Taubah 125 memberikan pengecualian yang mengerikan, yaitu ketika materi dasar hati seseorang telah terkontaminasi oleh penyakit yang akut.
Penyakit hati, atau *maraḍun*, adalah titik tolak yang memicu siklus negatif. Tanpa penyakit ini, wahyu akan selalu membawa manfaat. Tetapi ketika penyakit nifaq sudah menetap, wahyu yang seharusnya menjadi penawar justru bereaksi dengan penyakit tersebut, mempercepat pembusukan spiritual internal. Ini adalah konsep yang mendalam dan harus diulang-ulang dalam kesadaran kita: kebenaran yang ditolak akan menjadi senjata melawan penolaknya.
Sikap mental kaum munafik, sebagaimana digambarkan secara rinci di seluruh Surah At-Taubah, adalah mencari celah, menghindari tanggung jawab, dan memprioritaskan keamanan duniawi di atas kewajiban ilahi. Ketika perintah seperti infaq besar, jihad, atau kesaksian kebenaran datang, mereka mencari jalan keluar, dan setiap jalan keluar yang mereka ambil adalah satu langkah penambahan *rijsun* pada hati mereka.
Kita harus selalu ingat bahwa penambahan kekotoran ini bersifat kumulatif. Ia tidak terjadi dalam satu peristiwa besar, melainkan melalui serangkaian keputusan kecil untuk berkompromi dengan kejujuran, untuk mengabaikan keraguan, dan untuk menunda taubat. Akumulasi keraguan dan dosa ini menciptakan hijab yang begitu tebal sehingga pada akhirnya, cahaya keimanan tidak mampu lagi menembusnya, memastikan bahwa mereka akan wafat dalam keadaan kekafiran yang telah menjadi pilihan permanen mereka.
Maka, kita wajib menjadikan ayat ini sebagai pengingat konstan bahwa keadaan hati kita harus selalu dimonitor dan dibersihkan. Pembersihan ini tidak boleh ditunda-tunda, sebab potensi peningkatan *rijsun* selalu mengintai bagi mereka yang lalai dan memelihara benih-benih kemunafikan, sekecil apapun itu, di dalam relung jiwa mereka. Keimanan yang sejati menuntut konsistensi, kejujuran total, dan penerimaan tanpa syarat terhadap setiap bagian dari wahyu yang diturunkan oleh Allah SWT.
Inilah puncak dari pelajaran spiritual tentang pertanggungjawaban diri. Tidak ada seorang pun yang dapat menyalahkan takdir ilahi atas kematiannya dalam keadaan kafir jika ia telah memilih secara berulang-ulang untuk menolak kebenaran yang disajikan kepadanya. Hati adalah raja, dan raja yang memilih racun akan mati karena racun yang ia pilih sendiri, meskipun penawarnya tersedia di hadapannya.
Peningkatan *rijsun* adalah hasil dari pengerasan kehendak manusia untuk menolak petunjuk. Mari kita pastikan bahwa setiap ayat yang kita baca, setiap nasihat yang kita dengar, setiap ujian yang kita lalui, hanya menambah keimanan kita, kesabaran kita, dan kedekatan kita kepada Allah SWT, sehingga kita menjauhi kutukan peningkatan kekotoran yang dijelaskan dalam QS At-Taubah 125.
Peringatan keras ini harus menjadi pendorong bagi kita untuk memperbarui keislaman kita setiap hari, mencari kejujuran batin yang tak tergoyahkan, dan memohon pertolongan Allah agar kita diwafatkan dalam keadaan berserah diri seutuhnya kepada-Nya.
Demikianlah, tafsir yang mendalam ini memberikan gambaran yang sangat jelas mengenai konsekuensi dari kemunafikan yang kronis, sebuah pelajaran abadi bagi setiap generasi Muslim.
***
Kita perlu merenungkan lebih lanjut bagaimana konsep 'maraḍun' (penyakit) dan 'rijgs' (kekotoran) ini bekerja secara sinergis. Penyakit hati bukanlah sekadar kurangnya keimanan, melainkan adanya unsur aktif yang melawan keimanan. Ibarat racun yang bekerja dalam sistem tubuh, penyakit ini secara aktif melemahkan kemampuan hati untuk menyerap cahaya. Ketika cahaya Al-Qur'an datang, alih-alih menetralisir racun, cahaya itu justru mempercepat metabolisme racun, sehingga dampaknya semakin parah.
Fenomena ini menegaskan bahwa Al-Qur'an memiliki sifat penetratif. Ia tidak bisa diabaikan. Ketika dibacakan atau dipelajari, ia akan masuk dan berinteraksi dengan esensi batin pendengarnya. Interaksi ini selalu menghasilkan perubahan, baik positif maupun negatif. Bagi munafik, interaksi ini menghasilkan rasa tidak nyaman, kecemasan, dan peningkatan kebencian, yang semuanya adalah bentuk-bentuk baru dari *rijsun*.
Oleh karena itu, setiap kali kita mendapati diri kita merasa terganggu atau skeptis terhadap suatu ajaran Islam yang jelas, kita harus segera menganggapnya sebagai lampu merah spiritual, indikasi bahwa 'maraḍun' sedang bekerja. Ini adalah momen krusial untuk segera kembali kepada Allah, memohon kesembuhan, dan mencari pemahaman yang benar, sebelum keraguan itu diizinkan oleh Allah untuk berakumulasi menjadi kekafiran yang permanen.
Penyakit hati yang akut menyebabkan seseorang melihat kebenaran sebagai ancaman, bukan sebagai janji. Mereka takut pada konsekuensi ketaatan, mereka takut pada tuntutan pengorbanan, dan mereka takut pada stigma sosial yang mungkin timbul dari kepatuhan penuh. Ketakutan-ketakutan ini, yang berakar pada kecintaan dunia yang berlebihan, adalah tanah subur bagi pertumbuhan *rijsun*.
QS At-Taubah 125 adalah ultimatum spiritual: Pilihlah kejujuran sekarang, atau hadapi kematian dalam kekafiran yang tak terhindarkan. Ini bukan tentang predestinasi yang kejam, tetapi tentang kepastian hukum kausalitas spiritual. Jika benihnya ditanam, buahnya pasti dipanen.
Penolakan terhadap satu ayat dapat membuka pintu bagi penolakan terhadap ayat-ayat berikutnya. Ketidakmauan untuk berkorban dalam satu aspek kehidupan dapat menyebabkan keengganan berkorban dalam aspek-aspek lainnya. Inilah proses bertahap, namun pasti, dari peningkatan kekotoran dari satu level ke level berikutnya, sampai seluruh hati tertutup total. Dan ketika kematian datang, segel ini dikunci secara permanen, mengakhiri perjalanan hidup dalam keadaan yang penuh penyesalan dan keputusasaan abadi.
Marilah kita ambil pelajaran dari kisah ini, bahwa setiap hari adalah kesempatan untuk memurnikan niat dan memperkuat iman, memastikan bahwa kita tidak termasuk golongan yang Al-Qur'an justru menambah kekotoran mereka.
Umat Islam harus menyadari urgensi untuk selalu menyucikan hati mereka. Kebersihan hati adalah prasyarat untuk mendapatkan manfaat dari wahyu. Tanpa hati yang bersih dan jujur, segala bentuk ibadah dan penerimaan wahyu hanyalah formalitas yang sia-sia, dan pada akhirnya, akan menambah bobot kekafiran tersembunyi, sebagaimana dijelaskan dengan sangat tegas dan detail dalam ayat 125 dari Surat At-Taubah ini. Sebuah pesan yang tak lekang oleh waktu, relevan bagi setiap individu yang mengakui dirinya sebagai seorang mukmin.
Inti dari At-Taubah 125 adalah bahwa setiap orang bertanggung jawab penuh atas arah spiritual hatinya. Peningkatan *rijsun* adalah konsekuensi langsung dari pilihan sadar untuk menolak cahaya petunjuk dan memeluk kegelapan keraguan dan kemunafikan.
***
Akhir dari Analisis Mendalam