Ayat suci Al-Qur'an Surat At-Taubah ayat 103 merupakan fondasi utama dalam memahami fungsi sentral ibadah Zakat dalam Islam. Ayat ini tidak hanya menetapkan kewajiban mengambil sebagian harta (Zakat atau Sadaqah) dari kaum Muslimin, tetapi juga secara eksplisit menjelaskan dua tujuan transendental dari tindakan tersebut: pembersihan (pemurnian) jiwa dan harta, serta perintah bagi pemimpin atau *Amil* untuk mendoakan orang-orang yang menunaikan kewajiban tersebut.
Diskusi mengenai ayat ini memerlukan penelusuran mendalam terhadap konteks historis, makna leksikal dari kata-kata kunci, serta implikasi hukum (*Fiqh*) dan spiritual (*Tazkiyah*). Ayat 103 dari Surat At-Taubah (Pengampunan) datang setelah serangkaian ayat yang membahas penyesalan dan taubatnya sekelompok kaum Muslimin yang tidak ikut serta dalam Perang Tabuk. Mereka yang menyesal diwajibkan untuk memberikan harta mereka sebagai penebus dosa, menjadikannya Zakat sebagai alat rekonsiliasi spiritual dengan Allah SWT.
Untuk memahami sepenuhnya perintah ilahi dalam ayat ini, kita harus memecah dan menganalisis setiap frasa kuncinya, terutama yang berkaitan dengan otoritas, tindakan, dan dampaknya.
Frasa Khudz (Ambillah) adalah kata kerja imperatif (perintah) yang ditujukan langsung kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin negara dan kepala otoritas agama. Ini menegaskan bahwa Zakat bukan sekadar sumbangan sukarela yang boleh diberikan atau ditahan sesuka hati, melainkan kewajiban yang harus ditarik oleh negara atau otoritas yang sah.
Imam Al-Qurtubi dan At-Tabari menegaskan bahwa perintah ini menetapkan legitimasi keberadaan *Amil* (petugas pengumpul zakat). Jika Zakat hanya merupakan tanggung jawab individu, tidak perlu ada perintah tegas untuk "mengambil"nya. Ini menunjukkan aspek hukum publik dalam Zakat; ini adalah hak masyarakat, bukan hanya hak individu miskin, dan negara bertanggung jawab untuk memastikannya terpenuhi.
Lebih jauh, frasa Min Amwalihim (dari harta mereka) mengindikasikan bahwa kewajiban ini hanya berlaku bagi harta yang telah mencapai *nishab* (batas minimum wajib zakat) dan telah melewati *haul* (periode waktu tertentu, biasanya satu tahun). Ini membedakan Zakat dari sedekah sunnah yang tidak terikat batasan minimum atau waktu.
Meskipun ayat menggunakan kata Sadaqah, para ulama tafsir sepakat bahwa dalam konteks ayat 103 At-Taubah, yang dimaksud adalah Zakat wajib. Di masa awal Islam, kata *Sadaqah* sering digunakan untuk merujuk pada Zakat wajib, yang menunjukkan kebenaran dan ketulusan iman (kata *sidq*). Ini adalah sedekah yang menunjukkan kejujuran seorang hamba dalam menaati perintah Tuhannya, membedakannya dari sumbangan sukarela yang tidak memiliki konsekuensi hukum.
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat ini turun sebagai instruksi bagi Nabi SAW mengenai bagaimana menyikapi harta orang-orang yang bertaubat setelah Perang Tabuk. Harta mereka, melalui Zakat, menjadi jalan untuk membersihkan mereka dari dosa kemunafikan atau kelalaian sebelumnya.
Bagian paling mendalam dari ayat ini terletak pada tujuan Zakat: Tuthahhiruhum wa Tuzakkīhim Bihā (Dengannya kamu membersihkan mereka dan menyucikan mereka).
Kata Tathir berasal dari kata *tahara*, yang secara leksikal berarti pembersihan secara fisik atau material. Dalam konteks ini, ia memiliki makna ganda:
Pembersihan Harta dari Hak Orang Lain: Zakat membersihkan harta benda si pemberi dari unsur haram atau syubhat (ragu-ragu), karena terdapat sebagian kecil hak fakir miskin di dalamnya. Jika hak ini tidak dikeluarkan, seluruh harta berisiko menjadi tidak murni.
Pembersihan Jiwa dari Dosa: Khususnya dalam konteks turunnya ayat ini, Zakat berfungsi sebagai penghapus dosa dan penebus kesalahan, terutama bagi mereka yang lalai dalam tugas agama mereka (seperti ikut berperang).
Kata Tazkiyah berasal dari kata *zaka*, yang berarti tumbuh, berkembang, atau suci. Ini merujuk pada pemurnian dan pertumbuhan spiritual:
Penyucian Jiwa dari Kekikiran: Zakat membersihkan jiwa si pemberi dari penyakit hati seperti *bukhul* (kekikiran), ketamakan, dan keterikatan berlebihan terhadap dunia materi. Dengan memberikan Zakat, seseorang melatih kemurahan hati dan keyakinan akan rezeki dari Allah.
Pertumbuhan Spiritual dan Berkah: Zakat tidak mengurangi harta, tetapi justru memberkahinya dan membuatnya tumbuh (berkembang) dalam kebermanfaatan. Pertumbuhan ini juga berlaku bagi pahala si pemberi di sisi Allah SWT.
Dengan demikian, Zakat adalah proses holistik; ia membersihkan materi (harta) dari kotoran dan membersihkan spiritual (jiwa) dari dosa, sekaligus memastikan pertumbuhan dan keberkahan bagi keduanya. Tanpa Zakat, harta adalah beban, dan jiwa cenderung sakit.
Ini adalah bagian unik dari ayat ini. Nabi Muhammad SAW diperintahkan untuk tidak hanya menerima Zakat, tetapi juga untuk mendoakan orang yang memberikannya. Doa ini melengkapi proses pembersihan.
Kata Shalli 'alaihim dalam konteks ini berarti mendoakan mereka agar mendapatkan rahmat, ampunan, dan berkah. Doa dari seorang Nabi atau pemimpin yang sah memiliki kekuatan spiritual yang luar biasa.
Allah SWT menjelaskan mengapa doa ini penting: Inna Shalātaka Sakunun Lahum (Sesungguhnya doamu itu menumbuhkan ketenteraman jiwa bagi mereka). *Sakun* berarti ketenangan, kedamaian, atau ketenteraman.
Dalam konteks para penitih yang menyesal setelah Tabuk, doa Nabi memberikan kepastian dan ketenangan bahwa taubat dan penebusan mereka telah diterima. Doa ini menghapus keraguan, menenangkan hati yang cemas, dan menguatkan kembali ikatan spiritual mereka dengan komunitas Muslim. Bahkan hingga hari ini, ketika seorang muslim menunaikan Zakat, ia berharap agar *Amil* atau institusi Zakat mendoakan keberkahan atas hartanya.
Perintah "Ambillah" dalam At-Taubah 103 memiliki konsekuensi hukum yang sangat besar dalam fiqh Islam, yang membedakan Zakat dari sedekah biasa dan menempatkannya sebagai rukun Islam ketiga.
Mayoritas ulama dari empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali) menggunakan ayat ini sebagai dalil bahwa negara atau otoritas sah memiliki hak dan kewajiban untuk menarik Zakat secara paksa jika diperlukan. Jika wajib zakat menolak, negara boleh mengambil tindakan hukum.
Sejarah mencatat implementasi tegas dari ayat ini oleh Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Setelah wafatnya Nabi SAW, beberapa suku Arab menolak membayar Zakat kepada negara, menganggapnya hanya kewajiban yang terikat pada pribadi Nabi. Abu Bakar menyatakan perang terhadap mereka (dikenal sebagai Perang Riddah – Perang Melawan Kaum Murtad/Penolak Zakat), berpegang teguh pada prinsip bahwa Zakat adalah hak Allah yang harus ditarik oleh otoritas sah, sebagaimana diperintahkan dalam At-Taubah 103.
Abu Bakar berkata, "Demi Allah, seandainya mereka menolak memberikan kepadaku tali pengikat unta yang dahulu mereka berikan kepada Rasulullah SAW sebagai Zakat, niscaya aku akan memerangi mereka atas penolakan itu." Ini adalah bukti historis yang paling kuat mengenai fungsi Zakat sebagai pilar ekonomi dan sosial yang wajib dikelola oleh negara.
Ayat ini juga memberikan legalitas terhadap profesi *Amil* (petugas Zakat). Mereka adalah orang yang diutus untuk mengambil, mengumpulkan, mengelola, dan mendistribusikan Zakat. Karena tugas ini disebutkan secara eksplisit dalam ayat yang menjadi rukun Islam, *Amil* dimasukkan dalam salah satu dari delapan golongan penerima Zakat (*mustahiq*). Ini memastikan bahwa sistem pengumpulan Zakat dapat berjalan secara profesional dan berkelanjutan.
Ayat ini menekankan bahwa *Amil* tidak sekadar petugas administrasi; mereka adalah agen spiritual yang membawa berkah melalui doa mereka, menghubungkan antara si pemberi (muzzaki) dengan tujuan spiritual pemurnian.
Proses Tathir dan Tazkiyah jauh melampaui sekadar transfer kekayaan. Ini adalah proses pembangunan karakter spiritual yang mendalam, membersihkan jiwa dari penyakit-penyakit yang menghancurkan.
Sifat kekikiran adalah salah satu bahaya terbesar yang mengancam iman. Al-Qur'an dan Hadis sering memperingatkan bahaya mencintai harta secara berlebihan. Zakat berfungsi sebagai terapi wajib bulanan yang memaksa individu melepaskan sebagian dari harta yang paling ia cintai demi ketaatan kepada Allah.
Ketika seseorang rutin mengeluarkan Zakat, ia secara bertahap mengurangi ketergantungan hatinya pada materi. Ia menyadari bahwa kekayaan sejati adalah apa yang ia berikan, bukan apa yang ia simpan. Rasa memiliki digantikan oleh rasa pertanggungjawaban atas amanah, dan ini adalah puncak dari Tazkiyah yang disebutkan dalam QS At-Taubah 103.
Dalam konteks sosial, Zakat berfungsi sebagai pembersihan dari dosa-dosa yang dihasilkan oleh ketidakadilan ekonomi. Jika kekayaan hanya berputar di kalangan orang kaya, masyarakat akan terpecah belah, menghasilkan iri hati, kriminalitas, dan ketidakstabilan sosial.
Zakat, dengan menyalurkan kekayaan kepada delapan golongan penerima, membersihkan masyarakat dari ketimpangan ekstrem. Si kaya dibersihkan dari dosa menimbun, dan si miskin dibersihkan dari dosa iri hati dan keputusasaan, karena mereka tahu bahwa ada sistem ilahi yang menjamin hak mereka.
Imam Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulumiddin menekankan bahwa Zakat adalah sarana utama untuk mencapai kesalehan individu dan sosial. Kekayaan tanpa tanggung jawab Zakat adalah kekayaan yang kotor, yang tidak membawa berkah di dunia maupun di akhirat.
Ketenangan jiwa (*Sakun*) yang dihasilkan oleh doa Nabi SAW menunjukkan pentingnya dimensi psikologis dan spiritual dalam ibadah. Doa ini bukan hanya formalitas, melainkan pengakuan resmi dari otoritas agama bahwa amal ibadah seseorang telah diterima.
Ketika seseorang telah mengeluarkan Zakat, apalagi dalam jumlah besar, mungkin muncul rasa was-was apakah amal tersebut diterima. Doa dari seorang Nabi atau *Amil* yang saleh memberikan kepastian ilahiah, meredakan kegelisahan batin, dan memperkuat motivasi untuk terus beramal saleh.
Dalam konteks kontemporer, hal ini mengajarkan bahwa institusi pengelola Zakat (LAZIS) harus berfungsi tidak hanya sebagai lembaga keuangan, tetapi juga sebagai lembaga spiritual. Mereka harus memastikan proses pengumpulan dan distribusi dilakukan dengan penuh amanah, sehingga ketika *muzzaki* (pemberi Zakat) menyerahkan hartanya, mereka merasa yakin bahwa harta itu sedang dibersihkan dan didoakan keberkahannya, menghasilkan ketenangan yang dijanjikan Allah.
Perintah doa ini juga merupakan mekanisme pengikat sosial antara pemimpin dan umat. Pemimpin tidak hanya mengambil hak Allah (Zakat), tetapi juga memberikan kembali berkah berupa doa. Ini membangun hubungan kepercayaan yang kuat, di mana umat merasa didukung dan diakui secara spiritual oleh kepemimpinan mereka.
Ini adalah perbedaan fundamental antara pajak sekuler dan Zakat. Pajak adalah kewajiban finansial. Zakat adalah kewajiban finansial-spiritual yang menghasilkan pahala, pembersihan, dan doa khusus dari otoritas keagamaan yang sah. Sifat interaksi inilah yang membuat Zakat menjadi ibadah yang unik dan berdampak ganda.
Para mufassir klasik telah memberikan penekanan berbeda pada aspek-aspek ayat ini, meskipun mereka sepakat pada intinya (Zakat wajib, pemurnian, dan doa).
Ar-Razi sangat fokus pada dimensi filosofis Tathir dan Tazkiyah. Ia menjelaskan bahwa Zakat memurnikan si pemberi dari tiga hal:
Memurnikan jiwa dari dosa, sebagaimana konteks ayat ini turun untuk taubat.
Memurnikan hati dari kekikiran dan cinta dunia yang berlebihan.
Memurnikan harta itu sendiri dari kotoran syubhat yang mungkin menempel selama proses pencarian nafkah.
Menurut Ar-Razi, perintah Wa Shalli ‘Alaihim menunjukkan bahwa pembersihan harta harus disertai dengan penguatan spiritual melalui doa, sebab pembersihan fisik tanpa pembersihan hati adalah sia-sia.
Al-Qurtubi fokus pada aspek hukum (fiqh). Ia menggunakan ayat ini sebagai dalil utama kewenangan imam (pemimpin) untuk memerangi penolak Zakat. Ia memperjelas bahwa jika seorang Muslim menunaikan Zakat secara rahasia tetapi menolak memberikannya kepada *Amil* atau otoritas sah, maka ia dianggap telah melanggar perintah Khudz min amwalihim. Karena Zakat adalah hak publik, pengambilannya harus dilakukan secara publik oleh otoritas.
Al-Qurtubi juga membahas bahwa doa yang dimaksud di sini adalah doa yang murni meminta rahmat dan kebaikan, bukan sekadar salam. Beliau menekankan bahwa ketenangan (*Sakun*) adalah hasil dari pengakuan Allah atas ketaatan mereka, yang diikrarkan melalui lisan Nabi.
Di era modern, di mana sistem keuangan dan otoritas Zakat semakin kompleks, At-Taubah 103 menawarkan pedoman abadi:
Jika Allah memerintahkan Nabi untuk "mengambil" Zakat, ini menunjukkan bahwa Zakat harus diorganisasi secara terpusat. Lembaga Amil Zakat yang efektif, transparan, dan akuntabel adalah implementasi modern dari perintah kenabian ini. Kegagalan dalam pengelolaan Zakat akan melemahkan fungsi Tathir dan Tazkiyah secara luas.
Karena Amil adalah penerima dan juga pemberi ketenangan (melalui doa), integritas mereka sangat krusial. Amanah dalam mengelola Zakat memastikan bahwa pembersihan harta muzzaki tidak ternodai oleh praktik korupsi atau penyalahgunaan dana.
Zakat tidak hanya membersihkan individu, tetapi juga memurnikan sistem ekonomi secara keseluruhan. Penerapan Zakat secara optimal adalah jalan menuju keadilan distributif yang dapat mengurangi kesenjangan ekonomi. Ketika Zakat berfungsi sebagaimana mestinya—diambil secara wajib dan didistribusikan secara efisien—dampak ketenangan (*Sakun*) dirasakan oleh seluruh masyarakat.
Pembersihan harta melalui Zakat memastikan aliran modal dari mereka yang memiliki kelebihan kepada mereka yang membutuhkan, sehingga kekayaan tidak menjadi beku dan statis, melainkan dinamis dan memberkahi. Inilah esensi dari ekonomi Islam: kekayaan harus menjadi alat pemurnian, bukan sumber keserakahan.
Meskipun kita tidak lagi memiliki Nabi untuk mendoakan kita, perintah ini mengajarkan pentingnya interaksi spiritual antara pemberi dan penerima. Bagi *Amil* modern, ini berarti memberikan pengakuan tulus atas ketaatan si pemberi Zakat, mungkin melalui doa formal atau ucapan terima kasih yang tulus, yang berfungsi sebagai penguat spiritual dan ketenangan batin bagi *muzzaki*.
Ayat mulia QS At-Taubah 103 adalah salah satu ayat paling komprehensif mengenai Zakat. Ia menyentuh dimensi hukum (*Fiqh*), spiritual (*Tazkiyah*), dan sosial kemasyarakatan.
Allah SWT memerintahkan pengambilan Zakat bukan untuk memberatkan, melainkan untuk memberikan manfaat yang jauh melampaui perhitungan materi. Melalui Zakat, seorang Muslim membersihkan diri dari kotoran dosa dan kekikiran (Tathir), membiarkan jiwanya tumbuh dalam kesucian dan keberkahan (Tazkiyah), dan menerima ketenangan spiritual melalui doa yang tulus (Sakun).
Maka, menunaikan Zakat adalah investasi terbaik, bukan hanya untuk akhirat, tetapi juga untuk ketenangan batin di dunia. Ia adalah bukti kejujuran iman dan fondasi bagi masyarakat yang bersih, adil, dan tenteram.
Perintah ini tetap relevan: Zakat harus ditarik dengan kewenangan, dikelola dengan amanah, dan disertai dengan doa dan ketulusan, sehingga tujuan utama ilahiah—pembersihan dan penyucian—dapat tercapai secara menyeluruh, membawa umat kepada kemurnian yang dijanjikan.