At-Taubah Ayat 70: Pelajaran Abadi dari Runtuhnya Peradaban

Surah At-Taubah, yang dikenal sebagai surah yang banyak berbicara mengenai keimanan, kemunafikan, dan jihad, menyajikan berbagai pelajaran mendalam mengenai konsekuensi dari pilihan spiritual dan moral manusia. Ayat ke-70 dari surah yang mulia ini adalah sebuah peringatan tegas, sebuah retrospeksi historis yang berfungsi sebagai cermin bagi umat yang hidup pada masa kini dan masa depan.

Ayat ini mengajak kita untuk merenungi nasib enam kelompok peradaban yang tercatat dalam sejarah kenabian. Inti dari pesan ini adalah keadilan Ilahi yang tidak pernah lalai, serta bagaimana perbuatan dan pengingkaran suatu kaum secara langsung menentukan takdir mereka di dunia dan akhirat. Pelajaran yang disajikan bukanlah sekadar kisah lama, melainkan sebuah Sunnatullah (ketetapan Allah) yang berlaku universal: pengingkaran terhadap kebenaran akan selalu berujung pada kehancuran.

أَلَمْ يَأْتِهِمْ نَبَأُ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ قَوْمِ نُوحٍ وَعَادٍ وَثَمُودَ وَقَوْمِ إِبْرَاهِيمَ وَأَصْحَابِ مَدْيَنَ وَالْمُؤْتَفِكَاتِ ۚ أَتَتْهُمْ رُسُلُهُم بِالْبَيِّنَاتِ ۖ فَمَا كَانَ اللَّهُ لِيَظْلِمَهُمْ وَلَٰكِن كَانُوا أَنفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ
"Apakah belum sampai kepada mereka berita orang-orang yang sebelum mereka, (yaitu) kaum Nuh, ‘Ad, Tsamud, kaum Ibrahim, penduduk Madyan, dan (penduduk) negeri-negeri yang telah musnah? Telah datang kepada mereka rasul-rasul mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata; maka Allah tidaklah berlaku zalim kepada mereka, akan tetapi merekalah yang berlaku zalim kepada diri mereka sendiri." (QS. At-Taubah: 70)

Ayat ini berfungsi sebagai teguran keras terhadap kaum munafik di Madinah yang meragukan janji Allah dan Rasul-Nya. Allah bertanya, "Apakah mereka tidak mengambil pelajaran?" Pertanyaan retoris ini menuntut refleksi mendalam, karena berita tentang kehancuran kaum-kaum pendahulu telah sampai kepada mereka melalui riwayat lisan maupun tulisan, dan yang terpenting, melalui wahyu Al-Qur'an.

Pengejawantahan Keadilan: Tafsir Umum At-Taubah 70

Inti dari ayat 70 Surah At-Taubah adalah penegasan atas dua prinsip fundamental dalam teologi Islam: Keadilan Mutlak Allah (SWT) dan Tanggung Jawab Penuh Manusia atas pilihan mereka. Allah (SWT) tidak pernah menghukum suatu kaum tanpa memberikan peringatan yang jelas dan bukti-bukti yang nyata (*al-bayyinat*).

Penyebutan enam entitas sejarah—Nuh, Ad, Tsamud, kaum Ibrahim, Madyan, dan Al-Mu'tafikat—bukanlah kebetulan. Masing-masing mewakili spektrum keangkuhan, penolakan, dan dosa yang berbeda, tetapi semua memiliki kesamaan inti: mereka menolak utusan yang diutus kepada mereka dengan bukti yang tidak terbantahkan.

Rantai Kenabian dan Bukti Nyata (Al-Bayyinat)

Poin krusial dalam ayat ini adalah frasa: "Atat-hum Rusuluhum bil-Bayyinat" (Telah datang kepada mereka rasul-rasul mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata). Bukti-bukti ini mencakup mukjizat yang kasat mata (seperti unta Nabi Saleh atau bahtera Nabi Nuh), kejelasan argumentasi, dan kebersihan akhlak para rasul. Ketika kebenaran disajikan dengan sedemikian rupa, penolakan yang dilakukan oleh kaum tersebut dianggap sebagai tindakan kesengajaan yang zalim.

Oleh karena itu, ketika hukuman (azab) ditimpakan, hukuman tersebut adalah konsekuensi logis dan adil dari keputusan kolektif kaum tersebut untuk menolak keimanan. Tafsir Ibnu Katsir menekankan bahwa kisah-kisah ini diceritakan sebagai ancaman bagi orang-orang munafik yang merencanakan keburukan terhadap Rasulullah Muhammad (SAW) dan kaum Muslimin. Mereka diperingatkan bahwa jika perbuatan mereka sama dengan kaum-kaum terdahulu, maka nasib mereka pun tidak akan berbeda.

Prinsip Ketidakzaliman Ilahi

Frasa paling penting dalam ayat ini adalah: "Fama kanallahu liyazhlimahum wa lakin kanu anfusahum yazhlimun" (Maka Allah tidaklah berlaku zalim kepada mereka, akan tetapi merekalah yang berlaku zalim kepada diri mereka sendiri). Ini adalah penolakan tegas terhadap anggapan bahwa Allah (SWT) bertindak sewenang-wenang. Allah Maha Adil. Kehancuran yang mereka alami bukanlah takdir yang dipaksakan, melainkan hasil dari kezaliman diri sendiri (zhulmu al-nafs).

Kezaliman diri sendiri ini termanifestasi dalam kesyirikan, penindasan terhadap orang lain, melanggar batas-batas Ilahi, dan yang paling parah, mendustakan utusan Allah. Dengan demikian, ayat ini mengajarkan umat manusia bahwa mereka sepenuhnya bertanggung jawab atas keimanan mereka. Keselamatan dan kehancuran bermula dari pilihan yang dibuat di dalam hati dan diekspresikan melalui tindakan.

Ilustrasi runtuhan peradaban kuno sebagai peringatan atas kaum yang mendustakan. Ilustrasi runtuhan peradaban kuno sebagai peringatan atas kaum yang mendustakan. Azab adalah Konsekuensi

Peringatan abadi: runtuhnya peradaban yang menolak kebenaran.

Analisis Mendalam Kisah Enam Umat yang Dimusnahkan

Untuk memahami sepenuhnya bobot peringatan dalam At-Taubah 70, kita harus menelaah secara rinci kesalahan dan kehancuran setiap kaum yang disebutkan. Setiap kisah mengandung dimensi moral dan teologis yang berbeda, namun menyatu dalam narasi besar tentang konsekuensi pengingkaran.

1. Kaum Nabi Nuh (عليه السلام)

Kaum Nuh adalah kaum pertama yang disebutkan, seringkali melambangkan permulaan sejarah perlawanan massal terhadap tauhid setelah masa awal penciptaan manusia. Durasi dakwah Nabi Nuh yang sangat panjang—sembilan ratus lima puluh tahun—menunjukkan betapa sabar dan konsistennya peringatan yang diberikan Allah.

Kezaliman Mereka: Kesyirikan yang parah, yaitu pemujaan berhala (Wadd, Suwa', Yaghuts, Ya'uq, dan Nasr) yang awalnya adalah orang-orang saleh namun diubah menjadi objek sembahan. Selain itu, mereka menunjukkan arogansi sosial yang ekstrem, meremehkan Nabi Nuh dan pengikutnya yang miskin.

Dakwah Nabi Nuh mencapai titik kejenuhan. Setiap seruan dijawab dengan ejekan dan penolakan. Mereka bahkan menutup telinga dan menyelimuti wajah mereka agar tidak mendengar seruan beliau. Inilah puncak zhulmu al-nafs (kezaliman terhadap diri sendiri) di mana hati telah tertutup rapat dari nur hidayah.

Bentuk Azab: Banjir besar (Ath-Thufan). Azab ini bersifat pembersihan total. Air naik dari langit dan bumi, memusnahkan semua kehidupan kecuali mereka yang berada di atas bahtera yang dibangun di bawah pengawasan Ilahi. Air menjadi simbol kehidupan, namun bagi kaum Nuh, air menjadi agen pemusnah. Kekuatan alam yang mereka abaikan dan anggap remeh berbalik menghancurkan mereka.

Pelajaran dari Kaum Nuh adalah tentang sifat persisten dari kebatilan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Kehancuran mereka menunjukkan bahwa kasih sayang Ilahi hanya mencakup batas waktu dakwah. Ketika batas itu terlampaui dan penolakan telah final, keadilan ditegakkan tanpa pengecualian, bahkan terhadap putra Nabi Nuh sendiri yang memilih jalur pengingkaran. Kekafiran adalah pemutus hubungan, bahkan hubungan darah.

Pengulangan kisah ini dalam Al-Qur'an menandakan bahwa penolakan terhadap utusan Allah, bagaimanapun bentuknya, adalah dosa yang tidak termaafkan jika tidak diikuti dengan pertobatan sejati. Kaum Nuh tidak sekadar menolak; mereka menantang Nuh untuk mendatangkan azab, menunjukkan tingkat keangkuhan yang melampaui batas kesadaran.

2. Kaum Nabi Hud: 'Ad yang Angkuh

Kaum 'Ad hidup setelah Kaum Nuh. Mereka terkenal karena kekuatan fisik mereka, keahlian arsitektur (membangun tiang-tiang tinggi, Iram Dzatil 'Imad), dan kekayaan materi yang melimpah. Mereka merasa tak terkalahkan dan sombong atas kekuatan yang diberikan Allah.

Kezaliman Mereka: Sombong (istighna'), menyembah berhala, dan menggunakan kekuatan mereka untuk menindas bangsa-bangsa di sekitar mereka. Mereka menganggap kenikmatan duniawi mereka sebagai bukti keunggulan mereka, bukan sebagai ujian atau amanah dari Allah. Mereka menolak Nabi Hud dengan argumentasi bahwa mereka adalah kaum yang paling kuat di bumi.

Nabi Hud mengingatkan mereka bahwa kekuatan sejati hanya milik Allah. Namun, 'Ad terlalu mabuk oleh kemegahan peradaban mereka. Mereka tidak dapat membayangkan bahwa infrastruktur dan benteng pertahanan mereka yang kokoh dapat dihancurkan oleh sesuatu yang tak terlihat.

Bentuk Azab: Angin dingin yang sangat kencang dan merusak (Ar-Rihul 'Aqim) selama tujuh malam delapan hari berturut-turut. Angin itu tidak membawa manfaat, melainkan menghancurkan segalanya. Angin yang bagi bangsa gurun seringkali menjadi penyelamat dari panas, justru menjadi alat pemusnah. Angin itu membalikkan manusia, mencabut mereka dari bumi seolah-olah mereka adalah batang pohon kurma yang tumbang. Angin ini simbolisasi betapa rapuhnya kekuatan manusia di hadapan kekuatan alam yang tunduk pada kehendak Ilahi.

Pelajaran dari Kaum 'Ad adalah bahaya materialisme dan arogansi yang timbul dari kemakmuran. Kekuatan teknologi, kekayaan, dan superioritas militer tidak akan pernah dapat melindungi suatu kaum dari keadilan Allah jika mereka telah melampaui batas-batas moral dan spiritual. Kesombongan (kibr) adalah dosa sosial yang paling merusak karena menghalangi manusia untuk menerima kebenaran dan melihat kelemahan diri.

3. Kaum Nabi Saleh: Tsamud dan Keajaiban Unta

Kaum Tsamud tinggal di lembah Hijr (Mada'in Saleh). Seperti 'Ad, mereka juga memiliki keahlian luar biasa, yaitu mengukir rumah-rumah mereka di bukit-bukit batu, menunjukkan kemahiran teknik yang tinggi.

Kezaliman Mereka: Mereka mendustakan Nabi Saleh. Ketika mereka menuntut bukti nyata kenabian, Allah mengirimkan unta betina ajaib dari celah batu. Unta ini adalah ujian: mereka harus membiarkannya minum pada hari tertentu dan mereka pada hari yang lain. Mereka menyepakati hal ini, namun hati mereka penuh dengan kedengkian.

Kezaliman Tsamud mencapai puncaknya ketika mereka membunuh unta betina tersebut. Pembunuhan ini bukan hanya kejahatan terhadap seekor hewan, tetapi merupakan penghinaan langsung terhadap tanda kekuasaan Allah yang telah mereka minta sendiri. Dalam perspektif teologis, pembunuhan terhadap mukjizat adalah pengumuman perang terbuka terhadap Yang Maha Kuasa.

Bentuk Azab: Gempa bumi yang dahsyat disertai satu suara (Ash-Shaikhatu) yang sangat keras dari langit. Suara itu menghancurkan gendang telinga, meretakkan hati, dan membuat mereka mati bergelimpangan di rumah-rumah batu mereka yang kokoh. Ironisnya, rumah-rumah yang mereka pahat di batu untuk mencari keamanan justru menjadi kuburan massal mereka. Mereka tidak dapat lari dari hukuman Ilahi.

Kisah Tsamud mengajarkan bahwa bahkan manifestasi fisik dari kekuasaan Allah (mukjizat) tidak akan bermanfaat bagi mereka yang hatinya telah mengeras. Mereka memiliki bukti nyata di hadapan mata mereka, namun mereka memilih untuk menghancurkannya. Kehancuran mereka adalah bukti bahwa pengingkaran yang disengaja, bahkan setelah melihat bukti, akan menghasilkan hukuman yang setimpal.

4. Kaum Nabi Ibrahim (عليه السلام)

Kaum Ibrahim di sini merujuk kepada penduduk Babilonia, terutama mereka yang dipimpin oleh Raja Namrudz, dan yang tinggal di sekitar Irak modern.

Kezaliman Mereka: Mereka menyembah benda-benda langit, patung-patung, dan menyekutukan Allah. Kezaliman terbesar mereka adalah tantangan langsung terhadap keberadaan Allah Yang Maha Esa, yang dipimpin oleh Namrudz, seorang penguasa yang mengklaim dirinya sebagai tuhan. Mereka menggunakan logika dan sains (astronomi) yang mereka miliki untuk membenarkan kesyirikan mereka.

Kisah Nabi Ibrahim menonjol karena beliau harus menghadapi ayahnya sendiri dan seluruh sistem kekuasaan yang zalim. Ketika Ibrahim (AS) menghancurkan berhala-berhala, kaumnya memutuskan untuk membakarnya hidup-hidup—tindakan kekerasan ekstrem untuk membela kebatilan.

Bentuk Azab: Berbeda dengan kaum-kaum sebelumnya yang mengalami pemusnahan massal secara fisik, azab bagi Kaum Ibrahim sering kali ditafsirkan sebagai hukuman yang lebih kompleks, yaitu pemecahan dan pemisahan. Meskipun Namrudz sendiri dikisahkan menemui akhir yang memalukan (dibunuh oleh seekor nyamuk atau serangga), hukuman utama terhadap kaum tersebut adalah kegagalan mereka melawan mukjizat dan selanjutnya, perpindahan massal (hijrah) Ibrahim, yang menyebabkan pemusnahan spiritual dan otoritas peradaban mereka. Kehancuran mereka adalah kegagalan mempertahankan tauhid, yang merupakan fondasi spiritual peradaban.

Ayat 70 memasukkan Kaum Ibrahim untuk menunjukkan bahwa kegagalan untuk bertaubat, meskipun tidak selalu berakhir dengan azab fisik total seperti banjir, tetap membawa kehancuran politik, moral, dan spiritual yang memisahkan mereka dari sumber rahmat Ilahi. Mereka adalah contoh peradaban yang ‘mati’ secara spiritual karena menolak nabi mereka.

5. Penduduk Madyan (Kaum Nabi Syu'aib)

Penduduk Madyan tinggal di dekat Teluk Aqaba. Nabi Syu'aib (AS) diutus kepada mereka, dan beliau dikenal sebagai orator para nabi karena kefasihan bicaranya.

Kezaliman Mereka: Kaum Madyan tidak hanya musyrik, tetapi mereka juga melakukan kezaliman ekonomi yang parah. Mereka terkenal karena kecurangan dalam timbangan dan takaran, merusak transaksi bisnis, dan menciptakan kekacauan di pasar. Mereka adalah simbol kezaliman yang terorganisir dalam sistem perekonomian.

Nabi Syu'aib menekankan kaitan erat antara tauhid (keimanan yang benar) dan keadilan sosial-ekonomi. Beliau memperingatkan bahwa kecurangan mereka akan mendatangkan kemurkaan Allah. Namun, mereka menolaknya, mengejek seruan keadilan ekonominya, dan mengancam akan mengusirnya.

Bentuk Azab: Dua bentuk azab yang sering disebutkan: Ash-Shaikhah (suara keras) dan Zhillah (awan yang menaungi, yang kemudian menjatuhkan api atau gempa bumi). Gempa bumi yang dahsyat mengguncang negeri mereka, dan suara keras menyertai, menghancurkan sistem ekonomi dan sosial mereka, membuat mereka tergeletak tak berdaya di rumah-rumah mereka. Azab ini secara khusus menargetkan fondasi peradaban mereka—ketenangan dan keamanan transaksi dagang.

Kisah Madyan memberikan pelajaran vital: pengingkaran bukan hanya masalah teologis (syirik) tetapi juga masalah etika sosial dan ekonomi. Mencurangi orang lain, merusak pasar, dan membangun kekayaan di atas eksploitasi adalah bentuk kezaliman diri sendiri yang mendatangkan azab Ilahi. Islam menuntut keadilan sempurna dalam segala aspek kehidupan, dan kegagalan memenuhinya dapat mengundang hukuman yang setimpal.

6. Al-Mu'tafikat (Kaum Nabi Luth)

Al-Mu'tafikat merujuk pada negeri-negeri yang dibalikkan, yaitu Sodom dan Gomorrah, tempat Nabi Luth (AS) diutus. Mereka adalah kaum terakhir yang disebutkan dalam daftar ini, dan kehancuran mereka sering kali menjadi simbol kehancuran moral yang paling ekstrem.

Kezaliman Mereka: Dosa utama mereka adalah kebejatan seksual yang belum pernah terjadi sebelumnya (homoseksualitas). Mereka melakukan perbuatan yang sangat keji di tempat terbuka dan bangga akan kemaksiatan mereka, melanggar fitrah manusia. Mereka menolak keras peringatan Nabi Luth dan bahkan berniat mencelakai tamu-tamu Nabi Luth (yang sebenarnya adalah malaikat).

Dosa ini mewakili kehancuran tatanan moral dan sosial. Ketika naluri diutamakan di atas hukum Ilahi dan etika, maka fitrah manusia itu sendiri akan dirusak, dan hal ini mengundang kehancuran total.

Bentuk Azab: Negeri mereka dibalikkan, batu-batu dari lumpur yang terbakar (sijjil) dihujankan dari langit. Hukuman ini sangat spesifik: pembalikan kota menunjukkan betapa terbalik dan rusaknya fitrah moral mereka. Hukuman ini bersifat permanen, meninggalkan danau garam dan reruntuhan sebagai tanda bagi generasi selanjutnya.

Al-Mu'tafikat mengingatkan bahwa azab Ilahi dapat datang sebagai respons langsung terhadap kebobrokan moral yang telah mendarah daging dan dilegitimasi oleh suatu kaum. Kehancuran mereka adalah puncak dari zhulmu (kezaliman) yang bersifat sosial, moral, dan teologis.

Kisah-kisah ini, ketika disajikan secara berurutan dalam At-Taubah 70, membentuk sebuah kronologi peringatan yang komprehensif, mencakup berbagai jenis dosa: syirik murni (Nuh), arogansi material (Ad), penolakan mukjizat (Tsamud), kekafiran politik (Kaum Ibrahim), kezaliman ekonomi (Madyan), dan kebejatan moral (Al-Mu'tafikat). Semuanya dihukum, dan inti pesannya selalu sama: Allah tidak menzalimi mereka, tetapi mereka menzalimi diri sendiri.

Sunnatullah dalam Sejarah: Prinsip Keadilan dan Konsekuensi

Ayat 70 ini tidak hanya menceritakan sejarah, tetapi juga menjelaskan prinsip-prinsip abadi yang mengatur alam semesta dan perjalanan manusia, yang dikenal sebagai Sunnatullah. Konsep Sunnatullah menyatakan bahwa hukum-hukum Allah di dunia tidak berubah. Jika suatu kaum mengikuti jalan kehancuran, mereka akan dihancurkan, terlepas dari identitas geografis atau ras mereka.

Prinsip Sunnatullah ini menjamin bahwa hukuman Ilahi bukanlah tindakan acak, melainkan hasil dari sebab-akibat yang pasti. Jika iman dan amal saleh adalah sebab, maka keselamatan adalah akibatnya. Sebaliknya, jika pengingkaran dan kezaliman adalah sebab, maka azab adalah akibatnya.

Keadilan yang Menghukum Kezaliman Diri

Ayat ini berulang kali menegaskan bahwa Allah Maha Kaya dan tidak membutuhkan penghukuman. Keadilan-Nya sempurna karena Ia tidak pernah memulai kezaliman. Kezaliman (zhulm) yang terjadi berasal dari pihak manusia itu sendiri. Zhulm memiliki makna yang luas, meliputi:

Kehancuran enam kaum di atas adalah manifestasi dari puncak ketiga jenis kezaliman ini. Mereka menumpuk dosa hingga mencapai batas kritis di mana peradaban mereka tidak lagi layak untuk dipertahankan. Mereka adalah pasien spiritual yang menolak pengobatan (dakwah) hingga penyakit (kezaliman) menjadi fatal.

Azab Sebagai Pembeda Hak dan Batil

Penting untuk dipahami bahwa azab yang menimpa umat terdahulu berfungsi sebagai furqan (pembeda). Azab memisahkan orang beriman yang sedikit dari mayoritas yang kafir, menyelamatkan orang saleh, dan membersihkan bumi dari kebatilan yang dominan.

Di masa Rasulullah SAW, peringatan ini sangat relevan bagi kaum munafik yang merencanakan pengkhianatan dari dalam. Mereka diingatkan bahwa kekuatan yang memusnahkan Kaum Nuh dan ‘Ad masih beroperasi. Jika mereka terus dalam kemunafikan dan pengkhianatan, mereka akan menerima nasib yang sama, meskipun bentuk azabnya mungkin berbeda (misalnya, kehinaan dunia, kekalahan militer, dan laknat abadi).

Setiap detail kisah kaum-kaum terdahulu harus dipahami sebagai isyarat Ilahi yang menuntut pertimbangan bagi kaum Muslimin. Kaum Muslimin tidak kebal terhadap Sunnatullah jika mereka mengadopsi dosa-dosa kaum terdahulu, seperti keangkuhan 'Ad, kecurangan Madyan, atau kebejatan Al-Mu'tafikat. Ujian sejarah adalah ujian moral yang berkelanjutan.

Pelajaran Spiritual dan Kontemporer dari Ayat 70

Meskipun ayat ini merujuk pada peristiwa sejarah yang jauh, relevansinya bagi umat Islam kontemporer sangatlah tinggi. Peringatan ini menegaskan pentingnya konsistensi dalam tauhid, keadilan dalam bermuamalah, dan kejernihan moral.

Konsistensi dalam Berita Kenabian

Penyebutan enam nabi yang berbeda (Nuh, Hud, Saleh, Ibrahim, Syu'aib, Luth) membuktikan bahwa pesan dasar kenabian selalu sama: menyembah Allah Yang Maha Esa dan menjauhi kezaliman. Kehancuran mereka menunjukkan bahwa Allah (SWT) tidak pernah kekurangan saksi atau peringatan. Para rasul datang bil-bayyinat, meninggalkan kaum kafir tanpa alasan untuk membela diri di hadapan pengadilan Ilahi.

Bagi umat Islam, ini adalah penguatan bahwa risalah Muhammad SAW adalah penyempurnaan dari pesan yang sama ini. Kita memegang bukti-bukti nyata (Al-Qur'an dan Sunnah) yang lebih jelas dan lengkap. Oleh karena itu, tanggung jawab kita untuk beriman dan menjauhi kezaliman jauh lebih besar.

Bahaya Ghaflah (Kelalaian)

Salah satu penyebab utama kehancuran kaum terdahulu adalah ghaflah—kelalaian dan lupa akan tujuan hidup yang sebenarnya. Kaum 'Ad tenggelam dalam kesombongan fisik, Madyan dalam keserakahan material, dan Al-Mu'tafikat dalam pemuasan hawa nafsu. Kelalaian ini membuat mereka tuli terhadap suara kebenaran yang dibawa oleh nabi-nabi mereka. Mereka tidak dapat merenungkan tanda-tanda Allah, baik yang ada di alam semesta (ayat al-kawniyyah) maupun yang disampaikan melalui wahyu (ayat al-qawliyyah).

Ayat 70 menyerukan kepada setiap Muslim untuk secara aktif mengingat sejarah. Mengingat sejarah adalah cara untuk melawan kelalaian. Ketika seseorang menyadari bahwa nasib buruk kaum terdahulu adalah konsekuensi dari perbuatan mereka, maka ia akan lebih berhati-hati dalam menimbang setiap tindakan.

Pertobatan dan Harapan

Meskipun ayat ini berisi peringatan keras tentang azab, ia secara implisit juga membuka pintu harapan. Kaum-kaum yang dihancurkan adalah mereka yang menolak untuk bertaubat sampai akhir. Mereka bersikeras dalam kezaliman diri. Sebaliknya, bagi mereka yang merenungkan kisah-kisah ini dan menyadari kezaliman diri mereka sendiri, pintu taubah (pertobatan) selalu terbuka selama nyawa masih dikandung badan.

Keadilan Ilahi yang disebut dalam ayat ini sejalan dengan Rahmat Ilahi yang mendahului murka-Nya. Hukuman hanya datang setelah semua kesempatan—selama ratusan bahkan ribuan tahun—diberikan melalui utusan yang membawa bukti nyata.

Keberlangsungan umat Nabi Muhammad SAW hingga hari ini, meskipun banyak cobaan dan kesalahan yang diperbuat, seringkali dihubungkan dengan janji Allah untuk tidak menghancurkan umat ini dengan azab total seperti kaum terdahulu, selama ada di antara mereka yang beristighfar dan berjuang untuk kebenaran. Namun, azab dalam bentuk kehinaan, perpecahan, dan dominasi musuh tetap berlaku jika umat kembali jatuh pada dosa-dosa kolektif yang menghancurkan kaum terdahulu.

Oleh karena itu, At-Taubah 70 adalah cetak biru untuk evaluasi diri kolektif: apakah kita, sebagai individu atau masyarakat, menunjukkan keangkuhan 'Ad, kecurangan Madyan, atau kebejatan Al-Mu'tafikat? Jawaban atas pertanyaan ini menentukan arah sejarah kita.

Struktur Kehancuran

Kita dapat melihat pola kehancuran yang universal dalam keenam kisah tersebut. Kehancuran tidak datang tiba-tiba, melainkan melalui beberapa fase yang diulang-ulang:

  1. Tahap Kemakmuran dan Kekuatan: Kaum tersebut mencapai puncak peradaban, baik secara fisik (Ad, Tsamud) maupun ekonomi (Madyan).
  2. Tahap Pengingkaran Arogansi: Kemakmuran membuat mereka sombong dan menolak utusan Allah, menggunakan kelebihan mereka (kekuatan, kekayaan) sebagai alasan untuk menolak.
  3. Tahap Manifestasi Mukjizat: Allah mengirimkan bukti nyata yang tidak terbantahkan, seringkali terkait dengan apa yang mereka banggakan (Unta untuk Tsamud, bahtera untuk Nuh).
  4. Tahap Kezaliman Puncak: Mereka menolak, membunuh nabi (atau ancaman), dan menghancurkan mukjizat. Mereka secara final memilih kegelapan.
  5. Tahap Azab: Hukuman datang, seringkali menggunakan unsur alam yang familiar bagi mereka, tetapi diarahkan untuk menghancurkan mereka dengan cara yang paling ironis (air, angin, gempa, api).

Pola ini menunjukkan bahwa Allah tidak pernah terburu-buru. Waktu yang diberikan adalah kesempatan emas. Ketika kesempatan itu dibuang dengan penghinaan dan penolakan, maka konsekuensinya mutlak. Peringatan ini harus menjadi kompas bagi setiap generasi untuk selalu menjaga kemurnian tauhid dan keadilan sosial.

Sesungguhnya, peringatan dalam At-Taubah 70 adalah manifestasi dari kasih sayang Allah yang terbesar. Karena jika Allah membiarkan suatu kaum terus menerus menzalimi diri sendiri tanpa peringatan, maka azab akhirat akan jauh lebih dahsyat. Dengan menampakkan azab dunia, Allah memberikan kesempatan bagi generasi berikutnya untuk mengambil hikmah dan kembali ke jalan yang benar, sebelum terlambat.

Renungan kita terhadap kisah-kisah ini harus melahirkan ketakutan yang disertai pengharapan. Takut akan konsekuensi kezaliman, dan berharap akan rahmat dan ampunan yang senantiasa ditawarkan oleh Allah (SWT) kepada mereka yang bertaubat dengan sungguh-sungguh.

Kesimpulan: Kezaliman Diri dan Kepastian Keadilan

Surah At-Taubah ayat 70 merupakan salah satu ayat paling kuat dalam Al-Qur'an yang menegaskan kaidah historis dan teologis tentang hubungan antara perbuatan manusia dan takdir Ilahi. Ayat ini memanggil kita untuk melihat jauh ke belakang, melintasi ribuan tahun sejarah, untuk menyaksikan bahwa keadilan adalah inti dari pemerintahan Allah atas alam semesta.

Kehancuran Kaum Nuh, Ad, Tsamud, kaum Ibrahim, Madyan, dan Al-Mu'tafikat bukanlah karena kehendak sewenang-wenang, melainkan akibat dari akumulasi dosa, kesombongan, dan penolakan yang dilakukan secara sadar dan sengaja setelah bukti-bukti nyata (Al-Bayyinat) telah disampaikan dengan jelas.

Pesan utamanya tetap bergema: Allah tidak menzalimi mereka, tetapi merekalah yang menzalimi diri mereka sendiri. Kezaliman diri ini adalah pintu masuk menuju kehancuran total. Selama umat manusia terus menjaga tauhid, menjunjung keadilan, dan menjauhi perilaku-perilaku yang menghancurkan fitrah, mereka akan berada di bawah naungan rahmat dan keamanan Ilahi. Namun, jika mereka meniru pola-pola dosa dari peradaban yang telah musnah, maka mereka harus siap menghadapi konsekuensi yang sama, sesuai dengan Sunnatullah yang tidak pernah berubah.

Maka, refleksi atas At-Taubah 70 adalah tugas spiritual berkelanjutan bagi setiap Muslim, memastikan bahwa hati dan tindakan kita tidak mencerminkan arogansi, kecurangan, atau kemaksiatan yang membinasakan umat-umat terdahulu. Kehidupan adalah ujian, dan sejarah adalah peringatan keras yang terukir abadi.

🏠 Homepage